Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral berjanji akan memeriksa kembali kepatuhan operasi PT Freeport Indonesia terhadap peraturan dan perlindungan lingkungan di Papua. Sejauh ini, Kementerian Energi menilai Freeport menjalankan operasi dengan komitmen lingkungan yang ketat.
“Kalau di tambangnya sudah jelas. Kami sudah memastikan dan selalu diawasi (kepatuhan terhadap lingkungan). Tapi nanti kami akan cek kembali untuk pengawasan,” ujar Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara, Bambang Gatot Ariyono, kepada Tempo, Senin 1 Mei 2017.
Rencana pengecekan kembali itu merespons hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu Badan Pemeriksa Keuangan atas kepatuhan Freeport terhadap peraturan perundang-undangan. Bambang berdalih belum bisa memutuskan tindak lanjut atas laporan itu karena belum menerima dokumen hasil pemeriksaan BPK.
BPK menyatakan, Freeport menyebabkan kerusakan lingkungan di Papua karena membuang limbah hasil penambangan ke hutan, sungai, muara, dan laut. Total potensi kerugian lingkungan yang timbul mencapai Rp 185 triliun. “Nilai itu adalah hasil kalkulasi oleh Institut Pertanian Bogor yang ditelaah BPK dalam konteks keuangan negara,” kata Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara kepada Tempo.
BPK juga menyebutkan wilayah kontrak Freeport tumpang-tindih dengan kawasan hutan lindung seluas 4.535,93 hektare. Area yang tumpang-tindih merupakan tambahan kawasan penampungan endapan pasir sisa tambang (Modified Ajkwa Deposition Area) yang menampung 230 ribu ton endapan per hari. Adapun area yang juga berstatus hutan lindung adalah tambahan lapisan tanah penutup bahan galian.
Kegiatan Freeport lainnya yang diperiksa auditor negara adalah tambang bawah tanah. Menurut BPK, kegiatan itu dilakukan tanpa izin lingkungan. Anggota IV BPK, Rizal Djalil, menganggap aktivitas tambang bawah tanah Freeport di luar lingkup dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) 1997. Dia juga menyebutkan perkara itu terjadi akibat lemahnya pengawasan pemerintah pusat.
Juru bicara Freeport Indonesia, Riza Pratama, belum bersedia menjawab permintaan penjelasan Tempo. Namun, berdasarkan dokumen jawaban atas audit lingkungan 2014, Freeport menyatakan sudah mengantisipasi sebagian besar dampak kerusakan sesuai dengan komitmen. Audit dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut Teknologi Bandung.
Bambang menambahkan, Freeport sudah mengoperasikan tambang bawah tanah sejak 2016. Namun kawasan tambang itu belum beroperasi secara komersial. Barang tambang yang tergali, kata Bambang, masih tersimpan di fasilitas penyimpanan. “Dia rutin mengirimkan laporan perkembangan. Foto-fotonya semua ada.”
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melaporkan bahwa Freeport sudah mengajukan permohonan amdal pada akhir 2016. Namun perusahaan masih perlu melengkapi beberapa syarat. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, San Afri Awang, tidak ingat persis syarat apa yang belum dilengkapi Freeport.
Awang justru berpendapat tambang bawah tanah sudah tercakup dalam dokumen amdal 1997, sehingga Freeport tidak perlu mengajukan revisi. “Freeport hanya perlu mengajukan dokumen evaluasi lingkungan hidup secara berkala.” Dia menganggap tudingan BPK ke Kementerian Lingkungan salah sasaran. Awang menerangkan, kewenangan pengawasan lingkungan ada pada pemerintah daerah. (tempo.co, 2/5/2017)