Lemahkah Hadis-hadis Tentang Panji Rasulullah saw.?


Soal:
Benarkah hadis-hadis tentang Ar-Rayah dan Al-Liwa’ itu lemah? Benarkah hadis-hadis tentang keduanya merupakan rekaan Hizbut Tahrir? Mohon penjelasan!

 

Jawab:

Jika ada yang menuduh bahwa hadis-hadis tentang Ar-Rayah dan Al-Liwa’ itu lemah, apalagi kemudian menuduh bahwa itu merupakan rekaan Hizbut Tahrir, maka tuduhan itu jelas bukan dari orang yang mengerti hadis; jika tidak boleh disebut bodoh tentang ilmu hadis. Mengapa?

Pertama: Karena terdapat banyak hadis sahih, atau minimal hasan, yang menyebutkan bahwa Rayah (Panji) Rasul itu berwarna hitam dan Liwa’ (Bendera)-nya berwarna putih. Contohnya hadis berikut:

عَنْ ابنِ عَبَّاسِ قَالَ كاَنَتْ رَايَةَ رَسُوْلُ اللَّهِ صل الله عليه وسلم سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضَ

Ibn ‘Abbas berkata, “Rayah Rasulullah saw. itu berwarna hitam dan Liwa’-nya berwarna putih.” (HR at-Tirmidizi).

Dalam hadis lain dinyatakan:

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم دَخَلَ مَكَّةَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضُ

Jabir ra. menuturkan bahwa Nabi saw. telah memasuki Kota Makkah, sedangkan Liwa’ [bendera]-nya berwarna putih (HR an-Nasa’i).

Hadis di atas, selain diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan an-Nasa’i, juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, al-Baihaqi, at-Thabarani, Ibnu Abi Syibah dan Abu Ya’la. Hadis-hadis ini statusnya sahih. Dengan jelas, dinyatakan bahwa warna Ar-Rayah adalah hitam dan Al-Liwa’ adalah putih. At-Tirmidzi memberikan catatan untuk hadis yang dia riwayatkan, “Ini adalah hadis hasan gharîb dari arah ini, dari hadis Ibn ‘Abbas.”

Hadis-hadis tersebut diriwayatkan oleh banyak kitab hadis. Semuanya berujung pada jalur sahabat Jabir dan Ibnu ‘Abbas ra.

Karena itu mengatakan bahwa panji dan bendera Rasulullah saw. yang dikampanyekan oleh HTI adalah rekaan semata justru merupakan tuduhan bodoh. Bisa karena bodoh tentang hadis-hadis tersebut atau bodoh tentang ilmu hadis. Jika orang tersebut paham hadis dan ilmu hadis, maka tuduhan seperti itu justru menunjukkan pengingkaran orang itu terhadap hadis-hadis tersebut, atau tuduhan palsu kepada Rasulullah saw. Ini tentu lebih parah lagi.

Para ulama pun sudah membahas hal ini ketika menjelaskan hadis-hadis di atas dalam kitab syarah dan takhrij-nya. Sebut saja, seperti ‘Ala’uddin al-Hindi dalam Kanz al-‘Ummâl, al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawa’id, Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, al-Abadi dalam Tuhfah al-Ahwadzi, dan lain-lain.

Selain itu banyak hadis sahih lain yang berbicara terkait dengan Ar-Rayah dan Ar-Liwa, antara lain:

قَالَ النَّبي صلى الله عليه وسلم يَوْمَ خَيْبَرَ (لَأُعْطِيَنَّ الرَّايَة غَدًا  رَجُلاً يُفْتَحُ عَلَى يَدَيْهِ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُوْلَهُ وَيُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُوْلُهُ)

Nabi saw. berdabda saat Perang Khaibar, “Sungguh besok aku akan memberikan Rayah [panji] ini kepada seorang kesatria yang melalui kedua tangannya, akan diberi kemenangan. Dia mencintai Allah dan Rasul-Nya, juga dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Hiban, al-Baihaqi, Abu Dawud Thayalisi, Abu Ya’la, an-Nasa’i, at-Thabarani, dan lain-lain.

Kedua: Memang ada beberapa hadis tentang Ar-Rayah dan Al-Liwa’ dengan status hadis yang dipersoalkan oleh para ulama, seperti hadis dari Harits bin Hassan al-Bakri yang berkata, “Kami telah tiba di Madinah. Ketika itu Rasulullah saw. sedang berada di atas mimbar, sementara Bilal berdiri di depan bbeliau bersandar pada pedang di depan beliau. Si sana ternyata ada beberapa Rayah [panji] yang berwarna hitam. Aku bertanya, ‘Ini panji-panji apa?’ Mereka menjawab, ‘Panji ‘Amru bin al-‘Ash. Dia baru tiba dari peperangan.’” (HR Ahmad).

Mengomentari hadis ini, Syaikh Syu’aib al-Arnauth memberikan catatan, “Isnad-nya lemah, karena ‘Ashim bin Abi Nujud tidak pernah bertemu dengan Harits bin Hassan.”

Demikian juga dengan hadis dari Ibn ‘Abbas yang berkata, “Rayah [panji] Rasulullah saw. berwarna hitam dan Liwa’-nya berwarna putih. Di atasnya tertulis Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasulûlLâh.”

Di sana ada rawi bernama Ahmad bin Muhammad bin al-Hajjaj bin Risydin bin Sa’ad bin Muflih bin Hilal. Dialah yang disebut sebagai tertuduh melakukan pemalsuan.

Ketiga: Terkait hadis-hadis yang di dalamnya ada lafal berikut:

مَكْتُوْبٌ عَلَيْهِ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللَّهِ

“Di atasnya tertulis Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasulûlLâh.”

Apakah semuanya berstatus lemah? Nanti dulu. Jika hanya satu hadis dan satu jalur seperti itu kemudian divonis lemah, maka vonis seperti hanya lahir dari orang yang bodoh tentang hadis, atau ilmu hadits. Pasalnya, hadis-hadis seperti ini banyak, tidak hanya satu. Jika ada satu yang lemah, tidak serta-merta semuanya. Ini karena dalam ilmu hadis dikenal syawâhid, yang bisa menguatkan status hadis lain.

Dalam sebuah hadis yang dikeluarkan oleh Abu Syaikh al-Ashbahani dalam kitab Akhlâq an-Nabi saw. dari Ibnu ‘Abbas statusnya jelas sahih. Adapun jalur lain dari Abu Hurairah memang lemah karena ada rawi bernama Muhammad bin Abi Humaid yang dinyatakan munkar oleh al-Bukhari, dinyatakan tidak tsiqah oleh an-Nasa’i, dan tidak ditulis hadisnya oleh  Ibnu Ma’in. Namun, hadis dari jalur Ibnu ‘Abbas, semua rawinya dapat diterima.

Dari semua rawi tersebut yang diperdebatkan adalah Hayyan bin Ubaidillah. Sebagian mengatakan dha’îf karena tafarrud (seperti pendapat Ibnu Ady). Namun, Ibnu Hibban menempatkannya dalam kitabnya, Ats-Tsiqqât; Abu Hatim mengatakan Shadûq; Abu Bakar al-Bazzar mengatakan Masyhur “Laysa bihi Ba’sa”. Karena itu, status Tafarrud-nya Hayyan bin Ubaidillah tidak memadaratkan hadis karena keadaannya tsiqah atau shadâq (lihat: Muqaddimah Ibn Shalah).

Demikian juga ikhtilâth antara nama Hayyan bin Ubaidillah dan Haban bin Yassar  sudah dijelaskan oleh para ulama, seperti dalam Târîkh al-Kabîr, Tahdzîb al-Kamal, Al-Kâmil fî adz-Dhu’afâ’, Mîzan al-I’tidâl, dan lain-lain. Penjelasan terkait dengan tafarrud dan ikhtilâth Hayyan bin Ubaidillah bisa dijelaskan dalam tulisan khusus. Jadi, kesimpulannya, hadis dari Abu Syaikh dari jalur Ibnu Abbas jelas selamat.

Apalagi kalimat Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasulûlLâh merupakan ‘alamah (identitas) utama dalam Islam. Kalimat tersebut merupakan kalimat tauhid, yang dinyatakan dalam kesaksian seseorang ketika menjadi Muslim, dan dinyatakan setiap kali shalat.

Jadi, jika ada yang mengatakan, “Secara umum hadis-hadis yang menjelaskan warna bendera Rasul dan isi tulisannya itu tidak berkualitas sahih” adalah tuduhan orang yang tidak paham hadis; tidak paham ilmu hadits. Kalaupun paham keduanya, tuduhan itu justru menunjukkan pengingkarannya terhadap hadis, bahkan tuduhan bohong kepada Nabi saw.

Keempat: Soal warna, hadis-hadis sahih menyebutkan bahwa warna Ar-Rayah adalah hitam dan Al-Liwa’ adalah putih sudah jelas. Adapun hadis-hadis yang menyebutkan warna lain seperti kuning dan merah, memang ada, tetapi kualitasnya dha’îf, dan penggunaannya bersifat temporer, tidak terus-menerus.

Hadis riwayat Imam Abu Dawud, yang juga diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dan Ibnu Adi, menyebutkan bahwa rayah Nabi adalah kuning. Menurut penulis kitab Al-Badr al-Munîr, isnad-nya majhûl [tidak jelas].

Demikian juga hadis yang diriwayatkan oleh ath-Thabarani dan Abu Nu’aim al-Ashbahani. Hadis ini lemah karena ada rawi bernama Hudu bin Abdullah bin Saad yang dinyatakan tidak tsiqah oleh Ibnu Hibban dan nyaris tidak dikenal menurut adz-Dzahabi.

Demikian juga hadits dalam riwayat ath-Thabarani menyebutkan bahwa warna Rayah Nabi saw. adalah merah. Hadis ini pun lemah karena ada rawi yang tidak dikenal menurut al-Haitsami dan Ibnu Hajar.

Terakhir, hadis riwayat Ibnu Hibban, Ahmad dan Abu Ya’la yang juga menyebutkan Ar-Rayah berwarna merah dan statusnya sahih, kejadiannya bersifat temporer, dan itu pada awal-awal urusan ini ketika pada masa Jahiliah, juga awalnya menggunakan Ar-Rayah warna hitam.

Poin-poin di atas semuanya terkait dengan hadis dan ilmu hadis. Selain itu, menentukan status bendera tersebut ada atau tidak, wajib atau tidak, ini merupakan masalah yang terkait dengan disiplin ilmu lain, yaitu Ushul Fiqih.

Keenam: Dalam kajian Ushul Fiqih, dikenal adanya qarînah, antara lain, bisa disebut qarînah mudâwamah [indikasi penggunaan atau dilakukan terus-menerus]. Sebagai contoh, tartib [urut-urutan] dalam rukun wudhu, shalat, haji dan umrah, misalnya, oleh mazhab Syafii dimasukkan sebagai perkara yang wajib, dan tidak boleh ditinggalkan. Pertanyaannya, dari mana Imam Syafii menetapkan semuanya itu sebagai rukun yang wajib dikerjakan? Jawabannya: dari qarînah mudâwamah. Pasalnya, Nabi saw. tidak pernah berwudhu, shalat, haji dan umrah, kecuali dengan urut-urutan seperti itu. Hal itu dilakukan terus-menerus, tidak pernah diselisihi. Alhasil, tindakan Nabi saw. yang terus-menerus dan tidak pernah menyelisihi itu sudah cukup menjadi qarînah, bahwa status perkara ini wajib.

Jika logika yang sama digunakan dalam kasus Ar-Rayah dan Al-Liwa’ tersebut, maka penggunaan Nabi saw. atas keduanya secara terus-menerus menunjukkan bahwa hukum menggunakan keduanya juga wajib. Kesimpulan ini ditarik dengan menggunakan logika dan kaidah Ushul Fiqih Imam Syafii. Jadi, aneh, kalau ada yang mengklaim sebagai pengikut mazhab Syafii, tetapi menolak hukum Ar-Rayah dan Al-Liwa’ ini.

WalLâhu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*