Rencana pemerintah melanjutkan Reklamasi Teluk Jakarta kembali menuai penolakan dari tokoh-tokoh nasional, salah satunya adalah Prof Dr Amien Rais. Mantan Ketua MPR tersebut khawatir proyek reklamasi tersebut menjadi jalan untuk menjual Indonesia.
“Saya mencium bahwa reklamasi ini, jelas harus moratorium dulu, mari adu fakta dan data. Janganlah kita menjual-jual Indonesia,” ungkapnya di hadapan 250 audiens seminar yang bertema Stop Reklamasi Teluk Jakarta yang diadakan oleh Indonesia Research Studies (IRESS), di Gedung MPR RI, Selasa (16/05/2017).
Amien Rais mengindikasikan proyek tersebut menjadi incaran kapitalis Cina dalam menjajah Indonesia. Penamaan “Abad Cina” sekarang ini memang didukung dengan kondisi yang realistis. Dari segi kekuatan militer Cina sudah overtake Uni Soviet dalam beberapa hal.
“Maka bisa dimaklumi bahwa Cina ingin menguasai dunia. Cina sudah mendesain bagaimana pemegang Global Supremacy,” jelasnya.
Lebih lanjut, Amien Rais sudah menaruh curiga saat Presiden Jokowi mengatakan bahwa Indonesia bisa menjadi poros maritim. “Saya curiga, belakangan saya melihat Indonesia ke depan akan menjadi “Jalan Sutra”, dimana Indonesia akan memiliki posisi penting,” katanya.
Cina dianggap sebagai negara yang sudah berlebihan populasinya, jumlah penduduknya sudah 1,5 miliar, Amien mengungkap bahwa mereka akan mencari tempat tinggal lain, salah satunya Indonesia.
“Sejak awal proyek reklamasi ini sudah misterius, memungkinkan kita menyerahkan sebagian tanah air kita kepada Cina,” pungkasnya.
Senada dengan Amien Rais, Direktur IRESS, Marwan Batubara mengatakan bahwa Reklamasi Teluk Jakarta harus dihentikan karena berbagai alasan. “Dan karena itu pula IRESS bersama anggota DPR FPAN Viva Yoga Mulyadi menyelenggarakan seminar ini, kami ingin menunjukkan meskipun alasan-alasan penghentian proyek ini sudah banyak, tampak pemerintah masih sangat bernafsu untuk melanjutkan,” jelasnya.
Nafsu itu terlihat dari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan yang menyatakan bahwa proyek harus tetap dilanjutkan. “Enggak boleh gara-gara satu orang kita berhenti,” ujarnya menanggapi sikap Gubernur terpilih Anies Baswedan yang tidak sepakat dengan rencana pembuatan pulau-pulau reklamasi. Luhut pun menantang Anies-Sandi untuk beradu data guna menunjukkan perlunya proyek reklamasi dilanjutkan.
Begitu pula dengan Plt Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat, yang menegaskan proyek reklamasi Teluk Jakarta tetap akan dilanjutkan. Menurut Djarot, keputusan itu sesuai dengan hasil diskusi Djarot bersama Ahok di LP Cipinang.
Sikap Luhut dan Djarot jelas bertentangan dengan keputusan pemerintah sebelumnya, saat Menko Kemaritiman dijabat oleh Rizal Ramli.
Marwan mengingatkan kepada pemerintahan Jokowi tidak lagi mengulang kejahatan pemerintahan Megawati yang telah memberi perlindungan berupa surat keterangan lunas dan bebas tuntutan hukum (sesuai Inpres no.8/2002) terhadap koruptor BLBI yang telah menguras uang negara dan rakyat atas kejahatan korporasi yang mereka lakukan.
“Para taipan koruptor itu telah terlibat kejahatan kriminal antara lain membobol bank-bank milik sendiri dan melarikannya ke luar negeri,” ujar Marwan.
Adapun Muslim Muin, Ketua Kelompok Keahlian Teknik Kelautan ITB, secara tegas ikut menolak reklamasi. Menurutnya secara teknis konsep proyek tersebut keliru, dan tidak jelas siapa yang diuntungkan.
Walaupun penurunan muka tanah dianggap serius, tetapi untuk Jakarta reklamasi atau giant sea wall bukanlah jawabannya.
“Salah besar reklamasi Teluk Jakarta, karena akan menutup mulut-mulut sungai. Kalau reklamasi dilanjutkan justru Jakarta yang akan tenggelam,” jelas Muslim.
Muslim juga menambahkan biaya reklamasi sangatlah mahal, termasuk perawatannya, ini pasti ada kaitannya dengan uang apabila tetap dilanjutkan. Nelayan kita hanya akan menjadi jonggos.
Dosen FTUI, Sri Bintang Pamungkas menilai dalam proyek reklamasi ada nilai yang lebih diutamakan yaitu nilai bisnis. “Pasti ada sisi bisnisnya. Dugaan saya konsep tol laut yang disampaikan Presiden Jokowi lebih dulu disampaikan kepada Xi Jinping, sebelum Jokowi jadi presiden,” ungkapnya.
Lebih lanjut, menurut Sri, Jokowi melanggar masalah keamanan negara, hal keamanan memang belum dibahas oleh pemerintah.
“Mana mau Jokowi menghentikan reklamasi, dan dalam masalah reklamasi Jokowi sendiri telah melanggar UU KUHP Pasal 106 soal makar,” katanya.
Pemerintah terlalu lemah apabila sudah membahas reklamasi, hal tersebut diungkapkan Irfan Pulungan dari International Council for Local Enviromental Initiativess (ICLEI), dia mempertanyakan sikap pemerintah yang seolah-olah tidak tahu kalau proyek reklamasi masih terus berlangsung dalam sengketa.
“Reklamasi ini juga telah melanggar amdal dan bangunan-bangunan yang ada di lokasi reklamasi juga tidak memiliki IMB. Selain itu SK terkait reklamasi itu juga bisa keluar tanpa payung hukumnya,” jelas Irfan.
60 persen dari wilayah reklamasi pun akan digunakan untuk perdagangan dan jasa. “jadi bukan ditujukan untuk pemukiman rakyat sebagaimana yang direncanakan,” pungkas Irfan. []Fatihsholahuddin