Profesor Jimly Asshiddiqy kemarin menyarankan agar Presiden membubarkan ormas yang bertentangan dengan Pancasila melalui Keputusan Presiden (Keppres) dengan tetap memberikan peluang bagi ormas tersebut untuk melakukan perlawanan melalui pengadilan. Kalau pengadilan memenangkan Presiden, maka ormas tersebut bubar selamanya. Namun jika Presiden dikalahkan pengadilan, ormas tersebut dapat dihidupkan kembali.
Bersamaan dengan Profesor Jimly, Presiden Joko Widodo usai bertemu dengan pemred berbagai media, mengatakan akan “menggebuk” ormas yang bertentangan dengan “empat pilar kebangsaan”, yakni Pancasila, UUD 45, Negara Kesatuan RI dan Bhineka Tunggal Ika. Penggebukan itu, menurut beliau, akan dilakukan tanpa pandang bulu, termasuk kepada gerakan komunis, jika sekiranya PKI — yang dulunya adalah partai politik, bukan ormas — akan dihidupkan kembali.
Pembubaran ormas seperti disarankan Prof Jimly itu menyimpang jauh dari norma hukum positif yang kini berlaku, yakni UU No 17 Tahun 2013 yang di dalamnya mengatur prosedur pembubaran ormas. Ormas yang sudah disahkan sebagai badan hukum, tidak dapat dibubarkan begitu saja oleh Pemerintah, melainkan setelah ada izin/persetujuan pengadilan. Ini semata-mata dilakukan untuk mencegah Presiden bertindak sewenang-wenang membubarkan ormas yang mungkin saja berseberangan dengan dirinya.
Dalam negara hukum yang demokratis sebagaimana dianut oleh UUD 45, tidak ada tindakan penyelenggara negara yang dapat dilakukan tanpa landasan hukum yang jelas. Karena itu, kita wajib mencegah dibukakannya pintu bagi Presiden untuk bertindak sewenang-wenang di luar hukum, kecuali ada situasi sangat genting yang memaksa Presiden untuk mengambil langkah revolusioner dalam keadaan yang tidak normal untuk menyelamatkan bangsa dan negara.
Membubarkan ormas dengan cara “menggebuk” jika hal itu diartikan sebagai tindakan di luar hukum positif yang berlaku, akan membawa implikasi politik yang luas, karena sumpah jabatan Presiden mengatakan akan berlaku adil serta memegang teguh undang-undang dasar, undang-undang dan segala peraturannya dengan selurus-lurusnya. Pelanggaran sengaja atas sumpah jabatan bisa membuka peluang bagi pemakzulan.
Kalau Presiden diberi kewenangan membubarkan ormas lebih dahulu, meskipun ormas itu dapat melakukan perlawanan ke pengadilan, secara diam-diam kita telah membuka pintu untuk Presiden bertindak sewenang-wenang. Kalau kedudukan Presiden makin kuat akibat kesewenang-wenangan itu, lambat laun Presiden akan kembali memusatkan kekuasaan di tangannya dan mendikte lembaga lain termasuk pengadilan.
Ingat saja ketika Presiden Sukarno membubarkan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dengan Keppres Nomor 200 Tahun 1960. Ketika Masyumi melawan ke pengadilan melalui Mohamad Roem, pengadilan mengatakan tidak berwenang mengadili perkara itu, karena membubarkan partai adalah “beleid” atau kebijakan eksekutif yang tidak dapat dinilai oleh badan yudikatif.
Kalau Presiden bisa membubarkan ormas melalui Keppres, maka sebagai sebuah penetapan (beschikking) kewenangan mengadili keputusannya ada di pengadilan tata usaha negara. Di era Presiden Joko Widodo ini alangkah banyaknya putusan tata usaha negara yang berkaitan dengan politik yang sudah berkekuatan hukum tetap yang tidak mau dilaksanakan oleh Pemerintah, bahkan yang paling depan tidak mau melaksanakannya adalah Menteri Hukum dan HAM.
Keinginan agar negara kita ini benar-benar menjadi negara hukum yang demokratis adalah keinginan sejak lama, yang diperkuat kembali menjelang Reformasi 1998. Kalau kita membuka peluang kembali bagi kesewenang-wenangan, maka demokrasi dan konstitusipun akan kembali terkubur. Di atas kuburan itu berdiri tegaklah seonggok batu nisan, yakni batu nisan kediktatoran. Ini yang harus kita cegah agar tidak terulang kembali di negeri ini.
Menyadari bahwa Pemerintah tidaklah mudah membubarkan ormas, maka Jaksa Agung menyarankan agar Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Maksudnya kiranya jelas, Perppu bukan diterbitkan untuk membubarkan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), tetapi untuk mengubah UU No 17 Tahun 2003 agar memberi kewenangan kepada Presiden membubarkan ormas tanpa perlu meminta persetujuan pengadilan, persis yang disarankan Prof Jimly.
Saya makin prihatin saja menyaksikan perjalanan bangsa dan negara kita lebih dua tahun terakhir ini. Arah penegakan hukum makin hari makin tidak jelas. Terlalu banyak pertimbangan di luar hukum yang dijadikan dasar untuk menegakkan hukum, sehingga tebang pilih penegakan hukum yang dulu banyak dikritik di era pemerintahan Presiden SBY, kini malah dipraktekkan secara makin meluas. Ujung dari semua ini adalah makin meluasnya rasa ketidak-adilan di tengah-tengah masyarakat. Seharusnya ini dijadikan sebagai lampu kuning bagi Pemerintah Presiden Joko Widodo.*
Manila, Philippines, 18 Mei 2017