Kritik Terhadap Buku Hizbut Tahrir Indonesia Gagal Paham Khilafah Karya Makmun Rasyid*

Oleh : M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI**

 

 

Judul Buku      : Hizbut Tahrir Indonesia Gagal Paham Khilafah

Penulis             : Muhammad Makmun Rasyid

Penerbit           : Pustaka Compass

Tempat Terbit  : Tangerang

Tahun Terbit    : 2016

Cetakan           : I

Jumlah hlm.     : 148 hlm + xxx

 

I.Pendahuluan

            Makalah ini hendak mengkritisi buku yang berjudul Hizbut Tahrir Indonesia Gagal Paham Khilafah yang ditulis oleh Muhammad Makmun Rasyid (selanjutnya disebut Rasyid). Buku ini merupakan pengembangan dari skripsi yang ditulis Rasyid di STKQ (Sekolah Tinggi Kulliyatul Qur`an) Al-Hikam Depok, dengan judul asli Studi Kritis Ayat-Ayat Khilafah Menurut Hizbut Tahrir Indonesia. Rasyid dinyatakan lulus ujian munaqasyah setelah berhasil mempertahankan skripsinya itu di hadapan dosen-dosen penguji pada tanggal 20 April 2015 di kampusnya. [1]

Latar belakang Rasyid menulis buku tersebut adalah kegelisahannya melihat pemikiran yang berkembang di kalangan simpatisan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang menurut Rasyid, akan mampu membawa “kekerasan” di kemudian hari jika konsep Khilafah dipaksakan dan diterapkan di Indonesia yang multi-agama. Konsep Khilafah yang diusung HTI, kata Rasyid, tak hanya menyulut api dari pihak luar, tapi juga akan menyebabkan perkelahian di tubuh umat Islam sendiri, karena umat tidak sepakat untuk mendukung Khilafah, yang disebut Rasyid sebagai “utopia”. [2]

Kegelisahan tersebut lalu diwujudkan Rasyid dengan melakukan penelitian tentang HTI, khususnya ayat-ayat yang digunakan HTI untuk melegitimasi wacana Khilafah. Rasyid ingin membuktikan bahwa pemahaman HTI terhadap ayat-ayat Khilafah tersebut adalah salah. Tujuan inilah yang kemudian tercermin dalam judul bukunya, bahwa HTI telah “gagal paham” dalam memahami ayat-ayat tentang Khilafah.[3]

Metode penelitian yang digunakan Rasyid adalah 3 (tiga) pendekatan berikut; yaitu library research (studi pustaka), kajian ayat secara tematik (tafsir maudhu’i), dan hermeneutika sosio-historis Fazlurahman. [4] Data penelitian yang digunakan Rasyid adalah ayat-ayat Al-Qur`an tentang Khilafah yang terdapat dalam sejumlah kitab HT, khususnya kitab Ajhizah Dawlah Al-Khilafah fi Al-Hukm wa Al-Idarah.[5]

Temuan penelitian Rasyid ada 2 (dua) poin; pertama, dalil-dalil Al-Qur`an yang digunakan HTI telah lepas dari substansi ayat. Kedua, implikasi dari transformasi makna ayat oleh HTI tersebut dapat memiliki dampak negatif buat Negara Indonesia. [6]

Buku Hizbut Tahrir Indonesia Gagal Paham Khilafah karya Rasyid ini terdiri dari satu bab pendahuluan dan tiga bab isi. Pada bab pendahuluan, yang berjudul “Membaca HTI dalam Memahami Khilafah” Rasyid berusaha menguraikan embrio wacana Khilafah di Indonesia, semunya ideologi normatif HTI, dan landasan teoritik yang digunakan Rasyid dalam penelitiannya, yaitu Tafsir Maudhu’i (tafsir tematik) dan Hermeneutika.

Pada bab pertama yang berjudul “Kegagalan HTI Memahami Khilafah Islamiyah”, Rasyid menjelaskan siapakah HTI itu, kemudian menjelaskan tiga macam gagal paham yang ada pada HTI, yaitu gagal paham dalam definisi Khilafah Islamiyah, konsep dan historis Khilafah, dan dalil normatif Khilafah.

Bab kedua berjudul “Kritik Atas Paham Khilafah HTI”. Pada bab ini Rasyid berusaha menguraikan kritiknya terhadap dalil-dalil Khilafah Islamiyah HTI, yaitu pada 4 ayat berikut : QS Al-Maidah [5] : 48-49, QS Al-Baqarah [2] :30; QS Al-Nisa` [4]:59; dan QS Al-Nisa` [4]:65.

Bab ketiga sebagai bab terakhir, berjudul “Memahami Kembali Ayat-Ayat Khilafah”. Pada bab ini Rasyid mengkaji ayat-ayat Al-Qur`an yang terkait dengan terma “Khilafah”.

 

II.Catatan Kritis

            Setelah mencermati buku Rasyid ini, Penulis merasa perlu memberikan sejumlah catatan kritis; pertama, kritik terhadap data penelitian. Kedua, kritik terhadap inkonsistensi Rasyid dalam melaksanakan langkah-langkah tafsir maudhu’i, yakni mengabaikan hadits yang relevan dengan ayat. Ketiga, kritik terhadap metodologi yang digunakan Rasyid, khususnya hermeneutika. Keempat, kritik untuk temuan bahwa HTI akan menimbulkan “kekerasan”. Kelima, kritik terkait aspek teknis penulisan, yaiu banyak kesalahan tulis yang cukup mengganggu.

 

A.Kritik Terhadap Data Penelitian

            Penulis memberikan dua komentar untuk data penelitian Rasyid, yaitu datanya tidak lengkap, dan juga salah data. Mengenai ketidaklengkapan data, ada dua macam, yaitu : (1) ketidaklengkapan data dalil, dan (2) ketidaklengkapan uraian wajhul istidlal (cara penyimpulan hukum) dan dasar ushul fiqihnya (al-qawaid al-ushuliyah).

Ketidaklengkapan dalil dapat dibaca bab kedua buku Rasyid pada sub judul “Studi Kritis Dalil-Dalil Khilafah Islamiyah HTI.” (hlm. 43-66). Dari judulnya, seharusnya Rasyid menguraikan dalil-dalil Khilafah menurut HTI secara lengkap. Tetapi faktanya, yang diuraikan Rasyid ternyata tidak semua dalil, melainkan hanya dalil-dalil berupa ayat saja. Padahal siapa saja yang membaca kitab-kitab HT secara lengkap, akan menemukan bahwa dalil-dalil yang diajukan HT mengenai wajibnya Khilafah bukan hanya Al-Qur`an, tetapi juga ada dalil dari Hadits, Ijma’ Shahabat (kesepakatan para sahabat Nabi SAW), dan kaidah fiqih (al-qawa’id al-fiqhiyyah). Ini dapat dibuktikan jika kita membaca dengan cermat kitab HT seperti Ajhizah Daulah Al-Khilafah, kitab Nizhamul Hukm fi Al-Islam, dan kitab Muqaddimah Al-Dustur.

Pertanyaannya, mengapa Rasyid tidak mengemukakan dalil-dalil Khilafah HT secara lengkap? Menurut Penulis, ketidaklengkapan data tersebut memang disengaja oleh Rasyid, bukan terjadi tanpa sengaja. Buktinya, Rasyid mengklaim mempunyai 33 kitab-kitab Hizbut Tahrir (lihat hlm. 116-117), termasuk kitab Nizhamul Hukm fi Al-Islam dan kitab Muqaddimah Al-Dustur. Ketidaklengkapan data penelitian ini menunjukkan bahwa Rasyid tidaklah bersikap objektif, tetapi sengaja menyembunyikan fakta tentang dalil-dalil lainnya dengan tujuan agar masyarakat mendapatkan gambaran yang keliru dan tidak lengkap tentang Hizbut Tahrir.

Ketidaklengkapan mengenai wajhul istidlal yang digunakan HT, juga terdapat dalam buku Rasyid. Ketidaklengkapan ini maksudnya adalah ketidaklengkapan Rasyid dalam mengelaborasi dasar ushul fiqih (al-qawa’id al-ushuliyah) yang digunakan HT untuk memahami suatu ayat atau hadits. Seharusnya, Rasyid tak hanya memaparkan dalil ayat, tetapi juga memaparkan proses istinbath (penyimpulan hukum) menurut kaidah ushuliyah yang digunakan HT untuk memahami ayat itu. Faktanya, Rasyid hanya memaparkan ayat, tanpa menyebutkan kaidah ushuliyah yang digunakan HT. Di sinilah letak kesalahan Rasyid. Karena HT sesungguhnya mempunyai kitab ushul fiqih yaitu Al-Syakshiyyah Al-Islamiyyah Juz III, yang berisi kaidah-kaidah ushuliyah yang digunakan HT untuk memahami dan mengistinbath hukum dari Al-Qur`an maupun Hadits.

Sebagai contoh, terdapat kaidah ushuliyah dalam kitab karya Imam Taqiyuddin An-Nabhani (pendiri HT) yang berjudul Al-Syakshiyyah Al-Islamiyyah pada Juz III hlm. 245, pada bab Al-‘Umum wa Al-Khushush, yang berbunyi Khithab al-rasul khithabun li ummatihi maa lam yarid daliilun yukhashshishuhu bihi. (Khithab yakni perintah atau larangan dari Allah kepada Rasul-Nya, adalah khithab juga untuk umatnya, selama tidak terdapat dalil yang mengkhususkan khithab tersebut untuk Rasul SAW).[7]

Kaidah ushuliyah inilah yang digunakan HT untuk memahami QS Al-Maidah : 48-49. Maka kata fahkum pada ayat ini, yang berarti “maka berilah keputusan hukum” [dengan apa yang diturunkan Allah] yang awalnya tertuju kepada Rasul SAW sebagai mukhathab (yang diajak bicara), berlaku juga secara umum untuk umat Islam sepeninggal Rasul SAW. Maka setelah Rasul SAW meninggal, perintah fahkum tersebut terus berlanjut dan diteruskan oleh umat Islam, khususnya oleh para Khalifah sesudah Rasul SAW. Mengapa khalifah? Sebab awalnya ayat tersebut tertuju kepada Rasul SAW dalam kedudukan beliau sebagai penguasa (Al-Hakim), maksudnya bukan dalam kedudukan beliau sebagai Nabi. Maka sepeninggal Rasul SAW, ayat tersebut tetap berlaku dan pengamalannya dilanjutkan oleh para Khalifah. Dan pengamalan ayat tadi (fahkum) tidak akan sempurna kecuali dalam sistem Khilafah yang dipimpin Khalifah, maka keberadaan Khilafah menjadi wajib, sesuai kaidah maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa waajib (jika suatu kewajiban tak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya).[8]

Ketidakmampuan Rasyid mengelaborasi proses istinbath HT inilah yang membuat Rasyid menuduh secara serampangan bahwa HT telah melakukan “transformasi pemaknaan” terhadap QS Al-Maidah : 48-49, yang menurut Rasyid akan menimbulkan “dampak negatif buat Negara Indonesia” (hlm. 99). Jelas ini suatu tuduhan yang sangat naif dan ngawur, karena apa yang disebut Rasyid sebagai “transformasi pemaknaan”, sesungguhnya bukanlah pemaknaan yang suka-suka menurut hawa nafsu HT, melainkan mempunyai landasan ushul fiqih yang mendalam berupa kaidah ushuliyah yang sayangnya tidak mampu dijangkau oleh Rasyid. Jadi, yang gagal paham sebenarnya bukan HT, tapi Rasyid itu sendiri, karena Rasyid tidak mampu menjangkau kedalaman dan kepelikan kaidah ushuliyah yang terselip secara halus dalam proses penyimpulan hukum yang dilakukan oleh HT.

Kesalahan data, juga terjadi pada buku Rasyid ini, khususnya pada bukunya halaman 50-55. Di situ Rasyid menguraikan dalil QS Al Baqarah : 30 (wa idz qaala rabbuka inni jaa’ilun fil ardhi khalifah) yang menurut Rasyid ayat ini adalah dalil yang dikemukakan HT tentang wajibnya Khilafah. Padahal, faktanya, HT tidak pernah menggunakan ayat tersebut untuk mendasari wajibnya Khilafah. Jadi, darimana Rasyid mendapat data bahwa ayat tersebut digunakan HT untuk mewajibkan Khilafah? Ini sungguh aneh bin ajaib, karena seharusnya Rasyid membaca kitab-kitab HT dengan teliti dan cermati. Tetapi faktanya, Rasyid malah ngelantur dan berfantasi mengemukakan data yang tidak ada di kitab-kitab HT.

Inilah kritikan Penulis untuk data penelitian Rasyid, yaitu datanya tidak lengkap dan juga ada salah data (mungkin tepatnya “mengarang” data). Ini kesalahan fatal dan fundamental. Sebab data inilah yang akan dianalisis dan akan menjadi bahan untuk menarik kesimpulan. Jika datanya tidak lengkap, atau datanya sekedar karangan, maka kesimpulan yang dihasilkan juga cuma sampah yang tidak bernilai. Dalam bahasa teknis komputer terdapat ungkapan “garbage in garbage out”. Artinya, jika data yang diinput adalah “sampah”, maka setelah diproses outputnya juga cuma “sampah”. Kualitas level “sampah” inilah kiranya yang layak diberikan untuk buku Rasyid.

 

B. Kritik Terhadap Inkonsistensi Langkah Tafsir Maudhu’i

Penulis di sini tidak bermaksud mengkritisi langkah-langkah dalam Tafsir Maudhu’i, melainkan mengkritisi Rasyid yang tidak konsisten menjalankan langkah-langkah tersebut. Ada satu langkah yang seharusnya ditempuh, tapi ternyata Rasyid tidak menempuhnya, yaitu mengumpulkan hadits-hadits yang relevan dengan ayat yang dikaji.

Rasyid mengklaim akan menempuh 7 (tujuh) langkah dalam tafsir maudhu’i (tafsir tematik), sebagaimana diungkapkan oleh Rasyid dalam hlm. 11,”Langkah-langkah metode maudhu’i yang digunakan dalam buku ini yaitu…” (huruf miring oleh Penulis).

Huruf miring yang digunakan Penulis itu sangat penting, karena merupakan janji atau komitmen dari Rasyid bahwa dia akan menempuh langkah-langkah tersebut dalam bukunya, khususnya ketika membahas ayat-ayat Al-Qur`an dengan terma (istilah) Khilafah. Namun apakah Rasyid konsisten menempuh langkah-langkah itu? Faktanya, tidak. Karena langkah keenam, yaitu melengkapi kajian ayat dengan hadits-hadits yang relevan, ternyata tidak ditempuh sama sekali oleh Rasyid. Coba Anda buka buku Rasyid pada bab ketiga dari halaman 73-98, yang berjudul “Memahami Kembali Ayat-Ayat Khilafah”. Di situ Rasyid mengumpulkan dan mengkaji sejumlah ayat Al-Qur`an yang berbicara seputar Khilafah atau Khalifah. Tapi coba Anda cermati, adakah Rasyid melengkapi kajiannya itu dengan hadits-hadits tentang Khilafah? Jawabnya tegas : tidak.

Padahal bukankah banyak hadits-hadits yang terkait dengan terma Khilafah? Apakah Rasyid tidak tahu dalam Shahih Bukhari ada bab berjudul Kitabul Ahkam yang berisi hadits-jadits tentang kepemimpinan yang menjadi rujukan ulama untuk bicara masalah Khilafah? Apakah Rasyid tidak tahu dalam Shahih Muslim ada pula bab semacam itu yang berjudul Kitabul Imaarah? Apakah Rasyid menganggap hadits-hadits Nabi SAW itu tidak ada nilainya sehingga tidak layak dijadikan rujukan dalam kajiannya? Dan yang paling penting adalah pertanyaan, mengapa Rasyid tidak melengkapi kajian ayat-ayatnya dengan hadits-hadits Nabi SAW, padahal langkah itu telah ditulis dan dijanjikan oleh Rasyid sendiri?

Walhasil, metode tafsir maudhu’i yang dituliskan Rasyid tidak diamalkan secara lengkap pada bab ketiga (hlm. 73-98). Seharusnya, kajian ayat tentang Khilafah dilengkapi dengan hadits-hadits tentang Khilafah, tetapi kenyataannya tidak ada hadits yang disertakan, tidak ada, walaupun hanya satu hadits! Sekali lagi, tidak ada satu hadits pun yang disertakan!

Yang lebih parah lagi, Rasyid membuat analisis yang dapat menyesatkan pembacanya, yaitu seakan-akan HTI menggunakan ayat tertentu terkait Khilafah, lalu Rasyid datang untuk mengkritik penggunaan ayat tersebut. Padahal ayat itu sama sekali tidak pernah digunakan HTI untuk membahas Khilafah.

Coba lihat bukunya halaman 74-81. Di situ akan kita dapati, setiap kali Rasyid mengkaji suatu ayat, misalkan QS Al-A’raf : 150, Rasyid lalu menyimpulkan,”Tetapi konteks kepemimpinan di sini juga tidak bisa dialihkan maknanya menjadi khilafah menurut Hizbut Tahrir Indonesia.” (hlm. 74). Demikian juga setelah Rasyid mengkaji ayat QS At Taubah: 118 dan Al A’raf :142 Rasyid pun menyimpulkan,”Ayat ini tidak sedikitpun membahas sistem Khilafah Islamiyyah”. (hlm. 76).

Kesimpulan yang ditarik Rasyid ini jelas bisa menyesatkan pembaca, yakni seakan-akan HTI menggunakan ayat-ayat tersebut (yaitu QS Al-A’raf : 150, QS At Taubah: 118 dan Al A’raf :142 ) sebagai dalil wajibnya Khilafah, lalu datanglah kemudian Rasyid sebagai pahlawan kesiangan yang membantah kesimpulan HTI. Padahal, wallahi, HTI tidak pernah menggunakan ayat-ayat tersebut untuk membahas Khilafah. Ayat-ayat tersebut adalah pilihan Rasyid sendiri, tidak pernah digunakan oleh HTI dalam pembicaraannya tentang Khilafah.

Jadi, Rasyid sebenarnya bukan mengkritik penggunaan ayat oleh HTI, tapi mengkritik khayalannya sendiri tentang ayat yang dipakai HTI, yang sebenarnya HTI tidak pernah menggunakan ayat tersebut.

Kesimpulannya, Penulis menilai terdapat cacat yang sangat serius dan parah dalam metode tafsir maudhu’i yang ditempuh Rasyid; pertama, tidak melengkapi kajian ayat dengan hadits-hadits yang relevan. Kedua, membuat analisis dan kesimpulan yang dapat menyesatkan pembaca, yaitu seakan-akan HTI menggunakan suatu ayat, padahal ayat itu tidak pernah digunakan oleh HTI.

Cacat metodologis ini semakin melengkapi kelemahan dan kerapuhan buku Rasyid. Sudahlah datanya tidak lengkap, atau datanya cuma karangan, ini malah ditambah lagi dengan adanya cacat metodologis atau cacat proses. Jadi yang sampah ternyata tidak cuma inputnya (yaitu data tak lengkap/data karangan), tapi prosesnya juga sampah. Jelas ini karya yang sangat menjijikkan.

 

C.Kritik Terhadap Metode Hermeneutika

Rasyid mengatakan penelitiannya menggunakan hermeneutika sebagai acuan untuk menafsirkan ayat, khususnya hermeneutika sosio-historis Fazlurahman. (hlm.10). Padahal penggunaan hermeneutika sebagai teori atau metode untuk menafsirkan ayat Al-Qur`an merupakan persoalan kontroversial yang perlu disikapi dengan sangat hati-hati. Sudah banyak sarjana dan intelektual yang mengkritisi penggunaan hermeneutika untuk menafsirkan Al-Qur`an.

Salah satu sarjana yang mengkritisi penggunaan hermeneutika untuk Al-Qur`an adalah Dr. Syamsuddin Arif dalam bukunya Orientalis dan Diabolisme Pemikiran (Jakarta: Gema Insani Press, 2008), halaman 176-184. Menurut Syamsuddin Arief, hermeneutika bukanlah metode tafsir yang bebas nilai, melainkan metode yang mengandung nilai (value-bond) berupa sejumlah asumsi dengan konsekuensinya masing-masing sebagai berikut:

Pertama, hermeneutika mempunyai asumsi bahwa semua teks adalah sama, yakni semuanya merupakan karya manusia. Asumsi ini lahir dari kekecewaan kaum Nashrani terhadap Bible (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru). Teks yang semula dianggap suci itu belakangan telah diragukan keasliannya. Campur tangan manusia pada Perjanjian Lama (Torah) dan Perjanjian Baru (Gospels) ternyata lebih banyak ditemukan daripada wahyu yang benar-benar diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nab Isa AS. Konsekuensinya, jika hermeneutika diterapkan pada Al-Qur`an, maka otomatis hermeneutika akan menolak kedudukan Al-Qur`an sebagai wahyu (kalamullah) dan akan menggugat pula otentisitas Al-Qur`an;

Kedua, hermeneutika mempunyai asumsi bahwa setiap teks adalah “produk budaya” (muntaj tsaqafi), yang sebenarnya asumsi ini sangat tepat untuk kasus Bibel, karena sejarah teks Bible memang sarat dengan problema. Konsekuensinya, jika hermeneutika diaplikasikan untuk Al-Qur`an, maka hermeneutika akan menurunkan derajat kebenaran Al-Qur`an yang melintasi batas ruang-waktu (trans-historical) dan universalitas pesan Al-Qur`an (hudan li n-nas), menjadi kebenaran yang terpenjara dalam konteks ruang-waktu yang sempit dan menurunkan universalitas pesan Al-Qur`an menjadi pesan lokal-temporal (masyarakat Arab abad ke-7);

Ketiga, praktisi hermeneutika dituntut bersikap skeptis, yaitu selalu meragukan kebenaran dari mana pun datangnya dan akan terus terperangkap dalam apa yang disebut “hermeneutics cyrcle” (siklus hermeneutika) di mana makna/kebenaran akan senantiasa berubah. Asumsi ini hanya cocok untuk Bible, yang memang telah mengalami pergantian bahasa secara berkali-kali, dari bahasa Hebrew dan Syriac ke bahasa Greek (Yunani) lalu ke bahasa Latin, yang dalam prosesnya menghasilkan banyak perubahan serta kesalahan redaksional (textual corruption and scribal errors). Sikap skeptis ini jelas tidak dapat diberlakukan untuk Al-Qur`an, sebab kesahihan proses transmisi Al-Qur`an senantiasa terjaga dari masa ke masa.

Keempat, hermeneutika menghendaki praktisinya untuk menganut relativisme epistemologis. Praktisi hermeneutika berpandangan tidak ada tafsir yang kebenarannya mutlak, karena semuanya relatif. Apa yang benar menurut seseorang boleh jadi salah menurut orang lain. Alhasil nilai kebenaran tidak ada yang absolut tapi akan bersifat relatif yang selalu terikat oleh konteks zaman atau tempat di mana praktisi hermeneutika berada. Jika sikap ini diterapkan untuk Al-Quran, maka praktisi hermeneutika akan mengaburkan dan menolak kebenaran. Selain itu, sikap tersebut akan melahirkan mufassir-mufassir gadungan dan pemikir-pemikir liar yang sesat dan menyesatkan.[9]

Setelah melakukan kritik yang tajam untuk penggunaan hermeneutika terhadap Al-Qur`an tersebut, Dr. Syamsuddin Arif mengutip Josef van Ess, seorang profesor emeritus dan pakar sejarah teologi Islam dari Universitas Tubingen, Jerman, yang menyatakan:

”We should, however, be aware of fact that the German hermeneutics was not made for Islamic studies as such. It was originally a product of Protestan theology. Schleirmacher aplied it to Bible. Later on, Heidegger and his pupil Gadamer were deeply imbued with German literature and antiquity. When such people say “text” they mean a literary artifact, something aesthetically appealing, normally an ancient text which exist only in one version, say a tragedi by Sophocles, Plato’s Dialogues, a poem by Holderlin. This is not necessarily so in Islamic studies.”

(Bagaimanapun juga kita perlu menyadari suatu fakta bahwa hermeneutika yang berasal dari Jerman itu bukanlah ditujukan untuk kajian keislaman. Pada asalnya, hermeneutika merupakan produk teologi Protestan. Ia dipakai untuk mengkaji Bible oleh Schleiermacher, dan belakangan digunakan oleh Heidegger dan muridnya yang bernama Gadamer untuk kesusasteraan Jerman maupun klasik. Jadi ketika mereka mengucapkan “teks” maka yang dimaksud adalah karya tulis buatan manusia, sesuatu yang indah lagi menarik, biasanya sebuah naskah kuno yang hanya terdapat dalam satu versi saja, katakanlah seperti kisah tragedi karya Sophocles, dialog-dialog karya Plato, atau puisi karya Holderin. Jadi teks yang mereka maksudkan tidak sama dengan konsep teks dalam kajian Islam).[10]

Dari kritikan terhadap hermeneutika yang Penulis kutipkan ini, jelaslah di mana posisi Rasyid yang mengklaim menggunakan pendekatan hermeneutika dalam buku yang ditulisnya itu. Hermeneutika itu tidak berasal dari ulama Islam, melainkan berasal dari tradisi Protestan yang awalnya digunakan untuk mengkaji teks Bible. Maka pendekatan hermeneutika yang digunakan Rasyid sesungguhnya tidak layak diterapkan untuk ayat-ayat Al-Qur`an, baik ayat al-Quran secara umum maupun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah Khilafah. Barangkali hermeneutika akan sangat cocok, jika digunakan oleh Rasyid untuk mengkaji ayat-ayat Bible yang terkait kekuasaan dan politik. Tapi ketika digunakan untuk mengkaji Al-Qur`an, jelas itu salah alamat.

Dengan demikian, penggunaan hermeneutika yang salah alamat ini, memperparah cacat-cacat sebelumnya yang terdapat dalam buku Rasyid. Sudah datanya tidak lengkap, atau datanya karangan, lalu ada langkah dalam tafsir maudhu’i yang ditinggalkan, kini ditambah lagi dengan menggunakan metode hermeneutika yang sesungguhnya adalah tradisi kaum Protestan ketika mereka mengkaji Bible. Tragis.

 

D. Kritik untuk Temuan bahwa HTI Akan Menimbulkan “Kekerasan”

Rasyid menyimpulkan bahwa HTI dengan ide Khilafahnya akan dapat menimbulkan “kekerasan”. Rasyid lengkapnya mengatakan,”Penulisan ini terinspirasi dari kegelisahan atas pemikiran yang berkembang di kalangan simpatisan HTI, dimana mampu membawa dampak “kekerasan” di kemudian hari, jika konsep ini tetap dipaksakan dan diterapkan di negara yang multi agama.” (hlm.xv).

Di bagian lain, Rasyid mengatakan,”Ketika Indonesia diterapkan sistem Khilafah maka kacau balau akan terjadi dengan sendirinya, dan Indonesia akan terbelah menjadi dua wilayah.” (hlm. 72).

Penulis berkomentar, bahwa boleh-boleh saja seseorang membuat analisis atau kesimpulan mengenai dampak jika Khilafah tegak di Indonesia. Tapi yang menjadi masalah adalah, data seperti apa yang menjadi landasan analisisnya? Bagaimana pula cara analisisnya?

Cara menganalisis ancaman pun ada ilmunya, bukan ngawur-ngawuran. Salah satu buku yang menjelaskan cara menilai besar kecilnya ancaman adalah buku berjudul Methods of Intelligence Analysis yang ditulis oleh Hank Prunckun. Dalam buku ini Hank Prunckun menerangkan bahwa besarnya suatu ancaman dapat dianalisis secara kuantitatif dengan mengukur 4 (empat) variabel yang terdapat pada “pihak pengancam”, yaitu; (1) desire (keinginan); (2) expectation (harapan); (3) knowledge (pengetahuan); dan (4) resources (sumber daya).

Masing-masing variabel ini diberi skor pada kisaran 1 s/d 5. Jika skor dari variabel desire dan expectation digabungkan, maka akan diketahui skor intention (niat). Sedangkan jika skor knowledge dan resources digabungkan, maka akan diketahui besarnya skor capability (kemampuan). Skor intention dan capability kemudian ditotal dan akan diketahui skor akhir, yaitu skor threat (ancaman). Skor ancaman ini ada koefisian nilainya, yaitu : (1) skor pada kisaran 4-6 artinya negligible (ancaman dapat diabaikan); (2) skor pada kisaran 7-10 artinya minimum (ancaman minim); (3) skor pada kisaran11-15 berarti medium (ancaman sedang); (4) skor pada kisaran 16-18 artinya high (ancaman tingkat tinggi); dan (5) skor pada kisaran 19-20 berarti acute (ancaman sudah akut). (Lihat Hank Prunckun, Methods of Intelligence Analysis).

Pertanyaannya, apa alat analisis yang digunakan Rasyid sehingga seakan-akan dia hendak mengatakan bahwa HTI adalah suatu ancaman (threat) bagi Indonesia? Data-data seperti apa pula yang digunakan Rasyid sehingga kemudian Rasyid menyimpulkan kalau Khilafah tegak di Indonesia maka Indonesia akan terbelah menjadi dua wilayah? Jawaban untuk dua pertanyaan ini adalah negatif. Artinya, Rasyid tidak mempunyai alat analisisnya, juga tidak mempunyai data-data yang cukup. Dalam bahasa yang sederhana, Rasyid telah berbicara tanpa ilmu.

Jadi yang dilakukan Rasyid adalah membuat analisis atau kesimpulan tanpa dasar, baik dasar berupa data-data maupun dasar berupa alat analisis yang digunakan. Yang dilakukan Rasyid tiada lain adalah melontarkan fitnah yang sangat keji kepada Hizbut Tahrir seakan-akan Hizbut Tahrir adalah kelompok yang berbahaya bagi Indonesia, padahal bukti-buktinya sama sekali tidak ada.

Saran Penulis, sebaiknya Rasyid melakukan analisis ancaman (threat) yang benar-benar ada di Indonesia, seperti ancaman KGB (Komunisme Gaya Baru), atau ancaman dominasi ekonomi dan politik dari  koalisi RRC dan China’s Overseas terhadap rakyat Indonesia, atau ancaman neoliberalisme dari AS (Amerika Serikat) dan negara-negara sekutunya terhadap Indonesia, atau ancaman wabah korupsi di lembaga tinggi negara (DPR, Mahkamah Konstitusi, Polri, dll), atau ancaman narkoba, seks bebas, dan LGBT terhadap generasi muda Indonesia, dan sebagainya. Lebih bermanfaat Rasyid melakukan analisis-analisis yang seperti ini, yang jelas-jelas terjadi di depan mata, daripada berfantasi secara liar tanpa ilmu dengan berkhayal seolah-olah HTI berbahaya, padahal bahaya yang nyata justru datang dari pihak-pihak lain di luar HTI.

 

E. Kritik Terkait Aspek Teknis Penulisan

Kritikan terakhir dari Penulis adalah kritik yang terkait dengan teknik penulisan, seperti salah istilah, atau salah ketik, dan sebagainya. Memang kesalahan teknis ini tidaklah fatal, namun akan dapat menggambarkan sejauh mana derajat ketelitian dan akurasi seorang penulis.

Rasyid, misalnya, telah menulis istilah yang jelas-jelas salah. Pada halaman xvi Rasyid menyebut pimpinan kampusnya “Direktur STKQ”. Padahal menurut nomenklatur yang berlaku di Kemenag RI, pimpinan Sekolah Tinggi itu namanya “Ketua” bukan “Direktur”. Kesalahan Rasyid terbukti pada halaman xix ketika pimpinannya memberikan Kata Pengantar untuk bukunya. Jabatan pimpinannya adalah “Ketua STKQ”, bukan Direktur STKQ seperti yang ditulis Rasyid. Kesalahan ini cukup memalukan, karena bagaimana mungkin seorang mahasiswa bisa salah menulis jabatan pimpinan di kampusnya sendiri?

Kesalahan lain adalah salah ketik. Misalnya, di halaman 146 (Daftar Pustaka), tertulis kitab karangan Wahbah Zuhaili secara salah, yaitu Al-Fiqhul Al-Islam wa Adillatuhu. Yang benar, Al-Fiqhul Al-Islami wa Adillatuhu (menggunakan ya nisbah pada kata “al-islam”). Contoh lain, pada alaman 139, tertulis nama seorang pengarang secara salah, yaitu Ainun Rofiq Al-Amin. Ini salah, yang benar Ainur Rofiq Al-Amin. Kesalahan ini juga memalukan, karena buku yang ditulis oleh pengarang itu banyak dirujuk oleh Rasyid, yaitu buku berjudul Membongkar Proyek Khilafah Ala Hizbut Tahrir Indonesia.[11] Kesalahan penulisan nama ini meskipun seakan remeh-temeh, namun tetap menunjukkan rendahnya kualitas tulisan Rasyid.

Kesalahan penulisan lain masih cukup banyak, kira-kira ada 20 (dua puluh) salah tulis mulai dari halaman awal hingga daftar pustaka. Sengaja Penulis tidak tulis detailkan di sini, karena terlalu teknis. Tapi semua kesalahan tulis itu Penulis catat di sebuah catatan khusus. Kalau Rasyid mau, catatannya bisa Penulis berikan.

 

Kesimpulan

Buku yang ditulis Rasyid adalah buku yang gagal, karena mengandung banyak cacat. Cacat yang menonjol adalah : pertama, datanya tidak lengkap atau data karangan. Kedua, langkah-langkah tafsir maudhu’i tidak dilaksanakan secara lengkap, yakni tidak menyajikan data hadits-hadits yang relevan dengan ayat. Ketiga, menggunakan metodologi hermeneutika yang kontroversial, karena sebenarnya hermeneutika merupakan tradisi kaum Protestan yang awalnya untuk mengkaji Bible. Keempat, tidak mempunyai dasar berupa data dan alat analisis ketika menyimpulkan HTI berbahaya bagi Indonesia. Kelima, terdapat banyak kesalahan teknis penulisan yang cukup mengganggu. Wallahu a’lam.

 

= = =

*Makalah disampaikan dalam Bedah Buku Hizbut Tahrir Indonesia Gagal Paham Khilafah Karya Makmun Rasyid, di Ruang Teatrikal Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Senin 27 Maret 2017, diselenggarakan oleh The Al-Falah Institute, Yogyakarta.

**Ketua DPP HTI, Mudir Ma’had Hamfara Yogyakarta, Dosen Ushul Fiqih dan Fiqih Muamalah STEI Hamfara Yogyakarta, Anggota Komisi Fatwa MUI DIY, Mahasiswa Doktoral Progam Studi Dirasah Islamiyah UIN Sunan Ampel Surabaya. No HP : 081328744133. E-mail : shiddiq_aljawi@hizbut-tahrir.or.id.

 

CATATAN AKHIR :

[1] Makmun Rasyid, Hizbut Tahrir Indonesia Gagal Paham Khilafah, Tangerang: Pustaka Compass, 2017, xv.

[2] Ibid., xvi dan xviii.

[3] Ibid., 10.

[4] Ibid., 10.

[5] Ibid., 16.

[6] Ibid., 98-99.

[7] Lihat Abdul Qadim Zallum, Nizhamul Hukm fi Al-Islam, Beirut: Darul Ummah, 2002, 37.

[8] Ajhizah Dawlah Al-Khilafah, Beirut; Darul Ummah, 2005, 10.

[9] Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani Press. 2008, 181-183. Lihat juga kritikan Adian Husaini terhadap hermeneutika dalam bukunya Wajah Peradaban Barat Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekular-Liberal. Jakarta: Gema Insani Press. 2005, 320-330.

[10] Ibid., 183. Syamsuddin Arief mengutipnya dari Irene A. Bierman (ed), Text and Context in Islamic Societies, Reading, UK: Ithaca Press, 2004, 7.

[11] Lihat Ainur Rofiq Al-Amin, Membongkar Proyek Khilafah Ala Hizbut Tahrir Indonesia, Yogyakarta: LKiS, 2012.

 

DAFTAR PUSTAKA

  • Amin (al), Ainur Rofiq. Membongkar Proyek Khilafah Ala Hizbut Tahrir Indonesia. Yogyakarta: LKiS. 2012.
  • Arif, Syamsuddin. Orientalis & Diabolisme Pemikiran. Jakarta: Gema Insani Press. 2008.
  • Hizbut Tahrir, Ajhizah Daulah Al-Khilafah (fi Al-Hukm wa Al-Idarah). Beirut: Darul Ummah. 2005.
  • Husaini, Adian. Wajah Peradaban Barat Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekular-Liberal. Jakarta: Gema Insani Press. 2005.
  • Nabhani (al), Taqiyuddin. Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah. Juz III (Ushul Fiqh). Beirut: Darul Ummah. 2005.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*