Dengan war on radicalism ini, jelasnya, sasarannya bisa semakin luas dan tidak terbatas kepada mereka yang menggunakan kekerasan fisik saja.
Tiada angin dan tiada hujan, tiba-tiba rezim Joko Widodo berencana membubarkan organisasi masyarakat (Ormas) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sehari sebelum pembacaan putusan atas terdakwa penista agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Keputusan yang dibacakan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto, Senin (8/9) itu kontan mengagetkan banyak kalangan.
Wiranto yang didampingin oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, dan Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly mengemukakan alasan pemerintah membubarkan HTI. Pertama, sebagai ormas berbadan hukum, HTI tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional.
Kedua, kegiatan yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, azas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas.
Ketiga, aktivitas yang dilakukan HTI dinilai telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI.
“Mencermati berbagai pertimbangan di atas, serta menyerap aspirasi masyarakat, Pemerintah perlu mengambil langkah–langkah hukum secara tegas untuk membubarkan HTI,” tutur Wiranto.
Ia mengakui, pembubaran HTI ini merupakan keputusan berdasarkan perintah Jokowi demi stabilisasi nasional. “Presiden sudah menugaskan kementerian, dan lembaga di jajaran Kemenko Polhukam untuk mengkaji secara mendalam dan dilakukan langkah-langkah yang cepat, tegas terhadap ormas yang nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila,” kata Wiranto.
Langkah pemerintah Joko Widodo ini menegaskan sikapnya yang anti terhadap Islam. Meski saat berbicara di depan pers Wiranto mengatakan pemerintah bukan anti Ormas Islam, tindakan aparatur negara belakangan mengindikasikan adanya phobia terhadap Islam yang kian nyata.
Kriminalisasi Ulama
Sebelumnya rezim Jokowi mengkriminalkan para ulama terutama mereka yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI). Satu per satu mereka dicari kesalahannya dan diperiksa oleh aparat kepolisian.
Kondisi ini sampai digambarkan oleh Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab seperti ini: “Andaikata semut lagi lewat ditanya polisi, ‘Kamu diinjak nggak sama GNPF?’ Kalau semut menjawab, ‘Saya diinjak oleh GNPF.’ Polisi pun mengatakan, ‘Lapor, lapor, lapor! Orang yang cerdas paham isyarat. Itulah keadaan kita saat ini,” katanya.
Rizieq sendiri kini dibidik dengan belasan kasus. Mulai kasus tanah, pelecehan adat dan budaya, penghinaan Pancasila, simbol palu arit, sampai kasus konten telepon seluler. Berbagai tekanan dihadapinya termasuk penembakan di pesantrennya di kawasan Megamendung, Bogor. Tekanan itu membuatnya harus mengajak seluruh anggota keluarganya pergi umroh beberapa waktu lalu.
Tidak hanya Rizieq, tokoh GNPF lain yang dibidik adalah Bachtiar Nasir dan Munarman. Bachtiar dituding telah menyelewengkan dana bantuan untuk rakyat Suriah kepada ISIS. Sumber Media Umat, menyebut upaya mencari kesalahan para tokoh yang terlibat aksi 411 dan 212 terus dilakukan oleh kepolisian.
Munarman pun dikriminalkan dengan tudingan dianggap menuduh pecalang Bali telah melempari rumah penduduk dan melarang umat Islam shalat Jumat. Ucapan Munarman itu dilaporkan berdasarkan video yang diunggah di Youtube. Padahal, video itu sendiri adalah video lawas karena diunggah di Youtube pada 16 Juni 2016 dan konteksnya berbeda.
Selain tindakan kriminalisasi secara hukum, kriminalisasi ini dilakukan secara fisik dan melanggar hukum. Wakil Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Tengku Zulkarnain diancam dengan kekerasan saat dirinya hendak mengisi Tabligh Akbar di Sintang, Kalimantan Barat, Kamis (12/1).
Tengku dihadang tentara Dayak yang membawa senjata tajam saat pesawat Garuda yang ditumpanginya baru saja mendarat di Bandara Sintang. Bukannya di luar bandara, orang berpakaian adat Dayak ini sampai di apron bandar—tempat parkir pesawat yang akan menurunkan penumpang. Anehnya, kepolisian tampak mendiamkan kejadian itu. Mereka yang mengatasnamakan Forum Pemuda Dayak juga membentangkan spanduk menuntut FPI dibubarkan.
Terakhir, M Al Khaththath yang termasuk salah satu motor GNPF-MUI ditangkap di Jakarta, malam menjelang diadakannya Aksi 313, Jumat (31/3). Aksi itu sendiri untuk menuntut pemberhentian Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai gubernur DKI karena statusnya sebagai terdakwa. Al Khaththath dijebloskan ke rumah tahanan Korps Brimob Kelapa Dua, Depok dengan tuduhan permufakatan makar.
Pembubaran Pengajian
Akhir April lalu, kepolisian membubarkan pengajian Ustadz Felix Siauw di sebuah hotel di Malang Jawa Timur. Pengajian itu sendiri hanya membahas persoalan remaja dan diikuti oleh para remaja.
Kepolisian berdalih, acara ini dihentikan karena tidak memiliki izin. Bahkan polisi melarang panitia menutup acara bertema ‘Cinta Mulia’ dengan doa. Setelah didesak, kepolisian mengaku membubarkan acara ini karena adanya tekanan dari sebuah Ormas.
Hal yang sama terjadi di Pangkal Pinang, Bangka. BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus) baru-baru ini hendak mengadakan kajian tentang pemuda yang kemudian dibatalkan. Sebelumnya kajian ini telah mendapatkan izin dari pengurus masjid, namun kemudian tidak bisa dilaksanakan karena pengurus masjid mendapat surat edaran dari kepolisian tentang perizinan kajian di masjid.
Surat edaran tersebut berisi: pengurus masjid tidak diperbolehkan mengizinkan kegiatan apapun yang menggunakan fasilitas masjid oleh ormas atau kelompok tertentu tanpa izin kepolisian, karena dikhawatirkan akan digunakan untuk menyebarkan paham atau ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Jika pelaksanaan kegiatan tersebut tetap ada tanpa perizinan kepolisian maka akan dibubarkan dan proses hukum lebih lanjut. Kepolisian berdalih, surat ini hanya dimaksudkan untuk mencegah adanya penyebaran paham radikalisme dan hanya ditujukan bagi Ormas tertentu.
Di Bogor, kepolisian tanpa peringatan menangkap 17 mahasiswa dari Kampus El Rahma Bogor ketika sedang menyebarkan buletin Al Islam dan sembari mengenalkan panji Rasulullah Al-Liwa dan Ar-Raya, Ahad (30/4). Mereka ini mengadakan sebar buletin di tempat yang sama, rutin dan sepengetahuan pihak kepolisian sebelumnya. Tapi mahasiswa dianggap mengadakan unjuk rasa ilegal dan dilakukan di tempat yang bukan semestinya.
Di kampus-kampus mulai muncul pengawasan yang ketat terhadap kegiatan mahasiswa berbau Islam. Juga ada indikasi pengawasan terhadap para dosen yang dianggap memiliki paham yang dinilai tidak sejalan dengan paham yang dikembangkan pemerintah.
Dan untuk mendukung itu, pemerintah telah menginisiasi lahirnya Deklarasi Rektor Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) yang ditandatangani oleh 55 rektor PTKIN di Banda Aceh. Salah satu isinya adalah: Melarang berbagai bentuk kegiatan yang bertentangan dengan Pancasila, dan anti-NKRI, intoleran, radikal dalam keberagamaan, serta terorisme di seluruh PTKIN.
Stigma Negatif
Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia menilai, stigmatisasi ala Orde Baru dipergunakan kembali untuk memukul umat Islam. Stigmatisasi itu adalah bahwa umat Islam yang membela agamanya seperti tampak dalam Aksi Bela Islam sebagai tidak toleran (intoleran), dan anti kebhinnekaan. Tidak hanya itu, belakangnya ditambah lagi dengan anti-Pancasila dan anti-NKRI.
Menurutnya, pemerintah melalui kepolisian menggunakan cap radikal kepada kelompok Islam yang tidak sejalan dengan pemerintah. “Tampaknya ada pergeseran dari war on terrorism ke war on radicalism,” jelas Ismail.
Dengan war on radicalism ini, jelasnya, sasarannya bisa semakin luas dan tidak terbatas kepada mereka yang menggunakan kekerasan fisik saja. “Ini bisa menyasar kepada siapa saja, termasuk Ormas Islam mana saja,” tandasnya.
Stigma negatif kepada kaum Muslim, menurutnya, tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politik penguasa. Terlebih lagi, kekuatan kaum Muslim khususnya yang diperlihatkan di Jakarta dengan Aksi Bela Islam sangat mengkhawatirkan penguasa dan partai pendukungnya.
Tak salah jika stigma itu dirasakan hanya hanya kepada Muslim. Buktinya, jika yang melakukan pelanggaran adalah orang-orang yang mendukung rezim seperti Ahoker—aksi di hari libur/Waisak, aksi di malam hari, aksi di instansi pemerintah (Balaikota dan Markas Brimob dll—dibiarkan, dan tidak dicap sebagai intoleran, tidak menghormati hukum, atau anti-Pancasila. Demikian pula orang non-Muslim yang membakar masjid di Tolikara tidak dikatakan radikal, anti-Pancasila, anti-NKRI, dan anti-kebhinnekaan. Juga Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang mengibarkan dan mendeklarasikan kemerdekaan bahkan memiliki senjata tidak disebut makar dan teroris
Orde Lama Diulang, Orde Baru Ditiru
Di zaman Orde Lama, rezim Soekarno membubarkan Partai Masyumi. Saat itu terjadi ketegangan politik antara Masyumi dan Presiden Soekarno. Presiden pertama RI memandang Masyumi bersimpati terhadap gerakkan PRRI (Pemerintah Revolusional Republik Indonesia). Di sisi Lain Masyumi memandang Soekarno sebagai penguasa cenderung diktator dan negara bergerak ke arah kini serta memberikan peluang kepada PKI.
Dalam perhitungan aktivis Masyumi, tanpa keberadaan Masyumi, maka kekuatan PKI akan semakin besar dan sukar dibendung, apalagi NU saat itu menerima sebagai representasi agama dalam poros Nasakom. PKI pun akhirnya besar.
Tak hanya dibubarkan, tokoh-tokohnya juga ditangkap. Di antaranya Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Kasman Singodimedjo, dan Buya Hamka. Mereka dijebloskan ke penjara di Jalan Keagungan, Jakarta, tanpa proses hukum selama bertahun-tahun.
Di era Soeharto, masa Orde Baru, umat Islam mengalami tekanan yang luar biasa. Padahal sebelumnya, umat Islam ini punya jasa besar dalam ikut membantu pemerintah memberantas PKI.
Rupanya kekuatan Islam ini tak diperbolehkan berkembang menjadi sebuah arus besar yang dianggap bisa ‘merongrong’ wibawa Orde Baru. Melalui tangan Ali Moertopo dan kemudian dilanjutkan oleh LB Moerdani berbagai skenario dilakukan untuk melemahkan kekuatan Islam saat itu. Di mata pemerintah dan militer waktu itu, umat Islam digolongkan sebagai ancaman. Umat Islam dianggap sebagai ekstrem kanan. Di masa itu pula, banyak aktivis Islam ditangkap dan diculik tanpa dasar hukum.
Rezim pun memaksa semua ormas dan parpol harus berasaskan Pancasila. Tokoh Islam yang dianggap bersuara keras ditangkap.
Lho kok kini ulama dikriminalkan, ormas Islam mau dibubarkan. Mencontoh rezim sebelumnya? []
Sumber: Tabloid Mediaumat edisi 197