Benarkah Doa Berbuka “Allahuma Laka Shumtu” Tidak Sahih?

Tanya :

Ustadz, benarkah doa berbuka “allahuma laka shumtu dst” adalah tidak sahih dan tak ada dalam kitab hadits manapun. Katanya yang sahih hanya doa “dzahaba azh zhama`u wab-tallatil ‘uruuqu wa tsabatal ajru insyaa Allah.” (Putri Munawwaroh, Bantul).

 

Jawab :

Tidak benar doa berbuka puasa dengan lafazh “allahuma laka shumtu dst” tidak terdapat dalam kitab hadits mana pun. Karena doa tersebut terdapat dalam hadits riwayat Imam Abu Dawud dari Mu’adz bin Zuhrah. Diriwayatkan dari Mu’adz bin Zuhrah ra bahwa Nabi SAW jika berbuka puasa berdoa,“Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu.” (Ya Allah hanya karena-Mu aku berpuasa, dan hanya dengan rizki-Mu aku berbuka).” (HR Abu Dawud, no. 2358).

Berdasarkan ini, tidak benar pendapat bahwa doa berbuka puasa dengan lafazh “allahuma laka shumtu” tidak terdapat dalam kitab hadits mana pun. Yang menjadi masalah, hadits tersebut merupakan hadits mursal, sebagaimana kata Imam Nawawi, ”Haakadza rawaahu mursalan” (Demikianlah Abu Dawud telah meriwayatkan hadits ini secara mursal). (Imam Nawawi, Al Adzkar An Nawawiyyah, hlm.162).

Hadits mursal adalah hadits yang gugur periwayatnya pada generasi sahabat (maa saqatha minhu as shahaabi). Contohnya, seorang tabi’in (bukan sahabat) mengatakan,”Nabi SAW berkata begini atau berbuat begini”. Hadits mursal menurut sebagian ulama digolongkan ke dalam hadits dhaif dan tertolak (dha’iif marduud). (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, III/46; Mahmud Thahhan, Taisir Mustholah Al Hadits, hlm. 72; Shubhi Shalih, Ulumul Hadits wa Mushtholahuhu, hlm. 166-167).

Dalam kitab-kitab syarah Sunan Abu Dawud, dijelaskan periwayat hadits bernama Mu’adz bin Zuhrah memang bukanlah seorang sahabat, melainkan  seorang tabi’in (generasi pasca sahabat). (M. Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi,’Aunul Ma’bud, XI/483; Muhammad Muhammad Khathab As Subki, Al Manhal Al ‘Adzb Al Maurud, X/81-82).

Namun, pendapat yang mendhaifkan hadits tersebut kurang tepat. Karena sesungguhnya para ulama masih berbeda pendapat mengenai hadits mursal, apakah dapat dijadikan hujjah (dalil) ataukah tidak. Dalam persoalan ini, pendapat yang rajih (kuat) menurut Imam Taqiyuddin An Nabhani adalah hadits mursal dapat dijadikan hujjah. Alasannya, meski periwayat yang gugur (tidak disebut) tidak diketahui dari segi personnya (min naahiyati syakhshihi), yaitu apakah sahabat bernama A ataukah B, tapi jelas diketahui bahwa periwayat itu adalah sahabat. Padahal semua sahabat adalah orang-orang yang adil (al shahabat kulluhum ‘uduul), yang sudah pasti merupakan orang yang tsiqah (adil dan dhabit / kuat hafalan). Jadi alasan yang melemahkan hadits mursal, yaitu terputusnya sanad (inqithaa’us sanad), tidak dapat diberlakukan pada hadits mursal. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz 1 hlm. 342).

Selain itu, kami temukan doa berbuka puasa tersebut dalam Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah sebagai hadits marfuu’, yaitu hadits yang periwayatnya pada generasi sahabat disebutkan jelas siapa orangnya, yakni Abu Hurairah ra. Kata Imam Ibnu Abi Syaibah,”Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail, dari Hushain, dari Abu Hurairah ra, dia berkata,”Dulu Nabi SAW jika berpuasa kemudian berbuka, beliau berdoa,’Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu.” (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, no. 9744).

Kesimpulannya: (1) tidak benar doa berbuka puasa “allahuma laka shumtu dst” tidak ada di dalam kitab hadits mana pun; (2) hadits mursal dari Imam Abu Dawud yang mengandung doa tersebut bukanlah hadits dhaif, melainkan hadits yang derajatnya minimal hasan dan boleh diamalkan; (3) doa tersebut terdapat dalam hadits marfuu’ dari Abu Hurairah ra dalam Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah.  Wallahu a’lam. []Ustadz Siddiq al Jawie

 

Sumber : Tabloid Media Umat 198

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*