Amerika Serikat benar-benar panik. Buktinya, pada hari libur Minggu (16/3/2008) pun, mereka menurunkan suku bunga diskonto (discount rate)—yakni suku bunga yang ditawarkan bank sentral kepada bank-bank komersial—dari 3,5 persen menjadi 3,25 persen.
Namun, apa yang terjadi?
Beruntung, harga minyak terkoreksi menjadi 106 dollar AS per barrel sehingga meniupkan sedikit ruang harapan. Setelah The Fed menurunkan suku bunga dari 3,0 persen menjadi 2,25 persen (18/3/2008), indeks harga saham di
Kebijakan The Fed itu merupakan jurus klasik, yang dulu juga pernah dilakukan pada era depresi besar pada 1930-an. The Fed berusaha memasok likuiditas lebih banyak untuk menyangga perekonomian. Langkah ini seiring kebijakan likuiditas longgar berupa injeksi 200 miliar dollar AS oleh The Fed ke pasar uang. Manfaatnya adalah, saat pasar sedang mengalami frustrasi, nervous, dan kehilangan kepercayaan, diperlukan lebih banyak likuiditas yang tersedia di pasar. Kelangkaan dan kesulitan mendapatkan likuiditas segar hanya akan menambah kepanikan. Karena itu, hal ini harus diredam melalui easy money policy (likuiditas mudah dan berlimpah).
Kebijakan ini ditempuh terutama setelah menyadari krisis pada bank-bank investasi lebih berat dari yang diperkirakan. Pelan tetapi pasti, bank-bank investasi mulai mengumumkan kerugiannya sebagai dampak krisis subprime mortgage, yang ternyata lebih besar dari perkiraan awal. Yang terbaru adalah krisis Bear Stearns, yang terpaksa diakuisisi JP Morgan Chase dan diinjeksi The Fed. Bank investasi terkemuka Goldman Sachs dan Lehman Brothers juga mengumumkan berkurangnya laba mereka.
Akumulasi kerugian bank-bank investasi itu terus merayap hingga 260 miliar dollar AS. Namun, banyak ramalan, angka bisa jauh lebih besar lagi. Memang sebagian sudah ada yang disuntik dana dari sovereign wealth fund (dana dari negara-negara Timur Tengah dan Asia Timur yang sedang mempunyai banyak rezeki), tetapi sebagian lainnya masih memerlukan pertolongan bank sentral.
Hal ini mengingatkan krisis
Meski demikian, tidak semua bank memiliki gambaran suram seperti itu. Masih ada bank Inggris yang selamat dan membukukan laba, misalnya Standard Chartered. Hal ini bisa terjadi karena kuncinya terletak pada dua hal.
Pertama, bank ini berkonsentrasi pada kegiatan di emerging markets di Asia, Afrika, dan Timur Tengah yang perekonomiannya sedang melambung. Mereka memilih exposure pada kredit konsumen yang aman dan memberi keuntungan.
Kedua, bank ini relatif memiliki exposure yang sedikit pada investasi
Amerika Serikat mau tidak mau harus menjalankan ”Plan B”. Suku bunga terus dipangkas. Pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) akhirnya diturunkan menjadi 2,25 persen dan diharapkan membantu mengurangi tekanan resesi. Namun, tidak berarti tindakan ini otomatis diikuti negara lain. Negara-negara kawasan Euro, misalnya, memilih mempertahankan suku bunga benchmark bank sentralnya pada level 4,0 persen. Mereka belum tertarik menurunkannya karena merasa ancaman inflasi yang kini 3,2 persen (year-on-year hingga Januari 2008) lebih serius dibandingkan tekanan hebat terhadap neraca perdagangannya.
Hal yang sama dialami
Bagaimana dengan
Salah satu upaya menurunkannya adalah memindah portofolio pemda dari SBI ke obligasi pemerintah (SUN atau SPN), sebagaimana diserukan Menkeu Sri Mulyani. Anggaran pun terpaksa dipangkas. Departemen dan lembaga pemerintah harus lebih mengefektifkan dan berhemat. Sedangkan subsidi minyak, listrik, dan pangan, yang melonjak ke Rp 250 triliun atau lebih, merupakan lubang menganga dalam APBN kita. Solusinya adalah kombinasi antara menaikkan defisit anggaran (menjadi di atas 2 persen terhadap PDB) melalui penambahan utang dan kenaikan harga BBM dalam negeri.
Kebijakan terakhir ini amat pahit, tetapi semua negara di dunia—kecuali negara-negara produsen minyak—praktis mengalaminya.
Kini, dunia sedang membutuhkan pertolongan negara-negara produsen minyak agar mereka mau menambah produksinya. Tidakkah negara-negara OPEC terketuk hatinya untuk menyelamatkan perekonomian dunia? Padahal, inilah kesempatan untuk menghindari jurang kebangkrutan.
A Tony Prasetiantono Peneliti Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Chief Economist BNI