“Istilah ideologi khilafah dimunculkan sebagai monsterisasi ajaran Islam. Mereka berusaha menakut-nakuti umat Islam. Supaya khilafah tampak menakutkan.” (M Ismail Yusanto)
Rencana pemerintah untuk menghentikan organisasi yang mendakwahkan Islam kaffah terus berlanjut. Setelah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menjelaskan rencana pemerintah akan membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan berbagai alasan, kini giliran Presiden Joko Widodo menebar ancaman.
Saat berkunjung ke latihan tempur Pasukan Pemukul Reaksi Cepat TNI di Natuna, Kepulauan Riau, sebagaimana dikutip dari siaran pers Istana Kepresidenan, Jumat, 19 Mei 2017, Presiden akan ‘menggebuk’ organisasi-organisasi anti-Pancasila. “Sekali lagi, negara Pancasila itu sudah final, tidak boleh dibicarakan lagi. Kalau ada ormas yang seperti itu, ya kita gebuk!” ujar Presiden Jokowi.
Ia menegaskan bahwa dirinya tak main-main dengan ucapannya tersebut. Selain tak main-main, juga tak pilih kasih. Ia mengaku akan melakukan hal yang sama, menggebuk, apabila Partai Komunis Indonesia (PKI) atau organisasi berbasis komunis lainnya berdiri di Indonesia. Sebab, kata ia, organisasi seperti itu sudah dilarang dalam Ketetapan MPRS No.25 Tahun 1966. “Ya kita gebuk, kita tendang, sudah jelas itu. Jangan ditanyakan lagi, jangan ditanyakan lagi! Payung hukumnya jelas, TAP MPRS,” ujar Presiden.
Sementara itu, juru bicara HTI M Ismail Yusanto menolak tudingan pemerintah bahwa organisasinya ingin mengganti Pancasila dan UUD 1945. “Tidak ada HTI dalam tulisan, pernyataan atau dalam buku-bukunya menyatakan seperti itu,” tandasnya.
Ia menegaskan, sesuai UU tentang Organsisasi Kemasyarakatan (Ormas), Islam tidak disebut sebagai paham yang bertentangan dengan Pancasila. Pada pasal 59 disebutkan bahwa paham yang bertentangan dengan Pancasila adalah ateisme, komunisme/marxisme dan leninisme. Bukan Islam.
Salah Kaprah Khilafah
Ismail menegaskan, khilafah adalah ajaran Islam. Bukan ideologi, sebagaimana disampaikan oleh beberapa pejabat pemerintah akhir-akhir ini. “Ideologi itu seperti kapitalisme, sekulerisme, komunisme, Islam dan lainnya. Istilah ideologi khilafah dimunculkan sebagai monsterisasi ajaran Islam. Mereka berusaha menakut-nakuti umat Islam. Supaya khilafah tampak menakutkan,” katanya.
Khilafah sebagai sebuah istilah politik maupun sistem pemerintahan, menurutnya, sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru. Hanya saja, keterputusan kaum Muslim dengan akar sejarah merekalah yang menjadikan khilafah ‘asing’. Kalaupun sebagian kalangan Muslim mengakui eksistensi khilafah dalam sejarah, gambaran mereka tentang khilafah bias dan beragam.
Menurut Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI Yahya Abdurrahman, sikap demikian wajar belaka antara lain karena: pertama, sejak keruntuhan khilafah terakhir (Khilafah Utsmaniyah) tahun 1924, umat hampir satu abad hidup dalam sistem pemerintahan sekuler negara-bangsa. Kedua, pendidikan politik di bangku-bangku akademis/lembaga pendidikan selalu hanya mengenalkan model-model pemerintahan sekuler—monarki, republik, imperium atau federasi—tanpa pernah memasukkan sistem khilafah sebagai salah satu model pemerintahan di luar model mainstream tersebut. Padahal keberadaan khilafah jauh lebih lama (lebih dari 13 abad) dan lebih mendunia (menguasasi sekitar 2/3 dunia). Ketiga, umat sengaja dijauhkan oleh musuh-musuh Islam dari akar sejarah mereka yang gemilang, termasuk sejarah keagungan Kekhilafahan Islam.
Ajaran Islam
Sebagai bagian dari ajaran Islam, para ulama salaf (terdahulu) maupun khalaf (kekinian) membahas masalah ini. Makanya, pembahasan soal khilafah ini bukan sesuatu yang baru. Bahkan istilah ‘khilafah’ ini sudah dinyatakan secara langsung oleh Rasulullah SAW, 14 abad yang lalu.
Terkait khilafah, Wahbah Az-Zuhaili berkata, “Patut diperhatikan bahwa Khilafah, Imamah Kubra dan Imaratul Mu`minin merupakan istilah-istilah yang sinonim dengan makna yang sama.” (Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islâmi wa Adillatuhu, 9/881).
Kata khilâfah banyak ditemukan dalam hadits. “Sesungguhnya (urusan) agama kalian berawal dengan kenabian dan rahmat, lalu akan ada Khilafah dan rahmat (HR al-Bazzar). Kata khilâfah dalam hadits ini memiliki pengertian: sistem pemerintahan, pewaris pemerintahan kenabian. Dan ini dikuatkan oleh sabda Rasul SAW: Dulu Bani Israel dipimpin dan diurus oleh para nabi. Jika para nabi itu telah wafat, mereka digantikan oleh nabi yang baru. Sungguh setelah aku tidak ada lagi seorang nabi, tetapi akan ada para khalifah yang banyak (HR al-Bukhari dan Muslim).
Pernyataan Rasul SAW, “Sungguh setelah aku tidak ada lagi seorang nabi,” mengisyaratkan bahwa tugas dan jabatan kenabian tidak akan ada yang menggantikan beliau. Khalifah hanya menggantikan beliau dalam tugas dan jabatan politik, yaitu memimpin dan mengurusi umat.
Kedua hadits tersebut bisa dipahami bahwa bentuk pemerintahan yang diwariskan Nabi SAW adalah khilafah. Karena itulah menurut Imam al-Mawardi, “Imamah (Khilafah) itu ditetapkan sebagai khilafah (penggganti) kenabian dalam pemeliharaan agama dan pengaturan dunia dengan agama.” (Al-Mawardi, Al-Ahkâm ash-Shulthâniyah, hlm. 5).
Hal senada dinyatakan oleh Ibnu Khaldun, “Khilafah pada hakikatnya adalah pengganti dari Shâhib asy-Syâr’i (Rasulullah SAW) dalam pemeliharaan agama dan pengaturan urusan dunia dengan agama.” (Ibn Khaldun, Al-Muqaddimah, hlm. 190).
Dalil-dalil tentang khilafah pun sangat mudah didapatkan baik dalam Alquran, Sunnah, maupun ijmak sahabat. Di kitab-kitab kuning di pesantren, masalah ini pun dibahas.
Ijmak Ulama
Kewajiban adanya khilafah telah disepakati oleh seluruh ulama dari seluruh mazhab, khususnya ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja). Tidak ada khilafiyah (perbedaan pendapat) dalam masalah ini, kecuali dari segelintir ulama yang pendapatnya tidak diakui (Lihat: Al-Mawsû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah, 6/163-164).
Hal yang sama telah lama dinyatakan oleh Imam al-Qurthubi, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban tersebut (mengangkat khalifah) di kalangan umat dan para imam mazhab; kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham—yang tuli (‘asham) terhadap syariah—dan siapa saja yang berkata dengan pendapatnya serta mengikuti pendapat dan mazhabnya.” (Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264).
Imam an-Nawawi juga menyatakan, “Mereka (para imam mazhab) telah bersepakat bahwa wajib atas kaum Muslim mengangkat seorang khalifah.” (An-Nawawi, Syarh Muslim, 12/ 205. Lihat juga: Asy-Syarbini al-Khathib, Mughni al-Muhtâj, XVI/287; Abu Yahya Zakaria al-Anshri, Fath al-Wahâb, II/268; Asy-Syaikh Sulaiman bin Umar bin Muhammad Al-Bajairimi, Hasyiyah al-Bajayrimi ‘alâ al-Khâtib, XII/ 393).
Kewajiban menegakkan khilafah juga dinyatakan oleh Imam Fakhruddin ar-Razi dalam Mafâtih al-Ghayb fî at-Tafsîr, 6/57 dan 233; Imam An-Naisaburi dalam Tafsir an-Naysaburi, 5/465; Imam Ibn Hazm dalam Marâtib al-Ijmâ’ ( 1/124); Imam ‘Alauddin al-Kasani al-Hanafi dalam Badâ’i ash-Shanâ’i’ fî Tartîb asy-Syarâ’i’ (14/406). Imam Ibn Katsir dalam Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm (1/221); dll.
Pendapat tentang kewajiban menegakkan khilafah ini juga diketengahkan oleh para ulama besar lain semisal Imam Ahmad, al-Bukhari dan Muslim, at-Tirmidzi, ath-Thabarani dan Ashhab as-Sunan lainnya; Imam al-Zujaj, Abu Ya‘la al-Firai, al-Baghawi, Zamakhsyari, Ibnu Katsir, Imam al-Baidhawi, Imam an-Nawawi, ath-Thabari, al-Qurthubi, Ibnu Khaldun, Imam al-Qalqasyandiy, dan lain-lain.
Khusus dalam lingkup empat mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja), Syeikh Abdurrahman al-Jaziri dalam kitabnya, Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Ar’ba’ah, menyebutkan, ”Para imam mazhab yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad) rahimahumulLâh telah berijmak bahwa imamah (khilafah) itu fardhu.”
Lebih khusus lagi, menurut para ulama mazhab Syafi’i, kewajiban menegakkan khilafah bisa ditemukan antara lain dalam kitab: Al-Umm (1/188) karya Imam Syafii, Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah (hlm. 5) karya Imam al-Mawardi; Rawdhat al-Thalibin wa ‘Umdat al-Muttaqin (10/42) dan lainnya.
Pendapat para ulama tedahulu di atas juga diamini oleh para ulama muta’akhirin seperti Syeikh Abu Zahrah dalam Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah (hlm. 88), Dr. Dhiyauddin ar-Rais dalam Al-Islâm wa al-Khilâfah (hlm. 99), Abdul Qadir Audah dalam Al-Islâm wa Awdha’unâ as-Siyâsiyah (hlm. 124), Syeikh Taqiyyuddin an-Nabhani dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah (II/15), Dr Mahmud al-Khalidi dalam Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm (hlm. 248), dll.
Ulama terkemuka Indonesia, H Sulaiman Rasjid, (Rektor IAIN Lampung, w. 1976), penulis buku Fiqh Islam (1954), juga menyatakan tentang kewajiban menegakkan khilafah ini. Dalam bukunya yang pernah menjadi buku wajib pada sekolah menengah dan perguruan tinggi Islam di Indonesia dan Malaysia ini—yang hingga tahun 1994 telah dicetak sebanyak 44 kali—Sulaiman Rasjid, ketika membahas hukum membentuk khilafah, menyatakan, “Kaum Muslimin (ijma’ yang mu’tabar) telah bersepakat bahwa hukum mendirikan khilafah itu adalah fardu kifayah atas semua kaum Muslimin.”
Hampir tidak ada seorang pun ulama yang mukhlish—sejak generasi awal Islam hingga generasi muta’akhirîn—yang mengingkari kewajiban untuk menegakkan khilafah ini. [] LS/ABI/MJ
Sumber : Tabloid Media Umat no 198