Ramadhan Mubarak di Bawah Naungan Khilafah

Ramadhan KarimOleh: KH Hafidz Abdurrahman

Lebih dari 90 tahun sudah umat Islam di seluruh dunia tidak lagi merasakan bagaimana berpuasa dan berhari raya di bawah naungan khilafah. Ramadhan penuh berkah yang biasanya mereka lalui dengan penuh makna, kini serasa hampa. Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari, minggu demi minggu berlalu dalam sebulan penuh tak terasa, bahkan seolah tak ada bedanya dengan bulan-bulan biasa.

Kondisi ini tentu berbeda saat kaum Muslim hidup di bawah naungan khilafah. Perlu dicatat, ketika ibadah puasa pertama kali diwajibkan, saat itu Nabi SAW dan para sahabat berada di Madinah, tepatnya bulan Sya’ban, tahun 2 H. Dalam kitab Shahih Ibn Huzaimah, di malam pertama itu Nabi SAW menyampaikan khutbah, yang berisi keberkahan dan kemuliaan bulan suci Ramadhan. Tepat 17 Ramadhan 2 H, saat baru pertama kali kaum Muslim melaksanakan ibadah puasa, Perang Badar Kubra itu pun dikobarkan.

Pendek kata, hanya beberapa hari setelah berpuasa Ramadhan, mereka pun harus melaksanakan peperangan yang sulit, Perang Badar Kubra. Nabi SAW sadar betul, bahwa momentum Ramadhan ini adalah momentum ketaatan. Momentum yang sangat penting dalam mewujudkan pertolongan Allah dan kemenangan.

Bulan Perjuangan

Sunah Nabi menjadikan Ramadhan sebagai bulan perjuangan terekam dengan apik oleh para sahabat. Bukan kali ini saja Nabi SAW menjadikan momentum Ramadhan sebagai momentum perjuangan, tetapi juga Ramadhan-Ramadhan berikutnya. Ramadhan tahun ke-5 H, Nabi SAW melakukan persiapan perang Khandaq melawan pasukan sekutu antara Quraisy dan Ghathafan. Pada 20 Ramadhan 8 H, Nabi SAW dan para sahabat berhasil juga menjadikan momentum Ramadhan sebagai momentum pembebasan kota Mekah.

Pada Ramadhan 9 H, Rasul dan para sahabat juga melakukan perang Tabuk. Pada bulan itu pula, utusan Bani Tsaqif di Thaif datang menghadap Rasul SAW menyatakan keislaman mereka. Pada Ramadhan 10 H, Rasul SAW mengutus Ali bin Abi Thalib membawa surat dan menyampaikan dakwah ke Yaman khususnya kepada Bani Hamdan dan dalam satu hari, penduduk Bani Hamdan menyatakan keislaman mereka. Begitulah Ramadhan yang dicontohkan Nabi SAW.

Maka, sunah Nabi itu pun diikuti oleh generasi berikutnya. Ramadhan 15 H, kaum Muslimin dipimpin Sa’ad bin Abi Waqash meraih kemenangan di perang Qadisiyah melawan pasukan jenderal Persia, Rustum, dan menjadi pintu pembebasan ibukota Persia al-Madain dan seluruh Persia. Pada 14 Ramadhan 31 H, kaum Muslimin dipimpin oleh al-Mutsanna meraih kemenangan di perang al-Buwaib “dekat kota Kufah saat ini”.

Pada Ramadhan 92 H, Thariq bin Ziyad bersama pasukan kaum Muslimin berhasil membebaskan Andalusia (Spanyol). Lalu, pada Ramadhan 223 H, Khalifah al-Mu’tasim Billah menjawab teriakan minta tolong seorang Muslimah yang dinodai pasukan Romawi dan Amuriyah, benteng pertahanan terkuat Romawi Bizantium di Asia kecil pun dibebaskan.

Pada 25 Ramadhan 658 H, kaum Muslimin dipimpin oleh Saifuddin Qutus berhasil mengalahkan Tatar dalam perang ‘Ayn Jalut. Ramadhan 791 H, kaum Muslimin berhasil membebaskan Bosnia Herzegovina. Begitulah Ramadhan di zaman Khilafah Islam, benar-benar dimaknai sebagai bulan perjuangan. Maka, di zaman khilafah, Ramadhan jauh dari pemandangan lawakan, senda gurau, hiburan, apalagi maksiat.

Bulan Ketaatan

Selain diisi oleh kaum Muslim dengan puasa, membaca Alquran, shalat jamaah, sedekah, Ramadhan benar-benar dijauhkan dari berbagai praktik maksiat. Mulai dari yang kecil, seperti dengki, berbohong, menggunjing orang, hingga yang besar seperti menebar fitnah, minum khamer, berzina hingga membunuh. Semua nyaris tak ada. Kaum Muslim larut dan khusyu’ dalam ketaatan kepada Allah SWT. Begitu juga orang non-Muslim yang hidup di tengah-tengah mereka ikut merasakan suasana Ramadhan yang luar biasa.

Masjid-masjid penuh dengan jamaah yang datang berbondong-bondong untuk menunaikan shalat jamaah. Mereka pun berangkat ke masjid sebelum adzan dan iqamat tiba. Mereka berlomba mendapatkan shaf terbaik, shaf terdepan. Meski mereka ada berprofesi sebagai pedagang, pegawai pemerintah, atau penyedia jasa, semuanya larut dalam suasana khidmat memenuhi panggilan Rabb-nya.

Di masjid-masjid jamik diadakan kajian [halqah] ilmu. Berbagai macam halqah diadakan para ulama. Halqah ini mengkaji tsaqafah Islam yang begitu kaya. Mulai dari bahasa, seperti Nahwu, Sharaf, Balaghah, hingga tafsir, qira’ah, hadits, fiqih, ushul fiqih hingga mawa’idh. Antusias umat kepada tsaqafah ini pun tinggi. Mereka pun dengan tekun dan serius mengkajinya. Karena tsaqafah-tsaqafah ini mereka terapkan dalam kehidupan.

Bahkan, tidak jarang halqah-halqah ini dihadiri oleh para khalifah dan pejabatnya. Mereka duduk mendengarkan para masyayikh di majelis-majelis mereka, dengan penuh hormat dan takdim, tanpa melihat jabatan dan kedudukan mereka. Di majelis itu, mereka membaur dengan kaum Muslim yang lain. Sampai-sampai ketika mereka melakukan kesalahan, di majelis itulah para masyayikh itu mengingatkan mereka. Inilah yang pernah dilakukan oleh Imam Malik kepada Harun ar-Rasyid dan putranya.

Di jalan-jalan tak tampak suasana gaduh, berisik, apalagi tawuran. Para pengemis dan peminta-minta pun tak tampak, karena negara telah menjamin kebutuhan sandang, papan, pangan, pendidikan, kesehatan dan keamanan mereka. Tidak hanya itu, kaum Muslim yang diberikan kelebihan rezeki, dengan sadar akan menyalurkan apa yang menjadi hak mereka, tanpa diminta. Bahkan tak jarang justru merekalah yang mencarinya.

Infak, zakat fitrah dan zakat mal pun berlimpah. Tidak saja di bulan Ramadhan, tetapi juga di bulan-bulan lainnya. Dengan melimpahnya infak dan zakat itu, maka sampai pada satu tahap, di mana khilafah kesulitan menemukan orang yang layak menerima zakat. Dalam kondisi seperti ini, khilafah bisa saja menyalurkan dana zakatnya untuk membebaskan budak, atau membangun industri militernya, dari pos fi sabili-Llah.

Bulan Persatuan dan Kesatuan

Suasana Ramadhan yang begitu khusyu’ membawa dampak pada perilaku kaum Muslim secara umum. Mereka pun larut dalam suasana ukhuwah yang luar biasa. Orang non-Muslim pun merasakan hal yang sama, meski mereka tidak sedang menunaikan ibadah puasa. Karena kasih sayang kaum Muslim juga tercurahkan kepada mereka. Suasana seperti jelas menjadi perajut persatuan dan kesatuan umat, baik Muslim dengan Muslim, maupun Muslim dengan non-Muslim.

Manifestasi persatuan dan kesatuan itu pun sejak awal tampak, pada isbat dan pengumuman jatuhnya 1 Ramadhan, 1 Syawal, dan 9 Dzulhijjah. Karena pembuktian hilal itu dilakukan serentak di seluruh dunia, dan diumumkan ke seluruh dunia. Umat Islam pun bisa mengakses informasi ini dengan cepat saat itu juga.

Khalifah yang menjadi pemimpin umat Islam pun saat itu tampil di layar kaca, yang dipancarkan ke seluruh dunia. Mengucapkan selamat kepada kaum Muslim atas datangnya bulan suci Ramadhan, sebagaimana yang disampaikan Nabi SAW kepada para sahabat di malam 1 Ramadhan 2 H. Pesan-pesan spiritual, moral dan politik disampaikan oleh Khalifah kepada umat Islam di seluruh dunia.

Berbagai channel televisi, radio, dan lain-lain tak ketinggalan mengisi waktu kaum Muslim dengan dzikir, tilawah Alquran, hadits Nabi, kajian keislaman, dan hal-hal yang bermanfaat bagi mereka. Begitulah suasana Ramadhan di bawah naungan khilafah. Suasana yang begitu luar biasa.

Itulah bedanya kita hidup saat khilafah ada dan tidak. []

 

Sumber: Tabloid Mediaumat edisi 198

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*