Sebuah pengadilan Belanda memutuskan bahwa pemerintah Belanda bertanggung jawab atas kematian sekitar 300 pria Muslim yang terbunuh dalam pembantaian di Srebrenica.
Pengadilan Negeri Den Haag mengajukan banding atas keputusan pengadilan sipil pada tahun 2014, yang menemukan bahwa negara bertanggung jawab atas pembunuhan kaum Muslim Bosnia yang diserahkan kepada pasukan Serbia Bosnia oleh pasukan penjaga perdamaian PBB Belanda.
Hakim Ketua Gepke Dulek-Schermers mengatakan bahwa tentara Belanda “mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa orang-orang tersebut tidak hanya sedang di-skrining … namun juga benar-benar terancam mengalami penyiksaan atau akan dieksekusi”.
“Dengan membiarkan kaum pria meninggalkan kompleks itu tanpa syarat, mereka kehilangan kesempatan untuk bertahan hidup,” tambahnya.
Dalam sebuah keputusan dari keputusan sebelumnya, pengadilan mengatakan bahwa Belanda membayar hanya 30 persen dari kerugian yang dialami keluarga korban, setelah memperkirakan kemungkinan 70 persen bahwa korban diseret dari markas PBB dan dibunuh tanpa memedulikan tindakan apa yang diambil oleh tentara Belanda.
Jumlah kerugian akan ditentukan dalam persidangan yang terpisah kecuali jika para korban dan negara dapat mencapai kesepakatan.
Pengadilan menolak klaim dari keluarga korban Srebrenica lainnya, yang berpendapat bahwa pemerintah Belanda juga harus bertanggung jawab atas perlindungan terhadap lebih dari ribuan Muslim yang berkumpul di luar pangkalan militer itu.
Hakim telah membebaskan Belanda dari tanggung jawab terhadap lebih dari 7.000 korban lainnya yang terbunuh di wilayah Srebrenica.
“Ini adalah ketidakadilan yang luar biasa,” kata Munira Subasic dari kelompok Ibu-ibu Srebrenica. “Negara Belanda harus bertanggung jawab atas korban karena mereka seharusnya bisa menjaga semuanya agar aman berada di Kompleks Dutchbat (batalyon Belanda).”
Pengacara mereka, Marco Gerritsen, menyebut penilaian pengadilan atas kemungkinan kaum laki-laki untuk bertahan hidup “sangat sewenang-wenang” dan mengatakan bahwa dia melihat kemungkinan mengajukan banding ke Mahkamah Agung Belanda.
Kasus ini adalah pertama kalinya sebuah negara bertanggung jawab atas tindakan pasukan pemelihara perdamaian yang beroperasi berdasarkan mandat PBB.
Pemerintah Belanda mengundurkan diri pada tahun 2002 setelah mengakui kegagalannya untuk melindungi para pengungsi, meskipun Belanda berpendapat bahwa orang-orang Serbia Bosnia lah, bukan tentara Belanda, yang bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut.
Srebrenica, di Bosnia dan Herzegovina timur, secara resmi telah ditetapkan sebagai “wilayah aman” oleh Dewan Keamanan PBB dua tahun sebelumnya, yang memicu kecaman atas strateginya.
Pengadilan Pidana Internasional atas Bekas Yugoslavia menyimpulkan bahwa pembantaian di Srebrenica, yang ditambah dengan pengusiran massal warga sipil Bosnia, menyebutkan yang bertanggung jawab atas genosida adalah para perwira senior tentara Serbia Bosnia.
PBB dan para pendukung Barat telah menerima sebagian tanggung jawab karena gagal melindungi kaum laki-laki, perempuan dan anak-anak yang harus keluar dari rumah mereka dalam Perang Bosnia.
Srebrenica menjadi target pasukan Serbia Bosnia sebagai bagian dari upaya untuk mencaplok wilayah tersebut dan mengusir warga sipil Bosnia, yang menjadi sasaran pengepungan dan embargo pangan menjelang pembantaian tersebut.
Pada malam 11 Juli, lebih dari 10.000 orang Bosnia berangkat dari Srebrenica melalui hutan lebat dalam upaya untuk menyelamatkan diri, namun keesokan paginya ditemukan oleh pasukan Serbia Bosnia yang kemudian membohongi mereka dengan janji keamanan untuk membuat orang-orang tersebut agar menyerah.
Ribuan orang kemudian menyerah atau ditangkap, sementara yang lain dipaksa keluar dengan melalui tindakan pembunuhan dan pemerkosaan saat perempuan dan anak-anak dipindahkan ke wilayah Bosnia dengan bus.
Kaum pria dan anak laki-laki dibawa ke tempat penahanan dan dieksekusi secara massal selama beberapa hari, dengan perkiraan jumlah korban tewas terakhir berkisar antara 7.000 dan lebih dari 8.000 orang.
Mayat-mayat mereka kemudian dibuang ke kuburan massal, yang kemudian dibuldoser dan tersebar di antara tempat pemakaman lainnya untuk menyembunyikan bukti kekejaman tersebut. (independent.co.uk, 27/6/2017)