Mayoritas pelaku aksi teror di Amerika Serikat adalah kelompok esktrem kanan, bukan Muslim. Hal itu disimpulkan berdasarkan studi terbaru seperti dikutip laman Independent belum lama ini.
Studi ini merupakan proyek gabungan Investigative Fund di Nation Institute dan Reveal from the Center for Investigative Reporting. Laporan mengambil sampel insiden aksi terorisme dalam jangka waktu 2008 sampai 2016.
“Hasilnya, kelompok ekstremis kanan di balik banyak insiden teror dengan jumlah hampir dua kali lipat dari aksi yang diasosiasikan dilakukan kelompok domestik ekstremis Islam,” tulis laporannya.
Laporan itu mengidentifikasi 63 insiden yang bermotifkan ideologi politik teokratik sebagaimana dilakukan gerakan ISIS. Dalam jangka waktu tersebut, di dalamnya ada kasus penembakan San Bernardino dan ledakan bom Maraton Boston.
Adapun kelompok garis keras kanan, termasuk gerakan Supremasi Kulit Putih, bertanggung jawab atas 115 serangan pada periode yang sama. Salah satu di antaranya yakni serangan di klinik kesehatan Colorado Planned Parenthood.
Studi juga menemukan tindakan polisi terkait insiden yang melibatkan kelompok ekstremis Islam mencapai 76 persen. Sementara kelompok garis keras kanan hanya 35 persen.
Operasi tegas digunakan untuk mengatasi hampir setengah insiden yang dilakukan oleh kelompok radikal Islam. Jumlah ini lebih besar empat kali dibanding operasi yang dilancarkan ke ekstremis kanan maupun kiri.
Ihwal jumlah kematian, laporan menyebut aksi yang dilakukan ekstremis Islam mencapai 90 korban tewas. Lebih besar dari garis keras kanan 79 orang.
Namun dari tingkat persentase aksi yang menyebabkan kematian, kelompok aksi ekstremis kanan lebih besar mencapai 33 persen dibanding radikal Islam 13 persen. Laporan ini sekaligus menampik kebijakan Presiden AS Trump yang cenderung fobia dengan kelompok Islam.
Shirin Sinnar, profesor dari Universitas Standford mengatakan, efek dari kebijakan anti-Muslim dan retorika antiimigran pemerintahan Trump telah menyebabkan kekerasan oleh kelompok Supremasi Kulit Putih terhadap, Muslim, imigran, atau warga lain yang berbeda warna kulitnya. (republika.co.id, 25/6/2017)