Radiogram yang diduga dikeluarkan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 220/2194/SJ Tanggal 9 Mei 2017 Tentang Pembekuan Segala Bentuk Kegiatan dan Aktivitas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dinilai tidak memiliki landasan hukum yang kuat.
“Saya menilai bahwa radiogram yang diduga dikeluarkan oleh Mendagri tidak memiliki landasan hukum yang kuat. Maka dengan sendirinya Surat Himbauan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah yang merujuk pada Radiogram tersebut juga tidak memiliki landasan hukum yang kuat,” ujar Ketua Eksekutif Nasional Komunitas Sarjana Hukum Muslim Indonesia (KSHUMI) Chandra Purna Irawan kepada mediaumat.com, Senin (10/7/2017).
Karena, lanjut Chandra, Surat Edaran Menteri dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia belum pernah termaktub secara konkrit dalam tata urutan peraturan-perundang-undangan. Hal itu diakibatkan oleh adanya perdebatan mengenai surat edaran menteri tersebut, apakah surat edaran termasuk dalam kategori mengatur (regeling) atau bersifat penetapan (beschiking).
Menurut Chandra, dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan tidak disebutkan derajat dan hierarki Surat Edaran Menteri, meskipun dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan ditegaskan tetap diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Berdasarkan hal itu, ungkap Chandra, maka Menteri Dalam Negeri tidak memiliki kewenangan untuk melakukan upaya pembekuan dan pelarangan segala bentuk kegiatan dan aktifitas HTI, sebagaimana yang diatur dan diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu UUD 1945 dan UU No.17 tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat. (mediaumat.com, 10/7/2017)