Jokowi, Defisit dan Utang Dalam Sorotan

jokowi presiden reklamasiSelain soal meningkatnya beban utang, defisit APBN terus meningkat dan menjadi masalah paling krusial yang dihadapi Pemerintahan Jokowi-JK. Apa yang terjadi?

Tahun ini, defisit APBN mencapai 2,92% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Tinggal secuil lagi melewati batas defisit yang ditetapkan Undang-undang tentang Keuangan Negara yakni 3% dari PDB. Kalau di-rupiahkan, nilainya sudah mendekati Rp400 triliun.

Mengapa defisit bisa demikian menganga? Bisa jadi karena penerimaan pajak tidak mencapai target, atau penerimaan negara bukan pajak (PNBP) merosot tajam. Lalu, kenapa bisa merosot? Bisa jadi karena daya beli masyarakat yang selama ini sebagai penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi, terkulai.

Lalu, mengapa daya beli jatuh? Karena harga-harga atau inflasi naik tinggi. Pemicunya, kenaikan harga listrik yang bertubi-tubi sejak Januari 2017, mendorong inflasi hingga 5%. “Selama ini tim ekuin selaku para pembantu presiden, terus memberi angin surga. Tapi dusta dan kebohongan itu akhirnya terbukti,” ungkap Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng.

Salamuddin menuturkan, konon, tax amnesty akan meningkatkan penerimaan pajak pemerintah dan mengurangi defisit APBN 2017. Namun faktanya APBN 2017 jebol lebih dalam dibandingkan tahun sebelum tax amnesty.

Hampir pasti bahwa seluruh defisit APBN akan ditutupi dengan utang. Sementara utang pemerintah semakin membesar yang sudah berada pada posisi mengancam keberlangsungan dan keselamatan negara.

Menteri Keuangan Sri Mulyani malah terkesan menyepelekan utang negara yang terus meningkat. Padahal, utang negara per Mei 2017 sudah menembus Rp 3.672,33 triliun.
Per Mei 2017, pemerintah mencatat nilai utang sebesar Rp 3.672,33 triliun. Angka ini naik Rp 4,92 triliun dibanding bulan sebelumnya yang sebesar Rp 3.667,41 triliun. Utang ini juga naik Rp 201 triliun dibandingkan posisi Desember 2016.

Akibat utang yang terus melambung tinggi itu membuat satu penduduk Indonesia menanggung utang negara sebesar Rp13 juta. Dan, konsekuensi hutang yang tinggi tersebut membuat pemerintah menggenjot pendapatan dari dalam negeri yaitu peningkatan pajak dan fiskal. Selain itu, pemerintah akan menurunkan subsidi terutama subsidi gas dan listrik yang sudah pasti membebani rakyat,

Akibat meningkatnya utang, pemerintah dan aset aset pemerintah berada dalam ancaman ”bisa disita” investor karena tidak bisa membayar kewajiban bunga dan utang yang jatuh tempo.

Para analis menyatakan, seharusnya pemerintah meningkatkan subsidi di sektor riil seperti pertanian, perkebunan dan industri kreatif untuk menggenjot perekonomian nasional. Bukannya malah menggenjot utang dan menguber pajak rakyat. Kondisi ekonomi yang lesu itu membuat rakyat kecewa.

Toh, rakyat terus berjuang keras untuk bertahan hidup, namun ekonomi terus merosot, pendapatan berkurang dan bisnis pun lesu darah, rakyat juga merasa dipajaki ugal-ugalan, dan subsidi dicabut, dimana seolah rakyat sudah tak layak disubsidi lagi. Celakanya, situasi itu berbanding terbalik dengan penghasilan dan kesejahteraan pejabat termasuk Presiden Joko Widodo yang justru meningkat pesat.

Dikabarkan, Jokowi membayar zakat hingga Rp45 juta. Angka itu berdasarkan penghasilan setahun dikalikan 2,5%, sesuai ketentuan zakat. Dari perhitungan tersebut diperoleh kesimpulan bahwa penghasilan Jokowi mencapai Rp1,8 miliar per tahun.

Sehingga rakyat merasakan, terus dipajaki untuk meningkatkan kesejahteraan pejabat dan presiden. Mengerikan jika sampai hal ini dibiarkan terus terjadi. Sampai dimana moralitas dan etika kekuasaan Jokowi-JK soal ketimpangan, ketidakadilan dan kepincangan ekonomi ini? Semoga secepatnya bisa diakhiri. (inilah.com, 10/7/2017)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*