Parlemen di Indonesia alias DPR dianggap sebagai parlemen yang paling kasar dalam hal sikap. Padahal selama ini yang dikenal memiliki anggota parlemen dengan attitude kasar itu ada tiga negara yaitu Taiwan, Israel dan Australia.
“Kenyataannya seperti itu, parlemen di Indonesia jauh lebih kasar karena anggota dewan kita itu dari anggota masyarakat dari berbagai latar, apalagi yang paling banyak justru dari kalangan menengah ke bawah,” kata pengamat politik dari Universitas Airlangga Daniel Sparinga, dalam diskusi ‘Peran dan fungsi DPR, harapan dan kenyataan’ di Pusat Tabulasi Nasional di Hotel Borobudur, Jakarta, Minggu (19/4).
Dijelaskan Daniel, perilaku anggota dewan hasil pemilu 2004 yang saat ini masih menjabat, masih menunjukkan gaya-gaya tradisionalis dalam memandang kekuasaan. “Gaya-gaya seperti bebal, pongah dan angkuh serta sikap yang dibuat-buat itu masih dilakukan, karena mereka masih merasa berkuasa dan memegang kekuasaan, karena mereka masih merasa kuasa itu bersifat personal,” ujarnya.
Menurut Daniel, agak sulit memperkirakan kinerja anggota parlemen tahun 2009-2014, apakah
sama dengan anggota parlemen 2004 atau berbeda. Namun ia berharap tradisi-tradisi berpolitik tradisional dapat ditinggalkan oleh anggota parlemen yang baru.
“Yang perlu dilihat perbedaannya, apakah ada tradisi baru yang akan mereka tanamkan, yaitu berpolitik dengan lebih baik, misalnya dalam sidang menunjukkan perilaku yang lebih beretika, selain itu dalam berhubungan dengan pemerintah, dan rapat-rapat konsultasi dengan pemerintah. Anggota dewan boleh marah, asal masih dalam bingkai etika sosial,” tambahnya.
Sedangkan menurut pengamat politik dari LIPI Lili Romli kualitas pendidikan caleg yang ada saat ini tidak menjamin kualitas kepribadian caleg. Pada pemilu 2009 ini, banyak caleg-caleg yang berasal dari aktivis, namun hanya sebagian kecil yang lolos ke parlemen, karena caleg aktivias dengan kualitas persona yang bagus justru diusung partai kecil yang tak lolos parliamentary treshold.
Lili juga mengatakan dari data yang dikumpulkannya, ada sekitar 5 ribuan caleg berpendidikan S1, lulusan S2 mencapai 1200-an, sedangkan S3 mencapai sekitar 128 orang. Namun lanjut Lili, masalahnya caleg yang diusung tersebut cenderung ada kaitan dengan kekuatan elit lama, dimana politik dinasti masih berlaku.
“Misalnya satu keluarga itu menjadi caleg, istri bupati terpilih anggota dewan ini berarti mandegnya sirkulasi elit partai,” tegasnya. [inilah.com]