بسم الله الرحمن الرحيم
Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir Atas Pertanyaan di Laman Facebook Beliau “Fiqhiyun”
Jawaban Pertanyaan:
Al-Fardhu dan al-Wajib
Kepada Abdullah Abu Mufid
Soal:
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.
Di Nizhâm al-Islâm dinyatakan definisi al-fardhu yaitu apa yang pelakunya diberi pahala dan yang meninggalkannya dijatuhi sanksi. Dan di asy-Syakhshiyah juz iii dinyatakan definisi al-fardhu yaitu yang meninggalkannya dikenai sanksi, dan tidak sebutkan pemberian pahala kepada orang yang melakukannya… Lalu apa definisi yang mutabanat?
Jawab:
Tidak ada perbedaan di antara yang disebutkan di Nizhâm dan yang disebutkan di asy-Syakhshiyah, kecuali dari sisi konteks pembahasan. Yang dinyatakan di Nizhâm adalah lebih dekat kepada definisi bersifat umum tanpa membatasi pada qarinah tegas dalam tuntutan atau meninggalkan dan ini jelas di nyatakan di Nizhâm: “… atas dasar itu al-fardhu dan al-wâjib adalah apa yang pelakunya dipuji dan yang meninggalkan dicela, atau apa yang orang yang meninggalkannya layak dijatuhi sanksi atas peninggalannya. Dan al-harâm adalah apa yang pelakunya dicela dan yang meninggalkan dipuji, atau orang yang melakukannya layak dijatuhi sanksi atas pelaksanaannya…” Jadi itu penyebutan definisi bersifat umum “celaan dan pujian” dan pada waktu yang sama menyebutkan qarinah tegas pada al-fardhu. “Adalah apa yang orang yang meninggalkannya layak dijatuhi sanksi atas peninggalannya”, dan tidak menyebutkan pujian atas pelakunya, sebab pujian terhadap pelakunya tidak berarti bawwha perbuatan itu fardhu, tetapi bisa jadi mandub. Tetapi saksi atas meninggalkan adalah yang memberi pengertian ketegasan dan keharusan… Begitulah, ketika menyebutkan qarinah untuk al-harâm maka dikatakan, “adalah apa yang pelakunya layak dijatuhi sanksi atas pelaksanaannya”.
Adapun definisi di asy-Syakhshiyah juz iii, maka itu merupakan pembahasan yang bersifat ushul. Maka difokuskan pada qarinah tegas dan bukan pada definisi bersifat umum. “dan al-wâjib adalah apa yang secara syar’i orang yang meninggalkannya secara sengaja, dia dicela secara mutlak. Dan makna celaan terhadap orang yang meninggalkannya secara syar’i adalah dinyatakan di Kitabullah dan Sunnah Rasulullah atau ijmak sahabat bahwa dalam kondisi seandainya dia meninggalkannya niscaya dia kurang dan tercela. Dan tidak ada nilainya dalam celaan manusia untuk ditinggalkannya perbuatan tersebut, tetapi yang diakui adalah celaan dalam syara’… Dan jika seruan asy-Syâri’ itu berkaitan dengan tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dalam bentuk tuntutan bersifat tegas maka itu adalah al-harâm dan sinonimnya al-mahzhûr. Dan al-harâm adalah apa yang secara syar’i pelakunya dicela…” Jadi si sini, difokuskan pada qarinah untuk al-jazmu (tegas). Maka disebutkan celaan (dzamm) dan tidak difokuskan pada pujian, sebab celaan terhadap pelaku perbuatan yang menunjukkan bahwa perbuatan itu haram adalah celaan yang memberi makna ketegasan. Demikian juga celaan meninggalkan perbuatan menunjukkan bahwa perbuatan itu fardhu. Seperti yang Anda lihat, tidak disebutkan pujian sebab pujian di sini tidak memberi makna ketegasan (al-jazmu). Jadi bukan hanya pelaku al-fardhu yang dipuji, tetapi demikian pula pelaku sesuatu yang mandub juga dipuji.
Ringkasnya adalah bahwa yang dinyatakan di Nizhâm lebih mencakupi dan lebih umum. Dinyatakan: “… atas dasar itu maka al-fardhu dan al-wâjib adalah apa yang pelakunya dipuji dan yang meninggalkannya dicela, atau adalah apa yang orang yang meninggalkannya dijatuhi sanksi. Sedangkan al-harâm adalah apa yang pelakunya dicela dan yang meninggalkannya dipuji, atau apa yang pelakunya layak dijatuhi sanksi atas pelaksanaannya…” Dan yang dinyataan di asy-Syakhshiyyah juz iii difokuskan pada qarinah jâzim (tegas). Dinyatakan, “dan al-wâjib adalah apa yang secara syar’iy orang yang meninggalkanya secara sengaja dicela secara mutlak. Dan makna celaan terhadap pelakunya secara syar’i adalah diyatakan di Kitabullah, dan Sunnah Rasulullah atau ijmak sahabat, bahwa dalam kondisi itu seandainya dia meninggalkannya niscaya dia kurang dan tercela. . Dan tidak ada nilainya dalam celaan manusia untuk ditinggalkannya perbuatan tersebut, tetapi yang diakui adalah celaan dalam syara’… Dan jika seruan asy-Syâri’ itu berkaitan dengan tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dalam bentuk tuntutan bersifat tegas maka itu adalah al-harâm dan sinonimnya al-mahzhûr. Dan al-harâm adalah apa yang secara syar’i pelakunya dicela…”
Saya harap ini sudah memadai.
Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
27 Dzulqa’dah 1439 H
9 Agustus 2018 M
http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/54243.html
https://plus.google.com/u/1/b/100431756357007517653/100431756357007517653/posts/Fc3DjaduQLD
http://archive.hizb-ut-tahrir.info/arabic/index.php/HTAmeer/QAsingle/3891