Pemerintahan Trump sedang mempertimbangkan sanksi terhadap para pejabat senior China dan perusahaan-perusahaan China sebagai hukuman atas penahanan yang dilakukan Beijing terhadap ratusan ribu etnis Uighur dan kaum minoritas Muslim lainnya di kamp-kamp besar interniran, menurut para pejabat dan mantan pejabat Amerika.
Hukuman ekonomi akan menjadi salah satu kali yang pertama kali dijatuhkan oleh pemerintahan Trump sebagai tindakan terhadap China karena atas pelanggaran HAM. Para pejabat Amerika Serikat juga berusaha membatasi penjualan teknologi pengawasan Amerika yang digunakan oleh badan-badan keamanan China dan perusahaan-perusahaan China untuk memantau warga Uighur di seluruh barat laut China.
Diskusi sebagai teguran terhadap China karena perlakuannya terhadap minoritas Muslim telah berlangsung selama berbulan-bulan di antara para pejabat Gedung Putih dan Departemen Keuangan dan Departemen Luar Negeri AS. Tapi mereka tindakan mendesak dilakukan dua minggu lalu, setelah anggota Kongres meminta Menteri Luar Negeri, Mike Pompeo dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin untuk menjatuhkan sanksi terhadap tujuh pejabat China.
Komentar
Kaum Muslim telah terbiasa untuk melihat Barat sebagai musuh umat Islam, yang sebelumnya bertanggung jawab atas penjajahan dan eksploitasi kaum Muslim dan pada zaman ini tidak terhitung penghancuran dan pembantaian terhadap kaum Muslim melalui perang yang dilakukan di banyak negara Muslim. Semua hal ini menyebabkan sebagian Muslim mengira bahwa China dapat menjadi mitra atau teman yang lebih baik bagi umat Islam, sebagaimana generasi sebelumnya yang mencari hubungan semacam itu dengan Uni Soviet. Namun, penahanan yang diungkapkan baru-baru ini yang belum pernah terjadi sebelumnya mungkin terhadap satu juta kaum Muslim di ‘kamp-kamp pendidikan ulang’ China telah mengungkap realitas sejati China Komunis. Artikel di atas menjelaskan beberapa detail dari sistem penjara rumit yang dirancang untuk kaum Muslim Uighur China:
Para pembela HAM dan para ahli hukum mengatakan penahanan massal di wilayah barat laut Xinjiang adalah pelanggaran HAM kolektif terburuk di China dalam beberapa dekade.
Kaum Muslim Cina di kamp-kamp itu dipaksa untuk mengukuti kelas setiap hari, mencela beberapa aspek Agama Islam, mempelajari budaya China arus utama dan berjanji untuk setia kepada Partai Komunis China. Beberapa tahanan yang telah dibebaskan menggambarkan penyiksaan yang dilakukan oleh para petugas keamanan.
Para pejabat China menyebut proses itu sebagai “transformasi melalui pendidikan” atau “pendidikan kontra-ekstremisme.” Tetapi mereka tidak mengakui bahwa kelompok besar umat Islam sedang ditahan.
Namun, mereka yang berharap dapat melihat akan menyadari bahwa bahkan sebelum ini terjadi, China bukanlah teman bagi kaum Muslim, khususnya di Xinjiang. Wilayah perbatasan yang panjang antara kaum Muslim dan China, orang-orang Muslim Uighur yang mulia secara paksa dimasukkan ke wilayah China selama kemerosotan kekuasaan Islam pada akhir abad ke-19 saat wilayah Uighur dibentuk menjadi sebuah provinsi baru di China, yang merupakan arti harfiah dari nama Xinjiang. Kesulitan yang dialami orang-orang Uighur diperparah dengan terjadinya revolusi Komunis China yang dipimpin oleh Mao Zedong pada tahun 1948 ketika ideologi Komunis atheis mengingkari agama. Dengan demikian, bahkan penduduk Muslim China pribumi pun berada di bawah tekanan yang luar biasa dari otoritas Komunis.
Meskipun ada kelonggaran pembatasan agama di era Deng Xiaoping setelah Mao wafat, otoritas Partai Komunis menjadi lebih kuat lagi di bawah Presiden China Xi Jinping, dan hal ini juga mempengaruhi Muslim pribumi; sebuah contoh terbaru adalah upaya pihak berwenang untuk menghancurkan sebuah masjid di Ningxia yang dibangun sendiri oleh kaum Muslim Hui, yang berasal dari China dan bukan berasal dari Uighur.
China bukanlah teman bagi negara-negara Muslim. Kebijakan luar negeri komunis, apakah itu Soviet atau China, pernah dilihat tidak imperialistik, dan berbeda dengan kekuatan-kekuatan Barat kapitalis. Namun, tindakan-tindakan China baru-baru ini, terutama di bawah skema rute sutra zaman modern Xi Jingping, yang disebut sebagai Belt and Road Initiative (BRI), menampilkan semua atribut yang akrab dari imperialisme ekonomi Kapitalis. Pembiayaan utang besar-besaran China, dengan nilai total ratusan miliar dolar, dan tingkat bunga yang signifikan, dipasok ke sejumlah negara Muslim untuk mendapatkan uang itu kembali lagi ke perusahaan-perusahaan konstruksi dan energi China yang telah mengalami kelebihan kapasitas karena perlambatan ekonomi domestik. Perekonomian China, mengarah pada kesimpulan bahwa proyek-proyek semacam itu dirancang untuk kepentingan China dan bukan untuk kepentingan negara-negara target yang akan dililit hutang selama beberapa generasi.
Allah (Swt) berfirman dalam Al Qur’an:
“”Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu).” (Terjemahan QS Al Imran : 28)
Ayat yang mulia itu tidak hanya berlaku bagi kita secara individu tetapi yang lebih penting berlaku juga bagi umat Islam secara keseluruhan dalam hubungannya dengan kekuatan dari orang-orang kafir. Umat Muslim tidak akan bisa mengeluarkan dirinya sendiri dari hegemoni Barat, namun eksploitasi, pendudukan dan penghancuran dilakukan oleh kaum musyrik ateis China, namun hanya dengan kembali kepada Allah (Swt), dan menerapkan Agama-nya melalui pendirian kembali Khilafah Islam yang berjalan para metode Kenabian, kemudian bergantung pada kekuatan dan sumber daya kita sendiri yang melebihi setiap bangsa di bumi bahkan hingga hari ini, dan membebaskan semua wilayah Muslim yang diduduki termasuk wilayah Islam dari apa yang sekarang disebut sebagai Xinjiang akan memaksa China untuk menghentikan penganiayaan yang dilakukannya bahkan terhadap penduduk Muslim pribumi Hui.
Ditulis untuk Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir oleh Faiq Najah