Koalisi yang sedang digagas sejumlah parpol guna menghadapi pemilu presiden tidak dibangun dari persamaan nilai atau cita-cita perjuangan partai. Koalisi lebih didasarkan pada kepentingan yang amat pragmatis, yaitu memenangi perebutan kekuasaan pada pemilu presiden 8 Juli 2009.
Bangunan koalisi seperti itu dikhawatirkan akan sulit membangun pemerintahan yang kuat dan efektif. Pemerintahan tetap akan disibukkan oleh pembagian kekuasaan dibandingkan melaksanakan program kerja.
Demikian disampaikan pemerhati politik dari Universitas Indonesia Arbi Sanit, Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif, Tommy Legowo dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, peneliti The Indonesia Institute Cecep Effendi, dan Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari, secara terpisah akhir pekan ini (26/4).
Pernyataan itu mereka sampaikan menanggapi mulai jelasnya peta koalisi menghadapi pilpres. Partai Demokrat kemungkinan besar akan bergabung dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Sedangkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sudah jelas menunjukkan arah koalisi bersama Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).
Sekilas, koalisi yang dibangun PDI-P, Hanura, dan Gerindra punya kesamaan latar belakang, yaitu nasionalis sekuler. ”Namun, sebenarnya ada perbedaan latar belakang, prinsip, dan nilai di antara mereka. Koalisi itu lebih disatukan kepentingan, yaitu kegagalan pada Pemilu 2004 dan perasaan sakit hati karena merasa dicurangi pada pemilu,” kata Arbi.
Hal serupa terlihat dalam koalisi yang dibangun Demokrat dengan PKS dan PKB. ”Jika dilihat secara ideologi, cukup aneh PKS bisa bersatu dengan PKB,” kata Yudi menambahkan.
Pragmatisme dalam pembangunan koalisi, lanjut Yudi, makin terlihat dari mudahnya perubahan sikap, seperti yang diperlihatkan Partai Golkar. ”Karena gagal bernegosiasi dengan Partai Demokrat, Golkar lalu mendekati PDI-P. Ini sinyal kuat jika koalisi lebih dibangun berdasarkan pertimbangan transaksional, dalam arti materi dan kekuasaan,” papar Yudi.
Kuatnya pertimbangan memenangi kekuasaan dalam pembangunan koalisi, menurut Tommy Legowo, juga terlihat dari tiadanya pembahasan program di antara mereka yang berkoalisi. ”Misalnya, PDI-P dan partai yang mungkin diajaknya berkoalisi belum pernah terdengar membahas apakah program penghapusan kemiskinan akan dilakukan lewat program kedermawanan pemerintah seperti bantuan langsung tunai, atau dengan meningkatkan kapasitas masyarakat,” katanya.
PKS, lanjut Tommy, juga belum terdengar menyatakan keputusan bergabung dengan Demokrat berarti mereka mendukung seluruhnya program partai itu, termasuk dalam usaha untuk keluar dari krisis global.
Pragmatisme dalam membangun koalisi ini, menurut Tommy, antara lain diakibatkan oleh banyaknya partai dan tiadanya pihak yang dapat memenangi pemilu dengan mutlak.
Cecep Effendi mempertanyakan manfaat koalisi model itu, terutama kejelasan program yang betul-betul dibuat untuk kepentingan rakyat. ”Sampai sekarang belum jelas koalisinya, kapan bikin program bersama,” katanya.
Menurut Cecep, harus ditunggu apakah program yang ditawarkan sebuah parpol menjelang pemilu legislatif lalu masih bisa tecermin dalam koalisi. Pasalnya, setiap parpol dalam kampanye pemilu legislatif lalu telanjur menawarkan program yang bisa jadi berseberangan dengan calon mitra koalisinya. Bisa jadi ada visi-misi penting dari sebuah parpol yang akhirnya tidak tersepakati saat berkoalisi.
”Misalnya, ada partai yang mengatakan akan membuat pendidikan gratis dan ketika masuk dalam koalisi ternyata tidak masuk dalam program mereka,” kata Cecep.
Direduksi
Sekretaris Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat Masykurudin Hafidz menilai, aspirasi rakyat direduksi dengan hanya dijadikan modal dalam tawar-menawar kekuasaan. Seharusnya paparan rancangan program kebijakan sebagai sarana negosiasi mendahului proses tawar-menawar tersebut.
Masyarakat pemilih yang telah memberikan suara dalam pemilu legislatif mesti sejak awal mengetahui rencana program sebagai landasan proses koalisi. Langkah itu merupakan wujud pendidikan politik rakyat yang dilakukan partai politik serta menjadi catatan janji yang bakal ditagih nanti.
Dengan kata lain, menurut Qodari, koalisi parpol idealnya memang didasari kesamaan ideologi atau platform politik. Hanya saja, saat ini koalisi lebih didasari pada upaya memenuhi syarat pencalonan serta kalkulasi untuk menang dalam pilpres.
Semestinya, parpol berani mengajak parpol lain yang punya platform sama, serta tidak perlu mengajak parpol lain yang platformnya berbeda. Kenyataannya, hal sebaliknya yang kerap dilakukan. ”Tujuannya meraih dukungan suara sebanyak-banyaknya,” kata Qodari.
”Koalisi pragmatis ini merupakan dampak langsung dari sistem politik kita yang lebih bersifat parlementer. Padahal, pemerintahan kita bersifat presidensial,” tambah Yudi.
Ketidakkonsistenan dalam penggunaan sistem presidensial membuat pemerintahan lima tahun ke depan tidak akan banyak berubah dibandingkan sekarang. Kabinet akan dibentuk berdasarkan perhitungan pembagian kekuasaan dan bukan keahlian. ”Pemerintah juga tetap akan disibukkan oleh tawar-menawar dengan parlemen. Padahal, eksekutif seharusnya tinggal melaksanakan, tak perlu tawar-menawar,” ucapnya. (Kompas, 27/04/2009)
kenyataan yang memprihatinkan!
umat dibohongi lagi!
mereka (partai-partai) hanya peduli pada diri mereka sendiri.
kalau begini, kepada siapa lagi kepentingan umat dibela dan
dilindungi ?????…..
saatnya mendukung partai perjuangan syariah dan khilafah yang amanah dan melindungi umat!
Inilah sadiwara politik partai ambigu yang memuakkan!mereka bermain-main di atas kesedihan jutaan manusia. Kacung2 demokrasi telah menampakkan diri sebagai oknum2 bodoh yang memperebutkan kue kekuasaan secara seronok. masihkanh anda betah dalam lumpur api yang bernama demokrasi. mereka yang bermain2 dengan ayat2 Allah untuk melegitimasi kejahatan (demokrasi) akan tersungkur. Mereka yang melawan laju tegaknya Islam akan hancur. Siapapun yang berdiam diri atas kerusakan ini akan terkubur..terseret arus keburukan2 ini. Sadarlah akan posisi anda!
Semakin jelaslah bahwa sistem kapitalisme sekuler tidak akan membawa negeri ini benar-benar maju… walau beberapa pihak yang mengelola negeri ini mengatakan ada kemajuan… Namun tetaplah bahwa sistem buatan manusia akan selalu tambal sulam sebagaimana kemampuan manusia yang terbatas… Hanya dengan menggunakan hukum Allah lah semua kehidupan makhluq akan terjamin karena Dialah yang Maha Tahu akan hamba2nya… Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki???
Konspirasi Politik
Pesta demokrasi legislatif 2009 telah usai. Pesta lima tahunan ini telah menghamburkan uang rakyat kurang lebih 50 triliun rupiah. Sebuah fenomena yang ironis di tengah-tengah kondisi rakyat yang terlilit kemiskinan dan kebodohan. Krisis ekonomi global yang menghantam dunia perindustrian tanah air seakan dilupakan oleh para elit penguasa negeri ini. Padahal harus ada solusi untuk mengatasi problem pengangguran yang kian memuncak. Tampaknya pemerintah lebih mementingkan demokrasi dan pestanya. Padahal, demokrasi sudah terbukti hanya menambah beban rakyat. Hanya ada segelintir elit politik yang menikmati demokrasi di atas penderitaan rakyat. Umat Islam sebagai mayoritas rakyat menjadi komunitas yang kerap dieksploitasi demi legitimasi kekuasaan para elit politik.
Elit politik berkonglomerasi dengan para pemilik kapital. Akibatnya, kebijakan-kebijakan mereka selalu berpihak kepada pemilik modal yang sering menindas umat. Perilaku ini diperburuk oleh minimnya kemampuan mereka dalam mengatur negara. Korupsi kerap terjadi. Tidaklah berlebihan jika negara ini dinobatkan sebagai negara terkorup se-Asia setelah Thailand dan Filipina. Berbagai upaya dilakukan untuk membersihkan negara ini. Namun alih-alih berkurang, korupsi semakin menjadi-jadi. Hukum menjadi permainan. Ironisnya, hukum yang dipakai pun masih bersumber dari hukum sekular kolonial Belanda.
KPU (Komite Pemilihan Umum) menghabiskan uang kurang lebih 25 triliun. Tetapi pemilu berlangsung ricuh. Kertas pemilu banyak yang tertukar. Diperkirakan 15% dari jumlah total penduduk tidak terdaftar sebagai pemilih. Sebagian warga mengamuk karena merasa tidak dihargai. Mereka menganggap pemerintah tidak peduli nasib mereka. Terjadi arena baku hantam dengan para petugas keamanan karena masalah ini. Banyak kecurangan dan pelanggaran yang terjadi. KPU, Banwaslu, MK, dan instansi yang terkait kewalahan melayani keluhan umat. KPU dan instansi-instansi terkait dinilai gagal dalam menjalankan tugasnya.
Legitimasi pemilu menjadi sebuah pertanyaan. Banwaslu mencatat paling sedikit 150 keluhan masyarakat. Angka golput (kelompok yang tidak menggunakan hak pilihnya) semakin meningkat. Para ahli survei memperkirakan 35% golput dari total jumlah pemilih. Trend ini terjadi karena tingkat kepercayaan umat terhadap elit politik semakin merosot. Ketidakpercayaan ini mengarah kepada sikap apatis. Sikap ini tidak berlebihan mengingat track record para elit politik yang sangat mengecewakan. Mereka tidak mampu menstabilkan harga BBM, tidak mampu menstabilkan harga barang pokok, tidak mampu menghadirkan pendidikan gratis yang berkualitas, tidak mampu menciptakan layanan kesehatan gratis yang berkualitas, tidak mampu mengelola perusahaan negara, tidak mampu mempertahankan sumber daya alam, tidak mampu mengemban amanah sebagai pemimpin negara. Mereka sering leluasa melanggar konstitusi. Ironisnya, konstitusi negara ini dibangun dari berbagai ideologi yang saling kontradiktif.
Elit salah satu parpol tanpa malu-malu berbicara di sebuah stasiun TV, bahwa memang fokus politikus dari parpol pragmatis adalah untuk meraih kekuasaan semata. Padahal selama kampanye terbuka, mereka selalu berjanji untuk memprioritaskan umat. Namun ternyata mereka selalu berbohong kepada umat. Mereka menggunakan segala macam cara untuk melanggengkan kekuasaan. Mereka memanfaatkan hukum sekular buatan penjajah yang memungkinkan mereka berkuasa dengan nyaman di atas kebodohan umat. Militer dan kepolisian dimanfaatkan untuk menjaga kekuasaan mereka. Aparat negara bahkan digunakan untuk merancang sebuah konspirasi politik.
Konspirasi politik adalah makar yang sangat licik untuk menduduki kursi kekuasaan. Mereka tidak peduli jika harus menjual negara habis-habisan atau berkomplot dengan negara asing penjajah demi mendapat kekuasaan. Mereka sangat terlatih menipu umat dengan berpura-pura memberi pertolongan. Mereka berlindung di balik istana dan gedung mewah. Mereka menggunakan mobil-mobil mewah. Penghasilan mereka bisa mencapai puluhan juta rupiah per bulan. Tunjangan dan fasilitas mereka nikmati. Ironisnya, mereka tetap korupsi dan memakan uang suap. Mereka bisa leluasa menghisap uang rakyat. Mereka belindung di balik konstitusi. Mereka berlindung di balik tank, panzer tentara dan senapan polisi. Sementara itu, umat Islam terus dibohongi. Umat Islam yang ingin menerapkan Islam secara kaffah dibenturkan dengan sesama kaum muslim lain yang teracuni oleh kapitalisme, sosialisme dan turunannya. Gerakan Islam dituduh sebagai teroris. Gerakan Islam dihambat oleh gerakan-gerakan lain yang sengaja dipelihara. Mereka mengharapkan terjadinya konflik horizontal diantara umat. Mereka menggunakan makar kuno penjajah: divide et impera! pecah belah dan kuasai! Mereka menggunakan makar itu di dalam kemasan yang baru.
Sementara ini, mereka tampak berhasil dengan makar tersebut. Umat Islam terpecah ke dalam terminologi imajiner. Tersebutlah Islam radikal dan Islam moderat. Islam fundamental dan Islam liberal. Islam teroris dan Islam nasionalis. Islam fatalis dan Islam sekular. Berbagai istilah ini digunakan sebagai kerangka untuk memecah umat Islam. Akibatnya, umat Islam terpecah ke dalam ratusan organisasi sektarian yang berpotensi menciptakan konflik horizontal. Terciptalah puluhan partai politik bernuansa Islam yang saling bersaing demi kekuasaan–bukan umat.