Kunjungan Paus ke AS dan Krisis Spiritual di Barat

Lawatan Pemimpin Spiritual Katolik Paus Benediktus XVI ke AS tanggal 15-20 April lalu menyimpan sejumlah isu yang layak ditelisik dari beragam sisi. Ini merupakan lawatan pertama Pemimpin Umat Katolik ke Negeri Paman Sam sejak 29 terakhir. Di mata gereja Katolik, AS merupakan negara penting karena lebih dari 70 juta penganut Katolik hidup di negara ini dan tercatat sebagai negara dengan jumlah pemeluk Katolik terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dan Meksiko. Lawatan Paus Benediktus XVI ke AS ini kian terasa lebih penting lagi di tengah atomesfer kebijakan militeristik Gedung Putih di berbagai penjuru dunia.

Lawatan Pemimpin Spiritual Katolik ke AS mendapat sambutan ekstra hangat dari Presiden AS, George W. Bush. Tak tangung-tangung Bush bahkan menyambut langsung Paus di airport. Suatu hal yang terbilang istimewa dalam protokol diplomatik AS. Sebelum ini, Presiden Bush telah tiga kali bertemu dengan Pemimpin Spiritual Katolik terdahulu, Paus Yohanes Paulus II, dan sekali dengan Paus Benediktus XVI, di tahun 2005 lalu saat ia baru dinobatkan sebagai paus yang baru. Pertemuan Presiden Bush dengan para pemimpin spiritual Katolik ini merupakan upaya Bush untuk menunjukkan dirinya sebagai figur yang religius. Tentu saja, gelagat sok agamis Presiden AS ini sungguh paradoks dengan kebijakan perang pemerintahannya di Afghanistan, Irak dan belahan dunia lainnya.

Kebijakan militeristik Presiden Bush bertentangan nyata dengan ajaran kasih sayang dan perdamaian yang selalu dikhotbahkan oleh para rohaniawan gereja Katolik. Ajaran Isa Al-Masih dan para nabi ilahi lainnya selalu menegaskan pentingnya menegakkan keadilan dan melawan kezaliman. Namun, Pertemuan akrab Paus Benediktus XVI sebagai Pemimpin Spiritual Katolik dengan Presiden Bush tampaknya tak sejalan dengan misi keadilan yang diajarkan oleh Isa Al-Masih.

Dalam kunjungannya kali ini, Paus Benediktus XVI mendesak Presiden Bush untuk menjamin keamanan rakyat Irak, khususnya umat kristiani. Paus juga meminta Bush untuk memperhatikan upaya pemberantasan kemiskinan dan perubahan iklim global. Namun demikian, seperti yang dulu-dulu, Bush tak juga mengubris nasehat Paus. Sebaliknya, Bush justru memanfaatkan pertemuannya dengan Pemimpin Spiritual Katolik ini untuk kepentingan politiknya. Maklum, reputasi dan popularitas Presiden Bush, beberapa tahun belakangan benar-benar merosot tajam, lantaran kebijakan perangnya di Afghanistasn dan Irak. Terlebih menjelang pemilu presiden AS seperti saat ini. Lawatan Paus Benediktus bisa dimanfaatkan oleh kubu Republik, partai pendukung Bush, untuk meraih suara umat katolik.

Salah satu kritikan yang kerap diarahkan kepada Paus Benediktus XVI adalah sikap keengganannya untuk menjalin dialog dengan para pemimpin agama lainnya, khususnya Islam. Di era Paus sebelumnya, yaitu mendiang Paus Paulus Yohanes II, dialog antar iman, Islam dan Katolik ramai digalakkan. Namun di masa kepemimpinan Paus Benediktus XVI, intensitas dialog Islam-Katolik mulai menurun. Tahun 2006 lalu, hubungan kaum muslimin dengan gereja Vatikan pun sempat meregang. Paus Benediktus secara tak langsung menyebut Islam sebagai agama kekerasan dengan mengutip sebuah cerita dari abad ke-14. Meski kemudian Paus sempat berusaha meredam ketegangan yang ada, dan menggelar pertemuan dengan para pemimpin masyarakat muslim AS lewat acara Konferensi Antar Agama. Namun demikian, rasa kecewa terhadap Paus masih membekas di hati umat Islam. Ketua Dewan Fiqih Amerika Utara, Muzammil Siddiqi, dalam sambutannya di konferensi tersebut, menyatakan, “Kehadiran kami dalam konferensi ini adalah bentuk penghargaan kami kepada Gereja Katolik. Para Paus datang dan pergi, tapi agama katolik akan tetap ada”.

Mengomentari sikap Paus Benediktus XVI terhadap Islam, Oliver Roy, Islamolog dan Penasehat Pemerintah Perancis dalam wawancaranya dengan koran Italia, Corriere Della Sera, menuturkan, “Di satu sisi, Paus memuja-muja kebebasan beragama, namun di sisi lain, ia menentang digelarnya dialog sejati antar agama yang seharusnya mendunia dan memandang kecil perbedaan.” Masih menurut Oliver Roy yang juga dosen di Universitas Paris, “Kini, Paus dan Vatikan tal lagi berupaya membangun semangat kesamaan dengan agama-agama lainnya, tapi mereka bahkan lebih tertarik untuk mengendalikan kaidah permainan”.

Sebelum Paus menggelar lawatannya ke AS tanggal 15 April lalu, diperkirakan agenda utama pembicaraan Paus di Negeri Paman Sam berkisar sekitar skandal seksual di lingkungan gereja katolik AS. Sejak beberapa tahun terakhir ini, terungkapnya skandal seks sejumlah rohaniawan katolik di AS membuat reputasi kesucian gereja katolik di AS semakin diragukan. Hingga kini ratusan pastor telah dikeluarkan dari gereja lantaran terlibat dalam kasus pelecehan seksual. Beberapa data menunjukkan, gereja katolik AS terpaksa membayar ganti rugi lebih dari 2 miliar USD untuk menebus kesalahannya. Masalah ini tidak hanya mencoreng martabat gereja katolik tapi juga membuat kekuatan ekonomi dan finansial gereja makin tertekan. Terkait kasus ini Paus bahkan mengakui bahwa skandal seks para rohaniawan katolik di AS sebagai kasus yang memalukan.

Namun dalam kunjungannya ke AS kali ini, tampaknya Paus Benediktus XVI lebih memilih berusaha mengalihkan perhatian publik terhadap krisis moral gereja Katolik. Kasus ini tergolong begitu sensitif bagi gereja Katolik, sebab hal itu sungguh paradoks dengan misi suci gereja.

Kasus homoseksual dan pelecehan seksual terhadap anak-anak dan remaja di kalangan para rohaniawan Katolik sempat menjadi sorotan tajam media massa AS. Sampai-sampai dalam Konferensi Keuskupan Katolik AS, tahun 2002 lalu, mensahkan sebuah peraturan untuk melindungi anak-anak dari beragam bentuk kekerasan. Kenyataan ironis ini bukan hanya menunjukkan bahwa gereja Katolik gagal menyelamatkan umatnya dari jeratan krisis moral, tapi bahkan para rohaniawannya terjerat dalam krisis tersebut.

Kini, di lingkungan masyarakat Barat, gejala aborsi, perkawinan sejenis, dan pergaulan tanpa nikah, sudah menjadi hal yang lumrah. Naifnya, sebagian negara justru mendukung kasus ihwal semacam itu dan lebih memilih bersikap pasif. Paus sebagai Pemimpin Tertinggi Katolik sejatinya merupakan salah satu harapan terbesar umat Katolik. Mereka berharap gereja Katolik mampu meminimalisir krisis spiritual dan penyelewengan moral yang terjadi. Sebagian besar krisis tersebut merupakan akibat dari hilangnya spiritualitas dan iman di kalangan masyarakat Barat. Sayangnya sampai kini, gereja Katolik dan Paus sebagai pimpinannya belum mampu memberikan resep yang mujarrab untuk mengatasi problema tersebut. Paus Benediktus XVI bahkan tak juga mengutarakan noktah baru bagi dunia dalam kunjungannya di AS. Realitas ini merupakan isyarat bahwa jarak antara tujuan suci pesan spiritual dan moral Yesus Kristus dengan fenomena religius yang menamakan dirinya sebagai gereja di Barat masih terhampar begitu lebar.

http://indonesian.irib.ir

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*