Karena Amnesia Pemerintah Lupa Rakyat

Dialog Politik Ekonomi: Pro Kontra Penaikan Harga BBM, Apa Akar Masalahnya?

dialogprokontrabbm20mei2008.jpg Selasa (20 Mei) HTI Kalsel bekerja sama dengan Komite Penegakan Syariah (KPSI) Kalsel melakukan Dialog Politik Ekonomi: Pro Kontra Penaikan Harga BBM, Apa Akar Masalahnya? Di Aula Rumah Sakit Islam lt III. Acara ini digagas sebagai respon terhadap kebijakan pemeritah menaikan harga BBM dengan memberikan penjelasan akar permasalahannya kepada para tokoh dan intelektual di Banjarmasin.

Dialog menghadirkan narasumber Syahrituah Siregar, SE, MA pengamat ekonomi dan dosen Ekonomi Pembangunan Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin dan Hidayatullah Muttaqin, SE aktivis HTI Kalsel dan dosen Ekonomi Pembangunan Unlam. Acara yang dihadiri sekitar 30 peserta dan diliput puluhan wartawan media elektronik dan cetak ini dipandu oleh Akhid Yulianto, SE, M.Sc dosen Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Unlam yang juga aktivitas HTI Kalsel.

BBM adalah Amanah Publik dan Milik Rakyat

Berkaitan dengan pro kontra penaikan harga BBM, Syahrituah Siregar memandang seharusnya BBM dilihat sebagai “amanah publik” bukan “komoditas pasar”. Selama ini dalam platform perekonomian nasional BBM dipandang sebagai komoditas pasar, akibatnya subsidi dipandang sebelah mata oleh pemerintah, bahkan dalam kerangka “Konsensus Washington” subsidi harus dihapuskan oleh pemerintah.

Sementara itu Hidayatullah Muttaqin menjelaskan BBM yang diolah dari minyak mentah yang diangkat (lifting) dari dalam perut bumi, asal kepemilikannya adalah milik rakyat, sebab Rasulullah SAW bersabda “Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api” (HR. Abu Dawud). Dalam hadis lain Anas meriwayatkan dari Ibnu Abbas “dan harganya adalah haram”, maksudnya tidak boleh diserahkan kepada swasta dan asing.

Hadis ini menunjukkan BBM sebagai produk olahan yang digali dari dalam perut bumi merupakan barang tambang migas yang menjadi hak umat baik kepemilikannya maupun kemanfaatannya. Dengan demikian subsidi BBM adalah hak rakyat, bahkan secara hakikat bukan negara yang mensubsidi rakyat tetapi rakyat mensubsidi negara dengan masuknya perolehan migas ke dalam APBN. “Adalah naif sekali jika pemerintahan sekarang memandang pemerintah yang mensubsidi rakyat, apalagi kemudian memandang subsidi sebagai beban pemerintah”, kata pengamat ekonomi Unlam yang juga aktivis HTI ini.

Pemerintah Biarkan Rakyat Digoreng Spekulan

Alasan utama kebijakan pemerintah menaikan harga BBM adalah melonjaknya harga BBM hingga di atas US $100 per barrel yang berakibat bertambah beratnya beban subsidi dalam APBN, karena itu harga BBM harus disesuaikan dengan harga internasional. Menurut Syahrituah Siregar, pemerintah mengesampingkan lonjakan harga minyak mentah (crude oil) internasional telah lepas dari kebutuhan dan permintaan riil minyak mentah dunia. Kepada para tokoh dan intelektual yang menghadiri acara dialog ini, pengamat ekonomi dari Unlam tersebut menjelaskan bagaimana teknis perdagangan di bursa komoditi dunia yang menyebabkan terjadinya ledakan harga minyak.

Syahrituah menyatakan sesungguhnya kenaikan harga minyak akibat permainan spekulasi oleh para kapitalis di bursa komoditi. Para kapitalis mendesain tingkat permintaan minyak mentah di bursa melonjak drastis sehingga menggerek harga ke tingkat yang sangat tinggi. Menurut dosen Fakultas Ekonomi Unlam ini, spekulasi menyebabkan minyak mentah yang masih berada dalam perut bumi pun sudah diperjualbelikan sementara jual beli di bursa hanya berupa jual beli kertas saja. “Jadi tidak ada kaitan sama sekali antara harga minyak mentah saat ini dengan kebutuhan riil dunia”, katanya.

Dari sisi motif desain penaikan harga minyak mentah dunia di bursa komoditas, Syahrituah menjelaskan para spekulan (fund manager) di pasar modal telah mengalami kerugian ratusan milyar dolar sebagai akibat jatuhnya nilai surat-surat berharga berbasis suprime mortgage (kredit perumahan kelas dua) di AS dan Eropa. Krisis suprime mortgage berlanjut kepada krisis yang lebih luas yakni krisis finansial. Bahkan pada periode Januari 2008, krisis finansial mengakibatkan pasar modal di seluruh dunia mengalami kerugian senilai 5,2 trilyun dollas AS. Jadi para spekulan yang telah mengalami kerugian besar di bursa saham berpindah ke bursa komoditas dan mempermainkan harga komoditas migas sebagai upaya mereka untuk mengganti kerugian dari ”perjudian” mereka di pasar modal.

Hidayatullah menambahkan, spekulasi komoditas minyak di bursa tidak pernah berhenti bahkan pada tahun ini merupakan momen bagi para spekulan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya di atas penderitaan penduduk dunia. Dengan dukungan media kapitalis, mereka memanfaatkan berbagai isu politik dan ekonomi untuk terus menggerek harga minyak. Di hadapan masyarakat dunia mereka menjadikan permasalahan politik dan ekonomi sebagai pembenar terjadinya kenaikan harga minyak dunia, padahal kita semua tahu produksi minyak dunia sangat mencukupi kebutuhan riil dunia. Seperti rilis Kantor Berita Antara kemaren (21/5/2008) Sekjen Opec Abdalla Salem el-Badri menyatakan pasokan minyak mentah sudah cukup memenuhi kebutuhan dunia.

Menurut Hidayatullah, permainan spekulasi di bursa komoditas memiliki kecenderungan mengangkat harga minyak mentah hingga lebih dari US $200 per barrel dalam 6 bulan ke depan. Bahkan ada analis yang memprediksi harga minyak dapat bertengger pada angka US $300 di tahun 2009. Kecenderungan ini menunjukkan apabila pemerintah menetapkan harga BBM menyesuaikan harga internasional, maka yang terjadi adalah kenaikan harga BBM secara terus menerus. ”Kebijakan ini sama saja membiarkan rakyat ’digoreng’ oleh para spekulan”, katanya.

Jika pemerintah ingin melindungi rakyat dari dampak permainan spekulasi di bursa komoditas, maka pemerintah harus menjauhkan harga BBM nasional dari harga minyak dunia yang dikendalikan para spekulan. Hal ini sangat memungkinkan, sebab Indonesia memiliki ladang-ladang migas tidak seperti Jepang yang tidak memiliki sama sekali. ”Bagaimana mungkin barang yang dibutuhkan masyarakat bahan bakunya ada di sini, tapi harga bahan bakunya mengikuti harga yang ada di New York?”, imbuhnya.

Indonesia Masih Produsen Migas

Selama ini penurunan produksi minyak mentah Indonesia dijadikan pembenar pemerintah untuk menyatakan Indonesia net importir, sehingga atas dasar ini pemerintah berargumentasi harga BBM harus disesuaikan dengan harga internasional agar beban subsidi tidak terlalu menekan defisit APBN. Bahkan Presiden SBY melontarkan pernyataan kemungkinan Indonesia keluar dari keanggotaan OPEC dengan alasan kebutuhan minyak mentah Indonesia lebih besar dari produksi.

Keterangan

2007

(juta barrel)

Jan-Maret 2008

(juta barrel)

Produksi

347,493

84,822

Kebutuhan

321,302

76,714

Surplus Produksi

26,191

8,108

Ekspor

127,134

29,623

Impor

110,448

23,224

Surplus Ekspor

16,686

6,399

Sumber: www.esdm.go.id

Menanggapi argumentasi ini, Hidayatullah mengatakan ”memang produksi minyak mentah Indonesia mengalami penurunan, hanya saja hingga saat ini produksi minyak mentah lebih besar dari kebutuhan nasional, begitu pula ekspor lebih besar dari impor”.

Dengan menggunakan data dari Departemen ESDM, dapat dibuktikan posisi Indonesia bukan net importir. Tahun 2007 produksi minyak mentah Indonesia mencapai 347,493 juta barrel dengan tingkat kebutuhan 321,302 juta barrel. Data ini menunjukkan Indonesia mengalami surplus produksi sebesar 26,191 juta barrel. Begitu pula ekspor Indonesia lebih besar dari impor minyak dengan posisi surplus sebesar 16,686 juta barrel. Pada 3 bulan pertama tahun 2008, surplus produksi minyak Indonesia mencapai 8,108 juta barrel dan surplus ekspor 6,399 juta barrel.

produksi-kebutuhan-minyak-mentah-indonesia.jpg

Kebohongan Fiskal

Selama ini pemerintah mengembangkan opini di tengah masyarakat bahwa subsidi BBM sangat membebani keuangan negara, apalagi dengan melonjaknya harga minyak dunia hingga lebih dari US $100 per barrel yang kini sudah bertengger di angka US $ 135 per barrel. Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memberikan subsidi paling besar. Kata Wapres, kalau harga BBM tidak dinaikan beban subsidi BBM dalam APBN dapat membengkak hingga Rp 300 trilyun.

Menurut Syarituah, cara pandang pemerintah tentang subsidi BBM salah besar. Subsidi BBM harus dipandang sebagai ”amanah publik” bukan ”komoditas pasar”, sehingga biaya yang dikeluarkan dalam APBN untuk penyediaan BBM bagi masyarakat tidak boleh dipandang dari aspek finansial semata namun juga harus dilihat kebaikan-kebaikan yang diperoleh masyarakat baik dari aspek perekonomian maupun kehidupan sosial dengan harga BBM yang dapat mereka jangkau.

Hidayatullah menambahkan, opini pemerintah ingin memberikan gambaran kepada masyarakat bahwa subsidi BBM merupakan penyebab defisit APBN dan jika diteruskan dapat membatasi anggaran lainnya. Pandangan ini menyesatkan, sebab dalam APBN 2008 sebelum diubah menjadi APBN-P 2008 pos terbesar pengeluaran negara ada pada pos pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri dan utang domestik. Dalam APBN 2008, pos subsidi berjumlah Rp 97,87 trilyun sedangkan pos utang mencapai Rp 151,023 trilyun yang terdiri atas Rp 91,365 trilyun untuk cicilan pokok dan Rp 59,658 trilyun pembayaran bunga.

Jika pada pos subsidi BBM pemerintah ingin sekali menghapusnya bahkan sudah ada rencana membuat undang-undang penghapusan subsidi, maka terhadap pos pembayaran utang pemerintah tidak mau sama sekali mengutak-atiknya. Bahkan ketika sebuah organisasi kemahasiswaan menemui Wapres untuk meminta pemerintah menunda pembayaran utang, Wapres dengan tegas menolak permintaan organisasi tersebut. Menurut Wapres, negara kita tidak termasuk negara miskin sehingga tidak mungkin kreditur bersedia kita menunda pembayaran utang. Begitu pula kalau Indonesia menunda pembayaran utang, Indonesia akan sulit mendapatkan kepercayaan para investor.

Alasan pemerintah tersebut menunjukan betapa rusaknya mindset pengelola negeri ini dengan menjadikan APBN tunduk pada kepentingan investor. Akibatnya, kebijakan fiskal selalu berorientasi market friendly atau investor friendly bukan people friendly. Ini semua karena kapitalisme dengan ekonomi neoliberalnya, menjadikan pos-pos pembiayaan kebutuhan publik sebagai ”musuh negara” sementara pos-pos yang berhubungan dengan kepentingan investor diproteksi oleh pemerintah

Misalnya biaya cost recovery di sektor hulu migas yang dikeluarkan para investor harus ditanggung negara. Tahun 2007 cost recovery mencapai US $8,338 milyar atau setara Rp 76,709 trilyun. Menurut Hidayatullah, ini merupakan suatu bentuk penjajahan yang benar-benar nyata. Rakyat telah dirampok dengan penguasaan ladang-ladang migas oleh perusahaan-perusahaan kapitalis tersebut, kemudian pemerintah membuat aturan setiap biaya kegiatan investasi mereka ditanggung oleh negara sehingga pendapatan migas dalam APBN dikurangi biayai cost recovery. “Pemerintah benar-benar melakukan kebohongan fiskal, semoga Allah membalasnya dengan balasan yang setimpal”, seru Hidayatullah.

Pemerintah Menderita Amnesia

Dalam presentasinya, Syahrituah Siregar menyampaikan secara pribadi ia merasa “sangat emosional” dengan kebijakan pemerintah yang penuh kebohongan, apalagi “kebohongan pemerintah” ini didukung penuh sebagian besar media. Sementara itu Hidayatullah menyatakan sebagai manusia dirinya “stress” memikirkan “kezaliman pemerintah” yang sudah melampaui batas kemampuan ekonomi masyarakat. “Kalau saya saja ‘stress’, bagaimana dengan masyarakat yang memiliki ‘kadar intelektual’ yang lebih rendah? Bagaimana dengan masyarakat yang menghadapi kezaliman ini tanpa adanya kekuatan keimanan kepada Allah? Apa yang akan terjadi dengan mereka?”, seru Hidayatullah.

Hidayatullah menyampaikan, “kebijakan zalim pemerintah yang sudah melampaui batas ini diakibatkan oleh penyakit ‘amnesia’ yang diderita pemerintah”. Menurut Hidayatullah, “Amnesia pemerintah adalah penyakit yang menyebabkan pemerintah lupa siapa dirinya, lupa bahwa dirinya adalah penanggungjawab dan pengatur urusan rakyatnya, lupa bahwa dirinya harus melindungi dan mensejahterakan rakyatnya”.

Padahal Rasulullah SAW bersabda: “Seorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terjadap rakyatnya”. (HR Bukhari-Muslim).

Penyakit ini disebabkan oleh rusaknya sistem yang diterapkan pemerintah, seperti sistem ekonomi Kapitalis yang menyebabkan ketimpangan dan kezaliman, dan faktor psikologis pemerintah yang terlalu ketakutan jika tidak melakukan kebijakan “pro investor”.

Penyakit amnesia pemerintah menyebabkan pemerintah selalu lupa rakyatnya dan selalu ingat investor. Begitu pula pemerintah lupa bahwa Indonesia memiliki ladang-ladang migas sehingga senantiasa mengaitkan harga BBM di negeri sendiri dengan harga minyak mentah yang ada di New York. Pemerintah lupa kebijakan liberalisasi sektor migas menyebabkan sektor hulu migas dikuasai asing sedangkan investor sektor hilir menginginkan harga BBM tidak disubsidi agar mereka dapat bersaing dengan Pertamina dan memperoleh keuntungan yang besar dari “jerit tangis kelaparan” rakyat Indonesia. Karena amnesia, pemerintah menjadi kaki tangan asing dan antek penjajahan.

Ganti Sistem

Pemerintah yang ada saat ini merupakan pemerintahan yang rusak baik penguasanya maupun sistemnya, karena itu harus diganti secara keseluruhan. Hidayatullah menyerukan kita harus melakukan “revolusi pola pikir” mengubah mindset kapitalisme pemerintahan dan kapitalisme kebijakan publik menjadi bermindset Islam dengan paradigma syariah. Revolusi ini harus memiliki tujuan revolusi sistem, menjadikan negeri kaum Muslimin ini sebagai negeri yang menerapkan syariah secara kaffah di bawah sistem Khilafah. Sementara itu Syahrituah berpendapat sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan oleh pemerintah merupakan sistem zalim dan harus diganti dengan sistem Syariah.

Semua peserta dalam dialog politik ekonomi ini sepakat bahwa sistem Kapitalisme harus diganti dengan sistem Syariah. Hanya Syariah yang dapat menyelamatkan kita dan menyelesaikan persoalan migas dan BBM.

Berkaitan dengan permasalahan sistem, Bapak Abdurahman al-Maliki dari KPSI menegaskan setelah begitu jelas akar masalah BBM yang berasal dari kerusakan sistem Kapitalisme maka tidak ada pilihan lain kecuali ganti sistem “syetan” ini dengan sistem Islam. Sementara salah satu peserta yang lain menambahkan negara ini perlu “diruqyah”, supaya setan-setan yang bersemayam dalam tubuh pemerintahan ini keluar dan diisi dengan Syariah Islam.

Pernyataan Sikap HTI Kalsel dan KPSI Kalsel

Dalam kesempatan acara tersebut HTI Kalsel dan KPSI Kalsel mengeluarkan pernyataan sikap dengan menyebut kebijakan pemerintah menaikan harga BBM sebagai “kebijakan zalim” yang “melampaui batas kemampuan ekonomi masyarakat”. Dua organisasi ini menolak kebijakan pemerintah dan menuntut diturunkannya harga BBM yang sedang berlaku saat ini. Mereka juga mendesak agar negara menerapkan sistem Islam untuk menggantikan sistem Kapitalis yang rusak dan menzalimi rakyat Indonesia, sehingga politik migas Islam dapat menjadikan migas sebagai milik rakyat dengan manfaat sebesar-besarnya untuk kemaslahatan hidup rakyat. Setelah pembacaan pernyataan sikap, para peserta membubuhkan tanda tangan mendukung pernyataan sikap.

Semoga Allah SWT memberikan pertolongan kepada para pengemban dakwah untuk meyakinkan umat mengganti sistem Kapitalisme ini dengan Syariah dan Khilafah. Amiin. [Redaksi Jurnal Ekonomi Ideologis].

dialogprokontrabbm20mei2008.jpg

dialogprokontrabbm20mei2008-2.jpg

dialogprokontrabbm20mei2008-4.jpg

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*