Negeri CPO Langka Minyak

Beberapa bulan ini kita diramaikan dengan berita langkanya minyak goreng sawit. Akibat kelangkaan minyak goreng yang terbuat dari sawit ini, membuat harga minyak goreng bertengger sebesar Rp8.000 per liter yang semula Rp6.000. Bahkan di Mataram NTB harga minyak goreng Rp10.000 per kg. Ironisnya, Indonesia merupakan produksi minyak sawit mentah terbesar kedua setelah malaysia yaitu sebanyak 16 juta ton per tahun, dengan areal perkebunan sawit sebesar 6,07 juta hektar.

Banyak pihak yang menyesalkan terjadinya kenaikan harga yang mendadak ini. Mentan menyesalkan, dengan kondisi produksi Crude Palm Oil (CPO) dalam negeri yang cukup besar, seharusnya tidak akan terjadi kenaikan harga minyak goreng yang sangat tinggi. Namun Mentan mengakui, peningkatan permintaan CPO untuk biodisel di beberapa negara —Termasuk eropa— ikut berdampak terhadap kenaikan harga CPO di dalam negeri. Akibatnya harga minyak goreng juga terangkat naik.

Kemudian Menteri Perindustrian Fahmi Idris juga angkat bicara. Dia menduga ada aksi spekulan besar dan kecil sehingga mendorong gejolak harga di dalam negeri. Untuk Spekulan besar, Fahmi mensinyalir praktik mencari keuntungan dilakukan antara lain dengan membeli minyak goreng dalam jumlah besar, misalnya 1.000 ton. Komoditas itu kemudian tidak segera disalurkan, tetapi didiamkan dulu di pabrik dan setelah harga naik baru diambil. Sedangkan spekulan kecil, dilakukan pedagang intrainsuler. Mereka membeli minyak goreng dari Pulau Jawa dengan delivery order (DO) dalam negeri.


Kurangkah Produksi?

Dirjen Perkebunan, Depertemen Pertanian, Achmad Mangga Barani sendiri membantah kenaikan harga minyak goreng disebabkan Indonesia kekurangan CPO. Berdasarkan data produksi CPO dalam negeri yang mencapai 16 juta ton per tahun, sulit rasanya alasan pabrik kekurangan bahan baku. Namun karena harga di luar negeri lebih baik, maka industri lebih suka mengekspor CPO daripada memenuhi untuk industri dalam negeri. Imbasnya jelas, pasokan untuk pabrik dalam negeri menjadi berkurang.

Produksi CPO sebanyak 16 juta ton itu dihasilkan dari areal tanaman kelapa sawit 6,07 juta hektare, terdiri dari perkebunan rakyat seluas 2,63 juta hektare, perkebunan besar milik negara 679.000 hektare dan perkebunan besar swasta 2,742 juta hektare. Dirjen Pengolahan dan dan Pemasaran Hasil Pertanian Departemen Pertanian, Djoko Said Damardjati mengatakan, dengan produksi CPO sebanyak 16 juta ton, sekitar 12 juta ton dieskpor dan untuk konsumsi dalam negeri hanya 3,8 juta ton. Dari 3,8 juta ton, sebanyak 3,3 juta ton dikonsumsi langsung, sedangkan 0,5 juta ton untuk industri. Dengan demikian, rata-rata kebutuhan untuk dalam negeri hanya 250.000 ton/bulan, dimana 100.000 ton untuk industri minyak goreng.


Harga Ekspor dan Subsidi

Berdasarkan informasi, harga pasar CPO di tingkat dunia yang tinggi hingga 700 dolar AS per ton dan harga lelang CPO di Jakarta mencapai Rp6.900 per kg. Djoko menganggap produsen seperti mendapat durian runtuh dengan ekspor CPO. Padahal, rata-rata harga CPO di pasar Internasional sampai Maret lalu hanya 420 dolar AS/ton dan harga tandan buah segar hanya Rp600/kg. Sebenarnya dengan memberikan subsidi terhadap harga minyak goreng, mereka tidak akan rugi, karena yang diekspor jauh lebih banyak.

Dengan harga subsidi, produsen bisa menjual CPO ke pabrik refinery Rp5100/kg untuk diolah sebagai bahan baku minyak goreng yang dijual ke industri minyak goreng Rp5.700/kg. Mereka masih mendapatkan selisih kos pengolahan Rp600 per kg. Harga minyak goreng selanjutnya bisa dijual ke pengecer sebesar Rp6.100 per kg, sehingga sampai di tingkat konsumen nantinya hanya Rp6.500 per kg.


Operasi Pasar

Menteri Perdagangan, Marie Elka Pangestu, mengatakan kebijakan yang kita ambil bukan mengendalikan ekspor atau pajak eskpor, melainkan diusahakan dalam bentuk operasi pasar. Padahal sebenarnya kebijakan Operasi Pasar (OP) kerap kali diterapkan pada kebutuhan pokok lainnya seperti beras, namun hasilnya tidak mampu meredam harga pasar.

Ketua Harian Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Derom Bangun mengaku pengusaha telah sepakat menambah volume CPO untuk operasi pasar menjadi 150.000 ton. Ketua Asosiasi Industri Minyak Makan (AIMMI) Adiwisoko Kasman juga mengambil langkah-langkah stabilisasi harga, yaitu memperbanyak jumlah penyalur. Sayangnya pada saat tulisan ini dibuat harga minyak goreng masih tinggi. Ini membuktikan bahwa dengan langkah-langkah yang telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun oleh swasta ternyata tidak berhasil.

Untuk menurunkan harga minyak goreng pemerintah menerapkan tiga langkah. Langkah pertama program stabilisasi harga (PSH) dengan meminta produsen melakukan operasi pasar. Caranya, pengusaha wajib memasok CPO dengan harga yang murah minimal 100 ribu ton. Langkah kedua adalah dengan menerapkan kuota bagi produksi CPO atau DMO per tahun menjadi 4,5-5 juta ton dari sebelumnya 16 juta ton. Kalau itu juga tidak berhasil menurunkan harga minyak goreng baru diterapkan pengenaan pajak ekspor.


Pelarangan Penimbunan Barang

Apabila terjadi lonjakan harga dengan tiba-tiba, perlu diwaspadai adanya aksi penimbunan. Syariah Islam telah melarang umatnya untuk melakukan penimbunan. Dalam sistem ekonomi kapitalis yang terjadi kini, aksi timbun-menimbun bukan hanya terhadap keperluan pokok tetapi juga di luar keperluan pokok. Apalagi saat ini pemerintah juga tidak mempunyai instrumen untuk mengontrol pergerakan, termasuk harga minyak goreng kecuali membuat ancaman menaikkan pajak ekspor.

Pemerintah juga sangat menggantungkan operasi pasar dari swasta. Semua ini menunjukkan pemerintah tidak mempunyai kemampuan menambah pasokan minyak goreng. Indonesia yang merupakan produsen CPO terbesar setelah Malaysia, tidak seharusnya mengalami kelangkaan minyak goreng. Ini membuktikan bahwa penerapan sistem ekonomi kapitalis selama ini telah membuat rakyat sengsara. Masihkah negeri CPO ini terpeleset? [Zulhelmy, SE Ak, MSi.Ak; Dosen Tetap Universitas Islam Riau dan Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Riau. Riau Pos, 30 Juni 2007]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*