KANTOR JURUBICARA HIZBUT TAHRIR INDONESIA
Nomor: 117/PU/E/07/07; Jakarta, 12 Juli 2007 M
PERNYATAAN HIZBUT TAHRIR INDONESIA
TENTANG
Mewaspadai Gerakan Separatisme
Gerakan separatisme tidak pernah mati. Bahkan akhir-akhir ini menunjukkan tanda-tanda menguat kembali. Belum reda heboh tampilnya penari cakalele yang mengibarkan bendera RMS di hadapan presiden SBY dalam acara Peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) XIV di Lapangan Merdeka, Ambon beberapa waktu lalu, disusul pengibaran bendera Bintang Kejora (bendera OPM) dalam Konfrensi Besar Masyarakat Adat Papua. Ribuan orang yang hadir sontak berteriak “Merdeka …!”. Tak lama kemudian di Aceh muncul lagi bendera dan istilah GAM (Gerakan Aceh Merdeka) sebagai nama dan bendera partai lokal di Nangroe Aceh Darussalam (NAD).
Apakah aksi-aksi tersebut murni sebagai aspirasi rakyat di sana atau ada unsur provokasi, atau setidaknya dukungan dari luar, khususnya dari negara-negara adidaya seperti AS? Untuk menjawabnya kiranya perlu dirunut sejumlah rentetan peristiwa yang terjadi beberapa waktu sebelumnya.
Pada 16 Mei lalu selama 2 hari berkunjung ke NAD 17 Jendral AS yang dipimpin oleh William L Nyland. Resminya, kunjungan itu dimaksudkan untuk mencari masukan perkembangan situasi keamanan pasca perjanjian damai (MoU) dan kemajuan rekonstruksi pasca bencana tsunami.
Setelah itu, utusan khusus Sekjen PBB urusan HAM, Hina Jilani, juga berkunjung ke Aceh dan Papua. Dia menyentil soal “pelanggaran HAM” yang terjadi di kedua daerah, “Saya tunggu reaksi pemerintah Indonesia selesaikan kasus-kasus HAM” (Media Indonesia, 15/6/07).
Tak lama kemudian sejumlah anggota Konggres AS, di antaranya Eni Valeo Mavaega, Ketua Sub Komite untuk Wilayah Asia Asia Pasifik, yg dikenal kritis tentang pelanggaran HAM di Papua. Dia juga yang selama ini menolak pencabutan embargo militer terhadap Indonesia (Republika, 28/6/07). Soal Papua, dia tegas mengatakan, “Saya memang pernah mengatakan, kalau pemerintah Indonesia tidak bisa memperlakukan Papua secara layak, berikanlah kemerdekaan. Saya tdk mengingkarinya.” (Jawa Pos, 5/7/07).
Dari sejumlah rentetan peristiwa tersebut, nyatalah bahwa gerakan Separatisme bukan hanya murni aspirasi rakyat di daerah itu, tapi juga ada dorongan dan provokasi dari luar. Rentetan kunjungan di atas membuktikan hal itu. Juga, tidak mungkin kalau hanya sekedar untuk mencari informasi soal rekonstruksi pasca tsunami AS harus mengirimkan 17 jenderal militernya. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, tiap kali ada kunjungan pejabat pemerintah AS, pasti ada agenda tertentu yang hendak mereka paksakan. Ketika Menlu AS Condoleeza Rice datang ke Indonesia pada Maret 2006 Menhan AS Donald Rumsfeld pada Juni 2006, keduanya sama-sama berupaya untuk menekan pemerintah Indonesia untuk bergabung dalam Proliferation Security Initiative (PSI). Melalui PSI, AS akan menjelma menjadi polisi yang paling berwenang untuk mengawasi lautan yang berada dalam teritorial Indonesia. Padahal Indonesia adalah negara kelautan. Kunjungan Rice tersebut juga terkait dengan proses joint operating agreement (JOA) saat itu tentang pengelolaan Blok Cepu. Maka bukan sebuah kebetulan kalau ternyata akhirnya pemerintah menyerahkan pengelolaan Blok Cepu yang kaya minyak dan gas itu kepada ExxonMobil.
Disamping itu, tak dapat dipungkiri, bahwa salah satu akar penyebab munculnya gerakan separatis di Indonesia seperti GAM di Aceh, RMS di Maluku dan OPM di Papua lebih disebabkan oleh ketidakadilan ekonomi yang dirasakan oleh rakyat di wilayah-wilayah tersebut. Aceh dan Papua dikenal sebagai daerah yang memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah tapi penduduk di sana miskin. Karena itu, upaya menciptakan kesejahteraan dan keadilan ekonomi bagi seluruh rakyat menjadi sangat penting.
Persoalannya, bagaimana caranya agar upaya tersebut dapat terwujud? Bisakah kita berharap pada sistem ekonomi Kapitalis yang saat ini diterapkan? Tidak, karena justru sistem ekonomi Kapitalis inilah yang menjadi akar dari seluruh ketidakadilan ekonomi. Contohnya, kasus PT Freeport di Papua. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa Kontrak Karya atau Contract of Work Area yang telah mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat. PT FI pertama kali melakukan penambangan pada bulan Desember 1967 pasca-Kontrak Karya I (KK I). Kemudian pada 1986 ditemukan sumber penambangan baru di puncak gunung rumput (Grasberg) yang kandungannya jauh lebih besar lagi. Kandungan bahan tambang emas terbesar di dunia ini diketahui sekitar 2,16-2,5 miliar ton dan kandungan tembaga sebesar 22 juta ton lebih. Diperkirakan dalam sehari diproduksi 185.000 s.d. 200.000 ton biji emas/tembaga. Karena itu, PT FI berhasrat lagi untuk memperpanjang KK I dan dibuatlah KK II pada Desember 1991, yang memberikan hak kepada PT FI selama 30 tahun dengan kemungkinkan perpanjangan selama 2 x 10 tahun. Ini berarti, KK II akan berakhir pada tahun 2021 dan jika diperpanjang, akan berakhir 2041. Siapa yang menikmati hasil dari PT FI selama ini? Nyatanya sumbangan ke APBN hanya Rp 2 triliunan. Saham Pemerintah RI hanya 9,36%. Sisanya milik asing. Tentu yang mendapat “kue raksasa” ini adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan pertambangan ini. Menurut kantor berita Reuters (Pikiran Rakyat, 18/3 2006), empat Big Boss PT FI paling tidak menerima Rp 126,3 miliar/bulan. Misalnya Chairman of the Board, James R Moffet menerima sekitar Rp 87,5 miliar lebih perbulan dan President Director PT FI, Andrianto Machribie menerima Rp. 15,1 miliar perbulan. Pada saat yang sama, orang-orang Papua di sekitarnya banyak yang miskin, bahkan sebagiannya mengalami kelaparan!
Berkenaan dengan masalah tersebut, Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan:
1. Menyerukan kepada pemerintah dan umat Islam, pada umumnya untuk senantiasa mewaspadai segala manuver yang dilakukan oleh negara asing, khususnya AS dan sekutunya, yang bakal mendorong berkembangnya gerakan separatisme. Landasan utama politik luar negeri negera-negara seperti itu tidak lain adalah imperialisme atau penjajahan. Bisa berupa militer, seperti yang terjadi di Irak dan Afghanistan, maupun ekonomi dan politik seperti yang dialami negeri-negeri Muslim dunia ketiga, termasuk Indonesia. Juga menghentikan segala bentuk muwalah (kerjasama atau hal sejenis) dengan mereka. Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pelindung atau penolong) dengan meninggalkan orang-orang Mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)? (QS. An Nisa’: 144)
وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاًَ
Sekali-kali Allah tidak akan pernah memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang Mukmin. (QS an-Nisa’: 141).
2. Menghentikan pengaturan ekonomi dengan sistem Kapitalisme yang nyata-nyata telah menimbulkan kesengsaraan dan ketidakadilan di mana-mana. Sebagai gantinya, diterapkan ekonomi Islam. Dalam ekonomi Islam, yakni ekonomi yang berdasarkan syariah, kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti minyak bumi, emas, perak tambaga dan lainnya adalah milik rakyat; tidak boleh diserahkan kepada pihak swasta, apalagi pihak asing. Harus dikola oleh negara, dan hasilnya sepenuhnya diserahkan kepada rakyat. Rasul saw. bersabda:
«الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ»
Manusia bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: hutan, air dan energi. (HR Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).
Kesejahteraan dan keadilan ekonomi hanya mungkin diciptakan oleh sistem ekonomi Islam yang bersumber dari Zat Yang Mahaadil, Allah SWT.
Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia
Muhammad Ismail Yusanto
Hp: 0811119796 Email: Ismaily@telkom.net
Gedung Anakida Lantai 7
Jl. Prof. Soepomo Nomer 27, Jakarta Selatan 12790
Telp / Fax : (62-21) 8353253 Fax. (62-21) 8353254
Websiite : http://www.al-islam.or.id/www.hizbut-tahrir.or.id
Email : info@al-islam.or.id
‘nasionalisme’ Islam, lebih nasionalis, faktual, dan aplikatif. Saatnya jaga persatuan negeri negeri Islam.
Sewaktu eyang menjabat dulu, banyak bule ‘bersliweran’ di depan gedung daripada Istana Negara, sedangken waktu itu masih pagi sekali. Usut punya usut, ternyata mereka adalah para ‘pengemis’ daripada Amerika. Ya sudah, sambil masih pake sarung dan sendal japit, eyang kasih saja ‘recehan’ ke mereka. Seinget eyang, ada dapet Freeport. Katanya mau dikembaliken 30 tahun lagi.
Sekarang eyang menyesal, karena ‘pemberian’ eyang tadi salah, dan diikuti oleh penerus-penerus daripada eyang. Wahai kaum muslim sedunia, maafken eyang, ya.
Bukankah dalam Islam pemberontakan itu haram menurut kesepakatan muslimin, maka gerakan separatis sama dengan pemberontakan maka haram
di balik gerakan separatisme tersebut memang terdapat kekuatan2 asing.politik pecah belah dan jajahlah nyata sekali masih terjadi di negeri ini.
sudah saatnya kaum muslimin seluruhnya bersatu. tidak lagi di bawah bendera nasionalisme yg rapuh, tapi hanya di bawah naungan Islam yang mulia.
ya mungkin aja Rakyat Aceh masih beranggapan pemerintah jakarta itu antek2 dan kakitangan Kafir. coba kalo orang orang HTI menguasai pemerintahan pusat. pasti adil dan orang aceh gaperlu repot repot beli ak47. makanya HTI harus ambil alih kekuasaan pemerintahan. bagaimana caranya ya terserah HTI. semoga HTI benr dan sungguh2 tegakan khilafah… atau jangan jangan HTI dianggap yang ga ga nanti nya sama orang Nanggroe Aceh.
dapatkan fimnya fksks nkri dan separatisme disekretariat HTI
Indonesia kan seharusnya desentralisasi,,
tp knp jd sentralisasi y??
Separatisme terjadi karena ketidak seimbangan pembangunan di daerah dan di kota..
Jadi timbul deh kecemburuan sosial..