Tadi menteri sekarang anggota DPR. Pemilu Legislatif 2009 menghasilkan enam menteri dari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) pindah kursi ke Senayan. Pengamat politik menilai perpindahan mereka sekedar cari kekuasaan, bukan murni mengabdi.
Keenam menteri itu adalah Menteri Pariwisata, Seni dan Budaya Jero Wacik yang masuk melalui daerah pemilihan Bali dengan mengantongi 112.264 suara. Disusul Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Taufiq Effendi, dari dapil Kalimantan Selatan I yang meraup 47.261 suara
Kemudian Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi yang terpilih berkat 54.855 suara dari dapil Papua. Ketiga menteri ini berasal dari Partai Demokrat.
Lantas ada Menteri Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, Lukman Edy, dari dapil Riau I. Sekretaris Jenderal PKB ini dipilih oleh 42.849 suara. Dibawahnya ada Menteri Pemuda dan Olahraga, Adhyaksa Dault, dari dapil memperoleh 82.873 suara dan terakhir Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Suryadharma Ali, dari dapil Jawa Barat III. Ia meraih 25.112 suara.
Perpindahan tempat duduk para menteri ini menimbulkan pertanyaan di benak pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lili Romli. Bila konteks pindahnya memperjuangkan nilai-nilai di masyarakat, tidak masalah dan harus didukung. Tapi ia melihat konteks politik Indonesia tidak murni begitu.
”Paling tidak ada dua hal. Pertama menteri didapuk sebagai pengumpul suara (vote getter) bagi partai. Kedua, motif kekuasaan si menteri. Ancang-ancang kalau ia tak masuk kabinet mendatang, sudah aman dapat kursi di DPR,” katanya saat dihubungi Republika, Jumat (29/5) pagi.
Baginya, para menteri harusnya konsisten. Usai menjabat, bila ternyata pemerintahannya kalah, mundur dari eksekutif. Tidak lagi mencari kursi di legislatif.
Alih-alih, para menteri mengajukan alasan kalau mereka sekedar menuruti perintah partainya. ”Ada masalah azaz kepantasan seorang pejabat publik disitu,” pungkasnya. (Republika online, 29/05/2009)
itulah gambaran politikus kita yang hanya mengejar kedudukan saja tanpa memikirkan nasib rakyatnya, padahal dalam kampanyeya selalu mengatakan atas nama rakyat
Pantas, negeri ini gak maju2.
Rakyat semakin susah, pengangguran banyak, PHK dimana2, orang stres makin banyak, maksiat makin merajalela.
Apa artinya mereka jadi pejabat?!
Selama ini rakyat tertipu.Bahkan ada yang memeakai label Islam tapi belakangn mendukung antek asing, atau bahkan dari dulu begitu, tapi karena ingin dapat kedudukan akhirnya sama saja, sarua wae!
Inilah suatu yang kita takutkan
“Akan datang sesudahku penguasa-penguasa yang memerintahmu. Di atas mimbar mereka memberi petunjuk dan ajaran dengan bijaksana, tetapi bila telah turun mimbar mereka melakukan tipu daya dan pencurian. Hati mereka lebih busuk dari bangkai” (Al-Hadits)
“Yang penting dapat kursi, lumayan… 5 taon lagi ada kerjaan” itulah pemikiran anggota dpr kita. Bencana!