Isu ekonomi neoliberal yang belakangan ini marak diberdebatkan sebagai sistem ekonomi nasional menjadi indikasi semakin matangnya kehidupan berpolitik dan berdemokrasi di Indonesia.
“Untuk pertama kalinya dalam sejarah, pemilihan presiden di Indonesia diramaikan oleh sebuah perdebatan tentang sistem ekonomi nasional. Perdebatan ini membuktikan semakin matangnya kehidupan berpolitik dan berdemokrasi di Indonesia,” kata Direktur Indef, Ikhsan Modjo, di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, saat ini berpolitik tidak lagi identik dengan pelemparan isu-isu sempit yang bersifat ideologis dan sektarian, tetapi lebih kepada isu-isu pragmatis dan ekonomi. Perdebatan tersebut berpangkal pada kritik kalangan oposisi terhadap calon wakil presiden dari koalisi partai pemenang pemilu legislatif, yang dianggap berhaluan ekonomi neoliberal.
“Haluan ini menurut mereka adalah sebuah hal negatif yang didiktekan oleh lembaga keuangan internasional, seperti World Bank dan IMF. Sebagai gantinya, para pengkritik mengajukan ekonomi kerakyatan,” katanya.
Namun, Ikhsan berpendapat, wacana yang berkembang belum sepenuhnya lepas dari ideologi dan labelisasi sekaligus belum menyentuh diskusi-diskusi kebijakan yang lebih serius dan teknis. Selama ini, kritik baru berjalan satu arah dari pengusung ekonomi kerakyatan pada kelompok yang disebut sebagai neoliberal, yang agaknya lebih bersikap defensif.
“Hal ini dapat dimaklumi karena selain masih lekatnya stigma liberal pada masyarakat Indonesia, ekonomi kerakyatan baru sebatas konsep keberpihakan yang juga belum tentu efektivitasnya ketika dipraktekkan. Lain halnya dengan neoliberal yang telah menuai beragam hasil di berbagai negara, baik keberhasilan maupun kegagalan,” katanya.
Ekonom itu mendefinisikan, neoliberalisme sebagai revival pemikiran liberal klasik yang mengadvokasi pasar bebas, kebebasan individu, dan intervensi negara minimal dalam perekonomian. Konsep itu, kata Ikhsan, merupakan sekumpulan teori tentang relasi antara negara, pasar, individu dan masyarakat dalam sebuah sistem perekonomian yang berlandaskan kapitalisme.
Kemunculan neoliberal pada akhir 1960-an dilatarbelakangi oleh beragam kegagalan kebijakan ekonomi teknoratis dan intervensionis yang melahirkan ketidakpuasan dan konflik kepentingan.
Ikhsan menjelaskan, sebagaimana pemikiran-pemikiran besar lainnya, kemunculan neoliberal dipicu krisis berupa stagflasi tahun 1970-an di negara-negara maju yang memberi angin haluan tersebut untuk menyerang balik kubu prointervensi dan membawanya kembali sebagai wacana kebijakan ekonomi dominan.
“Resep neoliberal sukses mengurangi inflasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi di beberapa negara. Perekonomian Inggris membaik tiga tahun setelah Margaret Thatcher menjadi Perdana Menteri Inggris pada tahun 1979. Demikian pula di Amerika Serikat, kepemimpinan Ronald Reagan selama dua periode (1981-1989) berhasil menurunkan inflasi dan pengangguran.”
Keduanya, Ikhsan cenderung berpendapat bahwa neoliberal sekadar sebuah term yang digunakan sebagai heading besar dari berbagai teori-teori kontemporer anti-intervensi yang dikembangkan pada konteks historis, politik, dan institusi tertentu.
Neoliberal, menurut dia, juga merupakan perkawinan aliran ekonomi neoklasik yang menganut paham “market primacy” di satu sisi, dengan mazhab politik Libertarian-Austria yang mengusung kebebasan dan kemerdekaan invididu di sisi lain.
“Berbeda dengan neoliberalisme yang merupakan kumpulan pemikiran tentang relasi antara pasar dan negara dalam suatu pasar yang bercorakkan kapitalisme. Ekonomi kerakyatan lebih merupakan kumpulan pemikiran tentang sebuah orientasi kebijakan yang lebih berpihak kepada rakyat jelata, baik di sisi konsumsi dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar dan pokok, maupun di sisi produksi dengan berpihak pada usaha kecil dan menengah,” katanya.
Ekonomi kerakyatan bisa saja berkembang dan dipraktekkan di berbagai corak sistem perekonomian, baik itu yang bersifat kapitalisme atau komunisme. “Akan tetapi, karena menisbatkan pemihakan yang jelas, yang implisit berarti menekankan perlunya peran aktif dan ketidaknetralan negara, ekonomi kerakyatan berbeda dengan neoliberalisme, yang mengandaikan netralitas dan ketiadaan campur tangan negara,” katanya.
Menurut dia, agenda ekonomi rakyat tidak banyak bertentangan langsung dengan pemikiran neoliberal. Bahkan, pemerintah saat ini bisa menggabungkan keduanya.
Ia menambahkan, jargon ekonomi rakyat memang lebih terkesan pada pemrioritasan sektor pertanian dan UMKM. Karenanya, ekonomi rakyat kurang tepat untuk menjadi jargon melawan liberalisasi dan privatisasi.
“Para penentang neoliberal nampaknya perlu memikirkan nama lain,” demikian Ikhsan Modjo. (Republika online, 29/05/2009)
Kejelian seperti ini harus dipertahankan, agar masyarakat kita tetap waspada terhadap ulah para politisi busuk, baik yang sudah lama busuk, maupun politisi yang baru2 aja membusuk.
Para aktifis partai dakwah dituntut faham ideologi. Kelemahan kita selama hanya belajar fikih secara parsial, faham munakahat tapi tidak faham sistem makro ekonomi Islam. Anti korupsi tapi tidap paham risywah dalam pandangan Islam. Hanya faham akhlaq tok, tapi riba masih ok. Sangat tekun sholat berjamaah tapi berkoalisi (berjamaah) dengan partai sekuler. Sementra kaum kapitalis dan komunis telah merinci faham ideologinya hingga ke detail sistemnya. Para aktifis dakwah perlu belajar ideologi Islam (mabda’) Buku manualnya adalah Nidzah Islam karya Syaikh Taqiyyuddin pengantar ke sana bisa baca-baca fii dzilalil qur’an karya Sayyid qutub. Baru kemudian pra aktifis matang lalu boleh terjun ke dunia politik.