Salah satu pertanyaan yang sering dilontarkan seputar Khilafah adalah bagaimana tata cara (metode) untuk pengangkatan Khalifah. Tidak sedikit yang menolak sistem Khilafah dengan alasan di dalam Islam tidak ada ketentuan yang jelas tentang mekanisme pengangkatan Khalifah. Berikut ini tulisan tentang hal itu yang diambil dari kitab ajhizatu ad Daulah al Khilafah (Struktur Negara Khilafah ). Kitab ini dikeluarkan dan diadopsi oleh Hizb at-Tahrir. (redaksi)
Ketika syara’ mewajibkan umat Islam untuk mengangkat seorang Khalifah, syara’ juga telah menentukan metode yang harus dilaksanakan untuk mengangkat Khalifah. Metode ini ditetapkan dengan al-Kitab, as-Sunah dan Ijmak Sahabat. Metode itu adalah baiat. Maka pengangkatan Khalifah itu dilakukan dengan baiat kaum muslim kepadanya untuk (memerintah) berdasarkan Kitabullah dan Sunah Rasulullah. Yang dimaksud kaum muslim disini adalah kaum muslim yang menjadi rakyat Khalifah sebelumnya jika Khalifah sebelumnya itu ada. Atau kaum muslim penduduk suatu wilayah yang disitu diangkat seorang Khalifah, jiak sebelumnya tidak ada Khalifah.
Kedudukan baiat sebagai metode pengangkatan Khalifah telah ditetapkan dari baiat kaum muslim kepada Rasulullah saaw dan dari perintah beliau kepada kita untuk membaiat seorang imam. Baiat kaum muslim kepada Rasul saw, sesungguhnya bukanlah bait atas kenabian, melainkan baiat atas pemerintahan. Karena baiat itu adalah baiat atas amal dan bukan baiat untuk mempercayai kenabian. Beliau dibaiat tidak lain dalam kapasitas sebagai penguasa, bukan dalam kapasitas sebagai nabi dan rasul. Sebab pengakuan atas kenabian dan kerasulan adalah masalah iman, bukan baiat. Maka baiat kepada Beliau itu tidak lain adalah baiat dalam kapasitas beliau sebagai kepala negara.
Masalah baiat itu telah tercantum dalam al-Quran dan hadits. Allah Swt telah berfirman :
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لاَ يُشْرِكْنَ بِاللهِ شَيْئًا وَلَا يَسْرِقْنَ وَلاَ يَزْنِينَ وَلاَ يَقْتُلْنَ أَوْلاَدَهُنَّ وَلاَ يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ وَلاَ يَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ
Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik. (QS. Muhtahanah : 12)
إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللهَ يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. (QS. al-Fath : 10)
Imam Bukhari meriwayatkan : Ismail telah menyampaikan kepada kami, Malik telah menyampaikan kepadaku dari Yahya bin Sa’id, ia berkata : “Ubadah bin Walid telah memberitahuku, Bapakku telah memberitahuku dari Ubadah bin Shamit yang mengakatakan :
بَايَعْنَا رَسُولَ اللهِ r عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ اْلأَمْرَ أَهْلَهُ وَأَنْ نَقُومَ أَوْ نَقُولَ بِالْحَقِّ حَيْثُمَا كُنَّا لاَ نَخَافُ فِي اللهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ
Kami telah membaiat Rasulullah saw untuk senantiasa mendengar dan mentaatinya, baik dalam keadaan yang kami senangi maupun yang tidak kami senangi dan agar kami tidak akan merebut kekuasaan dari orang yang berhak dan agar kami senantiasa mengerjakan atau mengatakan yang haq di mana saja kami berada tidak takut karena Allah kepada celaan orang-orang yang suka mencela (HR. Bukhari)
Dalam riwayat Imam Muslim dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash bahwa Rasulullah saw pernah bersabda :
وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَ ثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اِسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرٌ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ اْلآخَرِ
Dan siapa saja yang telah membaiat seorang imam lalu ia telah memberikan genggaman tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia mentaatinya sesuai dengan kemampuannya, dan jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaannya maka penggallah orang lain itu (HR. Muslim)
Juga di dalam Shahih Muslim, dari Abu Sa’id al-Khudzri yang mengatakan : Rasulullah saw pernah bersabda :
إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا اْلآخِرَ مِنْهُمَا
Jika dibaiat dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya (HR. Muslim)
Imam Muslim juga meriwayatkan dari Abiy Hazim yang berkata : “aku mengikuti mejelis Abu Hurairah selama lima tahun, dan aku mendengar ia menyampaikan hadits dari Nabi saw, Beliau pernah bersabda :
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ، قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
Dahulu Bani Israel diurusi dan dipelihara oleh para nabi, setiap kali seorang nabi meninggal digantikan oleh nabi, dan sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku, dan akan ada para Khalifah, dan mereka banyak, para sahabat bertanya : “lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi bersabda : “penuhilah baiat yang pertama dan yang pertama, berikanlah kepada mereka hak mereka, dan sesungguhnya Allah akan meminta pertanggung-jawaban mereka atas apa yang mereka diminta untuk mengatur dan memeliharanya (HR. Muslim)
Nas-nas al-Quran dan as-Sunah di atas secara jelas menunjukkan bahwa satu-satunya metode mengangkat Khalifah adalah baiat. Seluruh sahabat telah memahami hal itu dan bahkan mereka telah melaksanakannya. Baiat Khulafa’ur Rasyidin sangat jelas dalam masalah ini.
Prosedur Praktis Pengangkatan dan Baiat Khalifah
Prosedur praktis untuk mencalonkan Khalifah sebelum di baiat boleh menggunakan bentuk yang berbeda-beda. Hal itu sebagaimana yang terjadi kepada Khulafa’ur Rasyidin yang datang pasca wafatnya Rasulullah secara langsung. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan ‘Ali –radhiyaLlâh ‘anhum–. Seluruh sahabat mendiamkan dan menyetujui tata cara itu. Padahal tata cara itu termasuk perkara yang harus diingkari seandainya bertentangan dengan syara’. Karena perkara tersebut berkaitan dengan perkara terpenting yang menjadi sandaran keutuhan insitusi kaum muslim dan kelestarian pemerintahan yang melaksanakan hukum Islam. Dari penelitian terhadap peristiwa yang terjadi dalam pengangkatan keempat Khalifah itu, kami mendapati bahwa sebagian kaum muslim telah berdiskusi di Saqifah Bani Sa’idah. Mereka yang dicalonkan adalah Sa’ad, Abu Ubaidah, Umar dan Abu Bakar. Hanya saja Umar bin Khaththab dan Abu Ubaidah tidak rela menjadi pesaing Abu Bakar. Maka seakan-akan perkaranya berada hanya diantara Abu Bakar dan Sa’ad bin Ubadah, bukan yang lain. Hasil diskusi itu adalah dibaiatnya Abu Bakar. Kemudian pada hari kedua, kaum muslim diundang ke Masjid Nabawi lalu mereka membaiat Abu Bakar di sana. Maka baiat di Saqifah adalah baiat in’iqad sehingga dengan itu Abu Bakar menjadi Khalifah kaum muslim. Dan baiat di Masjid pada hari kedua merupakan baiat taat.
Ketika Abu Bakar merasa bahwa sakitnya akan membawa maut, dan khususnya karena pasukan kaum muslim sedang berada di medan perang melawan negara besar kala itu, Persia dan Rumawi, Abu Bakar memanggil kaum muslim meminta pendapat mereka tentang siapa yang akan menjadi Khalifah kaum muslim sepeninggalnya. Proses musyarawah itu berlangsung selama tiga bulan. Ketika Abu Bakar telah selesai meminta pendapat kaum muslim itu dan ia akhirnya mengetahui pendapat mayoritas kaum muslim, maka Abu Bakar mewasiatkan Umar, yakni mencalonkan sesuai dengan bahasa kala itu, agar Umar menjadi Khalifah setelahnya. Wasiat atau pencalonan itu bukan merupakan akad pengangkatan Umar sebagai Khalifah setelah Abu Bakar. Karena setelah wafatnya Abu Bakar, kaum muslim datang ke masjid dan membaiat Umar untuk memangku jabatan Khilafah. Dengan baiat inilah Umar sah menjadi Khalifah kaum muslim, bukan karena musyawarah yang dilakukan oleh Abu Bakar. Juga bukan karena wasiat Abu Bakar. Karena seandainya wasiat dari Abu Bakar merupakan akad khilafah kepada Umar, pastilah tidak lagi memerlukan baiat kaum muslim. Terlebih lagi nas-nas yang telah kami sebutkan sebelumnya telah menunjukkan secara jelas bahwa seseorang tidak akan menjadi Khalifah kecuali melalui baiat kaum muslim.
Ketika Umar tertikam, kaum muslim memintanya untuk menunjuk pengganti, namun Umar menolak. Setelah mereka terus mendesak, Beliau menunjuk enam orang yakni mengajukan calon sebanyak enam orang kepada kaum muslim. Kemudian Beliau menunjuk Suhaib untuk mengimami manusia dan untuk memimpin enam orang yang telah Beliau calonkan sehingga terpilih Khalifah dari mereka dalam jangka waktu tiga hari sebagaimana yang telah Beliau tentukan bagi mereka. Beliau berkata kepada Suhaib : “…. jika lima orang bersepakat dan rela dengan satu orang, dan yang menolak satu orang maka penggallah orang yang menolak itu dengan pedang …”. Peristiwa itu sebagaimana yang diceritakan oleh ath-Thabari dalam Târîkh ath-Thabariy, oleh Ibn Qutaibah pengarang buku al-Imâmah wa as-Siyâsah yang lebih dikenal dengan sebutan Târîkh al-Khulafâ’, oleh Ibn Sa’ad dalam Thabaqât al-Kubrâ. Kemudian beliau menunjuk Abu Thalhah al-Anshari bersama lima puluh orang untuk menjaga mereka. Beliau menugasi Miqdad untuk memilih tempat bagi para calon itu mengadakan pertemuan.
Kemudian setelah Beliau wafat dan setelah para calon berkumpul, Abdurrahman bin ‘Awf berkata : “…. siapa diantara kalian yang bersedia mengundurkan diri dan bersedia menyerahkan urusannya untuk dipimpin oleh orang yang terbaik diantara kalian?” Semuanya diam. Abdurrahman bin ‘Awf berkata : ” aku mengundurkan diri.” Lalu Abdurrahman mulai meminta pendapat mereka satu persatu. Ia menanyai mereka, seandainya perkara itu diserahkan kepada masing-masingnya, siapa diantara mereka yang lebih berhak. Maka jawabannya terbatas pada dua orang : Ali dan Utsman. Setelah itu, Abdurrahman mulai merujuk kepada pendapat kaum muslim dengan menanyai mereka siapa diantara kedua orang itu (Ali dan Utsman) yang mereka kehendaki. Ia menanyai baik laki-laki maupun perempuan dalam rangka menggali pendapat masyarakat. Abdurrahman bin ‘Awf melakukannya siang dan malam. Imam Bukhari mengeluarkan riwayat dari jalan al-Miswar bin Mukhrimah yang berkata : “.. Abdurrahman mengetuk pintu rumahku pada tengah malam, Ia mengetuk pintu hingga aku terbangun, ia berkata : “aku lihat engkau tidur, dan demi Allah jangan engkau habiskan tiga hari ini dengan banyak tidur.” Yakni tiga malam. Ketika orang-orang melaksanakan shalat subuh, sempurnalah dilangsungkan bait kepada Utsman. Maka dengan baiat kaum muslim itu, Utsman menjadi Khalifah, bukan dengan penetapan Umar kepada enam orang.
Kemudian Utsman terbunuh. Lalu mayoritas kaum muslim di Madinah dan Kufah membaiat ‘Ali bin Abiy Thalib. Maka dengan baiat kaum muslim itu, Ali menjadi seorang Khalifah.
Dengan meneliti tata cara pembaiatan mereka –radhiyaLlâh ‘anhum– jelaslah bahwa orang-orang yang dicalonkan itu diumumkan kapada masyarakat. Dan jelas pula bahwa syarat in’iqad terpenuhi dalam diri masing-masing dari mereka. Kemudian diambil pendapat dari ahl al-halli wa al-’aqdi diantara kaum muslim, yaitu mereka yang merepresentasikan umat. Mereka yang dicalonkan itu dikenal luas pada masa Khulafa’ur Rasyidin, karena mereka adalah para sahabat –radhiyaLlâh ‘anhum– atau penduduk Madinah. Siapa yang dikehendaki oleh para sahabat atau mayoritas para sahabat, maka orang itu dibaiat dengan baiat in’iqad dan dengan itu ia menjadi Khalifah dan kaum muslim menjadi wajib untuk mentaatinya. Lalu kaum muslim secara umum membaiatnya dengan baiat taat. Demikianlah terwujud Khalifah dan ia menjadi wakil umat dalam menjalankan pemerintahan dan kekuasaan.
Inilah yang dapat dipahami dari apa yang terjadi pada baiat Khulafa’ur Rasyidin –radhiyaLlâh ‘anhum–. Dari sana juga terdapat dua perkara lain yang dapat dipahami dari pencalonan Umar kepada enam orang dan dari prosedur pembaitan Utsman. Dua perkara itu adalah : adanya amir sementara yang memimpin selama jangka waktu pengangkatan Khalifah yang baru dan pembatasan calon sebanyak enam orang sebagai jumlah paling banyak.
Amir Sementara
Ketika Khalifah merasa ajalnya sudah dekat menjelang kosongnya jabatan Khilafah pada waktunya, Khalifah memiliki hak menunjuk amir sementara untuk menangani urusan masyarakat selama jangka waktu proses pengangkatan Khalifah yang baru. Amir sementara itu memulai tugasnya langsung setelah wafatnya Khalifah. Tugas pokoknya adalah melangsungkan pemilihan Khalifah yang baru dalam jangka waktu tiga hari.
Amir sementara ini tidak boleh mengadopsi (melegislasi) suatu hukum. Karena pengadopsian hukum itu adalah bagian dari wewenang Khalifah yang dibaiat oleh umat. Demikian juga, Amir sementara itu tidak boleh mencalonkan untuk jabatan khilafah atau mendukung salah seorang calon yang ada. Sebab Umar bin Khaththab telah menunjuk amir sementara itu dari selain orang yang dicalonkan untuk menduduki jabatan khilafah.
Jabatan amir sementara itu berakhir dengan diangkatnya Khalifah yang baru. Karena tugasnya hanya sementara waktu untuk kepentingan pengangkatan Khalifah yang baru itu.
Dalil yang menunjukkan bahwa Suhaib merupakan amir sementara yang ditunjuk oleh Umar adalah :
Perkataan Umar kepada para calon : “agar Suhaib memimpin kalian selama tiga hari dimana kalian bermusyawarah.” Kemudian Umar berkata kepada Suhaib : “pimpinlah shalat orang-orang selama tiga hari.” Sampai Beliau berkata : ” jika lima orang telah sepakat terhadap satu orang, dan satu orang menolak maka penggallah lehernya dengan pedang ….” Ini artinya bahwa Suhaib telah ditunjuk sebagai amir bagi mereka. Ia telah ditunjuk sebagai amir shalat, dan kepemimpinan shalat maksudnya adalah kepemimpinan atas manusia. Dan juga karena ia telah diberi wewenang menjalankan uqubat (sanksi) “penggallah lehernya“, sementara tidak ada yang boleh melaksanakan pembunuhan itu kecuali seorang amir.
Perkara itu telah terjadi dihadapan para sahabat tanpa ada pengingkaran, maka ketentuan tersebut menjadi ijmak bahwa Khalifah memiliki hak menunjuk amir sementara yang melangsungkan pemilihan Khalifah yang baru. Berdasarkan hal ini, selama kehidupannya, Khalifah juga boleh mengadopsi pasal yang menyatakan bahwa jika Khalifah meninggal dunia dan belum menunjuk amir sementara untuk melangsungkan pengangkatan Khalifah yang baru, hendaknya salah seorang menjadi amir sementara.
Kami mengadopsi dalam masalah ini, jika Khalifah selama sakitnya menjelang maut tidak menunjuk amir sementara, hendaknya amir sementara itu adalah mu’awin tafwidh yang paling tua, kecuali jika ia dicalonkan. Maka berikutnya adalah mu’awin tafwidh yang lebih muda setelahnya diantara para mu’awin tafwidh. Demikianlah sampai semua mu’awin tafwidh, seterusnya adalah para mu’awin tanfidz dengan urutan seperti itu.
Hal itu juga berlaku dalam kondisi Khalifah diberhentikan. Amir sementara adalah mu’awin tafwidh yang paling tua jika ia tidak dicalonkan. Jika ia dicalonkan, maka mu’awin tafwidh yang lebih muda setelahnya, sampai semua mu’awin tafwidh habis. Kemudian mu’awin tanfidz yang paling tua. Jika semua mu’awin ingin mencalonkan diri (atau dicalonkan), maka mu’awin tanfidz yang paling muda harus menjadi amir sementara.
Ketentuan ini juga berlaku pada kondisi Khalifah berada dalam tawanan, meski ada beberapa detil berkaitan dengan wewenang amir sementara dalam kondisi Khalifah tertawan sementara terdapat kemungkinan bebas, dan dalam kondisi tidak ada kemungkinan bebas. Dan kami akan mengatur wewenang-wewenang ini dalam undang-undang yang akan dikeluarkan pada waktunya nanti.
Amir sementara ini berbeda dengan orang yang ditunjuk Khalifah untuk mewakilinya ketika ia keluar untuk melaksanakan jihad atau keluar melakuakn perjalanan sebagaimana yang diperbuat oleh Rasulullah setiap kali Beliau keluar untuk berjihad atau ketika Beliau melaksanakan Haji Wada’ atau yang semisalnya. Orang yang diangkat dalam kondisi ini, wewenangnya sesuai dengan yang ditentukan oleh Khalifah dalam menjalankan pengaturan berbagai urusan (ri’âyah asy-syu’un) yang dituntut oleh penunjukan wakil itu.
Pembatasan Jumlah Calon Khalifah
Dari penelitian terhadap tata cara pengangkatan Khulafa’ur Rasyidin, nampak jelas bahwa pembatasan jumlah calon itu benar-benar terjadi. Pada peristiwa Saqifah Bani Sa’idah, para calon itu adalah Abu Bakar, Umar, Abu Ubaidah, dan Sa’ad bin Ubadah, dan dicukupkan dengan keempatnya. Akan tetapi, Umar dan Abu Ubaidah merasa tidak sepadan dengan Abu Bakar sehingga keduanya tidak mau bersaing dengan Abu Bakar. Maka pencalonan secara praktis terjadi diantara Abu Bakar dan Sa’ad bin Ubadah. Kemudian ahl al-halli wa al-‘aqdi di Saqifah memilih Abu Bakar sebagai Khalifah dan membaiatnya dengan baiat in’iqad. Pada hari berikutnya kaum muslim membaiat Abu Bakar di Masjid dengan baiat taat.
Abu Bakar hanya mencalonkan Umar, dan tidak ada calon lainnya. Kemudian kaum muslim membaiat Umar dengan baiat in’iqad lalu baiat taat.
Umar mencalonkan enam orang dan membatasinya pada mereka dan dipilih dari mereka satu orang sebagai Khalifah. Kemudian Abdurrahman bin ‘Awf berdiskusi dengan kelima yang lain dan akhirnya membatasi calon pada dua orang yaitu ‘Ali dan Utsman. Hal itu dilakukan setelah lima orang yang lain mewakilkan kepadanya. Setelah itu, Abdurrahman menggali pendapat masyarakat. Dan akhirnya suara masyarakat menetapkan Utsman sebagai Khalifah.
Adapun ‘Ali, tidak ada calon lain selain dia untuk menduduki jabatan khilafah. Maka mayoritas kaum muslim di Madinah dan Kufah membaiatnya dan jadilah ia sebagai Khalifah keempat.
Dan karena baiat Utsman di dalamnya telah terealisisasi : jangka waktu terpanjang yang dibolehkan untuk memilih Khalifah yaitu tiga hari dengan dua malamnya; dan demikian juga jumlah calon dibatasi sebanyak enam orang, kemudian setelah itu dijadikan dua orang, maka berikut akan kami sebutkan tata cara terjadinya peristiwa tersebut secara detil untuk mengambil faedah darinya :
1. Umar wafat pada Ahad subuh tanggal 1 Muharam 24 H sebagai akibat dari tikaman Abu Lu’lu’ah –la’anahuLlâh–. Umar tertikam dalam keadaan berdiri melaksanakan shalat di mihrab pada Rabu fajar empat hari tersisa dari bulan Dzul Hijjah 23 H. Suhaib mengimami shalat jenazah untuk Umar seperti yang telah Beliau pesankan.
2. Setelah selesai pemakaman jenazah Umar –radhiyaLlâh ‘anhu–, Miqdad mengumpulkan ahl syura yang telah dipesankan Umar di satu rumah. Abu Thalhah bertugas menjaga (mengisolasi) mereka. Mereka berenam duduk bermusyawarah. Kemudian mereka mewakilkan kepada Abdurrahman bin ‘Awf untuk memilih diantara mereka sebagai Khalifah dan mereka rela.
3. Abdurrahman mulai berdiskusi dan menanyai masing-masing : jika ia tidak menjadi Khalifah, siapa dari empat calon yang lain yang ia pandang sebagai Khalifah? Jawaban mereka tidak menentukan Ali dan Utsman. Dan berikutnya Abdurrahman membatasi perkara dengan dua orang (‘Ali dan Utsman) dari enam orang itu.
4. Setelah itu, Abdurrahman meminta pendapat masyarakat seperti yang sudah diketahui.
5. Pada malam Rabu yakni malam hari ketiga setelah wafatnya Umar pada hari Ahad, Abdurrahman pergi ke rumah Putra Saudarinya, al-Maysur bin Mukhrimah, dan dari sini saya nukilkan dari al-Bidâyah wa an-Nihâyah karya Ibn Katsir :
Ketika malam Rabu setelah wafatnya Umar, Abdurrahman datang ke rumah putra saudarinya, al-Maysur bin Mukhrimah, dan ia berkata : “apakah engkau tidur wahai Maysur? Demi Allah aku tidak tidur sejak tiga …” yakni tiga malam setelah wafatnya Umar hari Ahad subuh, artinya malam Senin, malam Selasa dan malam Rabu, sampai Abdurrahman berkata : “pergilah dan panggilkan Ali dan Utsman untukku…..Kemudian ia keluar ke masjid bersama Ali dan Utsman….Lalu ia menyeru kepada orang-orang secara umum : ash-shalâtu jâmi’ah (mari shalat berjama’ah). Saat itu adalah saat fajar hari Rabu. Kemudian Abdurrahman mengambil tangan ‘Aliy –radhiyaLlâh ‘anhu wa karamaLlâh wajhah– dan ia menanyainya tentang (kesediaan) dibaiat berdasarkan al-Kitab, Sunah Rasulullah dan perbuatan Abu Bakar dan Umar. Lalu Ali menjawabnya dengan jawaban yang sudah dikenal : berdasarkan al-Kitab dan as-Sunah, iya, sedangkan atas perbuatan Abu Bakar dan Umar, maka ia (Ali) akan berijtihad sesuai pendapatnya sendiri. Lalu Abdurrahman melepaskan tangan Ali. Berikutnya Abdurrahman mengambil tangan Utsman dan menanyai Utsman dengan pertanyaan yang sama. Lalu Utsman menjawah : “demi Allah, ya”. Dan sempurnalah dilangsungkan baiat kepada Utsman –radhiyaLlâh ‘anhu–.
Dan Suhaib mengimami shalat Subuh dan salat Dhuhur hari itu. Kemudian Utsman mengimami Shalat Ashar pada hari itu sebagai Khalifah kaum muslim. Artinya, meskipun baiat in’iqad kepada Utsman dimulai ketika shalat subuh, namun kepemimpinan Suhaib belum berakhir kecuali setelah terjadi baiat ahl al-hall wa al-‘aqd di Madinah kepada Utsman yang selesai dilakukan menjelang shalat Ashar. Karena para sahabat berdesak-desakan untuk membaiat Utsman sampai setelah tengah hari dan menjelang shalat Ashar. Baiat itu selesai dilakukan menjelang shalat Ashar. Maka saat itu berakhirlah kepemimpinan Suhaib dan Utsman menjadi imam shalat Ashar dalam kapasitasnya sebagai Khalifah kaum muslim.
Penulis al-Bidâyah wa an-Nihâyah (Ibn Katsir) menjelaskan kenapa Suhaib masih mengimami shalat Dhuhur, dan sudah diketahui bahwa baiat kepada Utsman telah sempurna dilangsungkan pada waktu fajar. Ibn Katsir berkata :
“… orang-orang membaiat Utsman di Masjid, kemudian Utsman pergi ke Dar Syura (yakni rumah tempat berkumpulnya ahl syura), dan sisa manusia yang lain membaiat Utsman di tempat itu. Dan seakan baiat itu baru selesai (sempurna) setelah shalat Dhuhur. Suhaib pada hari itu mengimami shalat Dhuhur di Masjid Nabawi. Sedang shalat pertama kali yang dilaksanakan oleh Khalifah Amîr al-Mu’minîn Utsman mengimami masyarakat adalah shalat Ashar….”.
Dalam hal ini terdapat perbedaan (dalam beberapa riwayat) mengenai hari tertikamnya Umar dan hari dibaiatnya Utsman…. akan tetapi kami sebutkan yang lebih kuat diantara riwayat yang ada.
Atas dasar ini, beberapa perkara berikut wajib diambil sebagai ketentuan saat pencalonan khilafah setelah Khalifah sebelumnya lengser baik karena meninggal dunia atau di copot, yaitu :
1. aktivitas berkaitan dengan masalah pencalonan hendaknya dilakukan pada malam dan siang hari pertama.
2. Pembatasan calon dari sisi terpenuhinya syarat in’iqad. Hal ini dilakukan oleh Mahkamah Mazhalim.
3. Pembatasan jumlah calon yang layak dilakukan dua kali : pertama, dibatasi sebanyak enam orang, dan kedua dibatasi menjadi dua orang. Pihak yang melakukan dua pembatasan ini adalah Majelis Umat dalam kapasitasnya sebagai wakil umat. Karena umat mendelegasikan kepada Umar, lalu Umar menetapkannya enam orang. Dan enam orang itu mendelegasikan kepada Abdurrahman dan setelah melalui diskusi dibatasi menjadi dua orang. Referensi semua ini adalah sebagaimana yang sudah jelas adalah umat atau yang mewakili umat.
4. Wewenang amir sementara berakhir dengan berakhirnya proses baiat dan pengangkatan Khalifah, bukan dengan pengumuman hasil pemilihan. Suhaib belum berakhir kepemimpinannya dengan terpilihnya Utsman akan tetapi dengan selesainya baiat.
Sesuai dengan yang sudah dijelaskan, akan dikeluarkan undang-undang yang menentukan tata cara pemilihan Khalifah selama dua malam tiga hari. Undang-undang untuk itu telah dibuat dan akan selesai didiskusikan dan diadopsi pada waktunya nanti.
Ini jika sebelumnya terdapat Khalifah yang meninggal atau dicopot. … dan hendak direalisasikan Khalifah baru menggantikannya. Adapun jika sebelumnya belum terdapat Khalifah, maka wajib bagi kaum muslim menegakkan seorang Khalifah bagi mereka, untuk menerapkan hukum-hukum syara’ dan mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia. Kondisi itu seperti kondisi yang ada sejak lenyapnya Khilafah Islamiyah di Istanbul pada tanggal 28 rajab 1342 H bertepatan dengan 3 Maret 1924 M. Setiap negeri dari berbagai negeri yang ada di dunia Islam layak untuk membaiat Khalifah dan mengakadkan jabatan khilafah. Maka saat itu menjadi wajib bagi kaum muslim di seluruh negeri untuk membaiatnya dengan baiat taat. Yakni baiat keterikatan setelah terakadkan kepadanya dengan baiat penduduk negeri itu, asalkan negeri itu memenuhi empat syarat berikut :
1. Kekuasaan negeri itu haruslah kekuasaan yang bersifat independent yang hanya bersandar kepada kaum muslim saja. Tidak bersandar kepada satu negara kafir atau kekuasaan kafir manapun.
2. Keamanan kaum muslim di negeri itu adalah kemanan Islam, bukan keamanan kufur. Yakni hendaknya perlindungan baik dari dalam negeri maupun luar negeri merupakan perlindungan Islam berasal dari kekuatan kaum muslim sebagai kekuatan Islam saja.
3. Hendaknya penerapan Islam dilakukan secara langsung dan sekaligus dan secara sempurna sebagai penerapan yang bersifat revolusioner dan menyeluruh (tathbîqan inqilâbiyan syâmilan) dan langsung mengemban dakwah Islamiyah
4. Khalifah yang dibaiat harus memenuhi syarat in’iqad khilafah meskipun tidak memenuhi syarat afdhaliyah. Karena yang wajib adalah syarat in’iqad.
Jika negeri itu memenuhi keempat hal di atas, maka hanya dengan baiat negeri itu saja, khilafah sungguh telah terwujud dan terakadkan. Khalifah yang mereka baiat dengan baiat in’iqad secara sah merupakan Khalifah yang syar’i dan tidak sah baiat kepada yang lain.
Setelah itu, negeri lain manapun yang membaiat Khalifah yang lain maka baiat itu tidak sah dan batil. Karena Rasulullah saw pernah bersabda :
إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا اْلآخِرَ مِنْهُمَا
Jika dibaiat dua orang Khalifah maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya
… فُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ
.. penuhilah baiat yang pertama lalu yang pertama
مَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَ ثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اِسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرٌ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ اْلآخَرِ
Siapa saja yang telah membaiat seorang imam lalu ia telah memberikan genggaman tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia mentaatinya sesuai dengan kemampuannya, dan jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaannya maka penggallah orang lain itu (HR. Muslim)
Tata Cara Baiat
Telah kami jelaskan dalil-dalil baiat dan bahwa baiat adalah metode pengangkatan Khalifah dalam Islam. Adapun tata caranya, baiat bisa dilakukan dengan berjabat tangan dan bisa juga dengan tulisan. Abdullah bin Dinar telah menyampaikan hadits, ia berkata :
Aku menyaksikan Ibn Umar dimana orang-orang telah bersepakat untuk membaiat Abdul Malik bin Marwan, ia berkata bahwa dia menulis : “aku berikrar untuk mendengarkan dan mentaati Abdullah Abdul Malik bin Marwan sebagai amirul mukminin atas dasar kitabullah dan sunah rasul-Nya dalam hal yang aku mampu.”
Baiat itu boleh dilakukan dengan sarana apapun yang memungkinkan.
Hanya saja disyaratkan agar baiat itu dilakukan oleh orang yang sudah balig. Baiat tidak sah dilakukan oleh anak-anak yang belum baligh. Abu ‘Uqail Zuhrah bin Ma’bad telah menyampaikan hadits dari kakeknya Abdullah bin Hisyam yang pernah berjumpa dengan Nabi saw : Abdullah pernah dibawa ibunya Zainab binti Humaid, kepada Rasulullah saw. Ibunya berkata : “ya Rasulullah saw terimalah baiatnya!” Lalu Nabi saw bersabda : “ia masih kecil“. Dan beliau mengusap kepalanya dan mendoakannya (HR. Bukhari).
Adapun lafazh baiat, tidak disyaratkan terikat dengan lafazh-lafazh tertentu. Akan tetapi harus mengandung makna sebagai baiat untuk mengamalkan Kitabullah dan sunah Rasul-Nya bagi Khalifah dan harus mengandung makna kesanggupan untuk mentaati dalam keadaan sulit atau lapang, disenangi atau tidak disenangi bagi orang yang memberikan baiat. Nanti akan dikeluarkan undang-undang yang membatasi redaksi baiat sesuai penjelasan sebelumnya.
Manakala pihak yang membaiat telah memberikan baiatnya kepada Khalifah, maka baiat itu menjadi amanah diatas pundak pihak yang membaiat dan tidak diperbolehkan mencabutnya. Baiat ditinjau dari sisi pengangkatan khilafah merupakan hak yang harus dipenuhi. Jika baiat itu telah diberikan, maka ia wajib terikat dengannya. Kalau pihak yang memberikan baiat itu ingin menariknya kembali maka hal itu tidak diperbolehkan. Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dari Jabir bin Abdullah –radhiyaLlâh ‘anhu– bahwa seorang arab badui telah membaiat Rasulullah saw untuk menetapi Islam. Kemudian ia menderita sakit, lalu ia berkata : “kembalikan baiatku kepadaku!” Beliau menolaknya, lalu orang itu pergi. Lantas Beliau bersabda :
المدينة كالكبر تنفي خبثها، وينصع طيبها
“Madinah ini seperti tungku (tukang besi) yang bisa membersihkan debu-debu yang kotor dan membuat cemerlang yang baik.”
Diriwayatkan dari Nafi’ yang berkata : “Abdullah bin Umar pernah mengatakan kepadaku : “aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda :
من خلع يدا من طاعة لقي الله يوم القيامة لا حجة له
Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia pasti menjumpai Allah pada hari kiamat tanpa memiliki hujjah (HR. Muslim)
Membatalkan baiat kepada Khalifah sama artinya dengan melepaskan tangan dari ketaatan kepada Allah. Hanya saja ketentuan itu berlaku jika baiat kepada Khalifah itu adalah baiat in’iqad atau merupakan baiat taat kepada Khalifah yang telah sah baiat in’iqad kepadanya. Adapun jika baiat itu baru permulaan lalu baiat tersebut belum sampai sempurna, maka pihak yang membaiat boleh melepaskan baiatnya dengan syarat baiat in’iqad dari kaum muslim kepada Khalifah itu belum sempurna. Larangan dalam hadits itu berlaku untuk orang yang menarik kembali baiat Khalifah, bukan menarik kembali baiat kepada seseorang yang belum sempurna jabatan khilafahnya.
Alhamdulillah penjelasan ini semoga mampu memberi penjelasan yang bagi orang-orang yang tidak yakin akan kemampuan islam dalam memecahkan segala persoalan. Persoalannya memang banyak orang yang belum tahu terhadap sistem islam, karena islam hanya dipahami sebagai agama ritual sebagaimana agama yang lain.oleh karena itu bagi kita yang belum tahu harus mencari tahu pada ahlinya sehingga tidak salah dalam berkomentar padahal katanya kita sudah bergelar intelektual atau pakar. jazakallah
Bukti Islam Paripurna…
Memang benar, tidak boleh seseorang berkuasa kecuali atas dukungan rakyatnya. Bai’at mengandung unsur pengangkatan, pengakuan dan ketaatan. Suatu masyarakat pasti mempunyai suatu sistem. Sistem untuk mengatur urusan masyarakat. kemudian mereka mengangkat seorang yang disukai untuk mengurusi urusan mereka secara adil untuk kesejahteraan bersama.
Apakah bila rakyat berhasil mengangkat seorang yang dicintai menjadi pemimpin, kemudian pasti terjamin keadilan dan kesejahteraannya? BELUM TENTU! karena bisa saja sang pemimpin tidak punya kemampuan atau memang jenis aturan yang dia jalankan tidak adil dan tidak membuat sejahtera.
Jadi ada dua hal, yaitu sosok pemimpinnya dan sistem yang dia jalankan.
Kita ambil demokrasi untuk perhitungan. Tingkat keberhasilan demokrasi untuk mengangkat pemimpin yang dicintai dan disukai rakyat mungkin sampai 60-65%an. Namun tingkat keberhasilan demokrasi dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan adalah 20-25%. Dari mana ngitungnya? Bisa dilihat fakta di lapangan! Pemimpin negri ini yang sekarang adalah dipilih langsung, dan mayoritas memilih beliau. menurut perhitungan 3 dari 4 orang di Indonesia memilih beliau. ibaratnya kalo kita main tangkap empat orang dijalan, dan kita tanya, ternyata ada 3 orang dulu mencoblos beliau! Hebat kan? Kurang apanya coba?
Namun apakah setelah itu keadilan dan kesejahteraan terwujud? ternyata tidak! ketidak-adilan dan kesenjangan adalah hal pasti pada sistem kapitalis. Padahal rakyat awam lebih mementingkan sejahtera, dan tidak peduli siapa pemimpinya. Sedang para penjajah: “yang penting kapitalis, terserah kamu pemimpinya!”
Padahal kita mempunyai sitem khilafah, sebuah aturan yang berasal dari dzat yang maha adil dan maha tahu atas kebutuhan manusia. Dalam hal kukuasaan saja adalah sangat manusiawi. Tidak boleh seorang menjadi kholifah kecuali dibai’at rakyatnya. Islam ternyata mengakui bahwa kekuasaan ada di tangan rakyat.
Subhanallah..
bagus
Memang inilah yang seharusnya umat pahami, bagaimana mereka harus mengangkat seorang khalifah yang akan menerapkan syari’at Islam secara Kaffah, ternyata Islam sangatlah komplit dan mampu menyelesaikan segala masalah kehidupan. Agar hati dan pikiran kita menjadi tergetar untuk memperjuangkan dengah ghirah tanpa padam, maka takbirlah dengan getaran terpadu sekaligus. Takbir!!!
Bagaimana dg kasus pengangkatan khalifah Yazid bin Muawiyah? Dan bagaimana pula yang akhirnya menjadi dinasti turun temurun, apa bisa dicegah?
saudara tanggul itu semua adalah penyimpangan dlm kekhilafahan,yang salah adalah umatnya bukan islamnya,islam itu agama yang sempurna n kaffah.sehingga kejadian-oleh perbuatan manusia itu-tdk akan pernah bisa menghapus islam/syariatnya.kejadian yazid itu tdk akan mghpus dalil2 penegakan syariat islam,wallahu’alam
kalo ada prtayaan lnjutan silahkan kirim ke suprialbukhori@hotmail.com,mdh2an ana bisa bantu
kepemimpinan Rasul.. trus.. kholifah rosyidah berakhir, itu bisa dijadikan dalil. setelah itu kekhilafahan Islam selama 100th lebih, itu hanya contoh penerapannya. ih hebat ya, kalo mau nyari contoh penerapan, e terbentang selama 1300th.kebanyakan contoh dong?iya.mau contoh penyimpangan juga ada. Tuh Khalifah Yazid! Bahkan pernah lho, khalifah sempat 2 orang. Mungkin saking gedenya wilayahnya.Kalo jadi turun temurun mm gak menyimpang2 amat lah. Emang anak kholifah jadi kehilangan hak untuk mencalonkan dan dicalonkan. Yang penting metodenya tetap Baiat. umat ridho. Dan hati2 saudara, kalo kita menemukan individu kholifah berbuat dosa, itu adalah contoh penyimpangan kholifah sbg individu.bukan penyimpangan kebijakan Negara khilafah.kalo kita pinter nyari2 penyimpangan dengan teliti, mungkin banyak deh yg akan ditemukan. Namanya juga sejarah manusia.kalo banyak penyimpangan, lalu apa urusannya dengan kita.suruh menanggung dosanya?suruh membelanya?enak aja,emang kita jubirnya.Dan jangan kuatir, kalo bener2 menyimpang, Allah lebih tahu berapa dosa untuk mereka.kalo aku hidup di jaman2 itu ya pasti aku cegah lah.Dan noda2 itu kalo dikurskan dg 1300tahun, gak ada artinya Bung. Apalagi kalo dikurskan dengan kesejahteraan, kemakmuran, dan kemuliaan peradaban Islam di dunia.
Kita berjuang bukan untuk kemulian dinasti2 itu kok. Tapi untuk kemuliaan Islam dan Kaum Muslimin.
Dan sekarang, penyimpangan bahkan kemungkaran ada di depan kita. Dosa sistemik terus memberi infestasi pada kita semua. begitu besar problema umat dan hegemoni kekufuran. Adakah yang bisa mencegah itu semua secara tuntas selain dengan khilafah?
May God Bless U and me
Ilmu itu bila tidak diamalkan akan hilang berkahnya. Pantaslah di Indonesia tidak maju-maju baik moral maupun kesejahteraan sosial. mereka hanya bisa bicara, berbangga dengan Ilmu-ilmunya, tanpa mau menerapkan di masyarakat. katanya Mengerti Syariat Islam, tapi tidak dilakoni. bagai orang sakit tidak mau minum resep dokter, dan hanya berbangga dengan tulisan dokter itu.
Bukan pemerintahannya yang salah, bukan …
Tapi para pelakunya yang berhati busuk …
Ilmuan-ilmuanya yang hanya bisa berkoar-koar di Internet, Buku, dan Jalanan, serta Forum-forum seminar yang hasilnya hanya membuang-buang kertas yang tidak ada Tindak lanjutnya ….
Saya yakin anggota hizbut ada yang jadi Birokrasi, Pengusaha, Pendidik dsb. Terapkan sajalah Syariat itu dalam Kehidupan sehari-hari, dalam setiap amal perbuatan, dalam berinteraksi dengan publik, bahkan dalam setiap Nafas yang dihembuskan ….
Sampai kapankah Nikmat Allah Aza wa Jalla ini tidak disyukuri?! apakah sampai suara anda didengar oleh Presiden? apakah sampai DPR RI beranggotakan Islam semua? atau kita hanya bisa membaca sejarah kekuasaan Islam yang begitu Hebat dimasa Sahabat, tanpa bisa menarik inti sari/ Hikmah dibalik itu? sepertinya kita tidak jauh beda dengan “Monyet Ngagugulung Kalapa”
Syariat Islam itu adalah Anugerah dari Allah SWT, inilah jalan lurus yang diberikan Allah SWT kepada manusia agar bisa bertemu dengan-Nya. bagai buah kelapa, kita Harus memetiknya di pohon, mengupas sabutnya, memecah botoknya, mengambil dagingya lalu diparut, memeras santannya, dididihkan diwajan panas sekian lama, barulah jadi Minyak Kelapa, dan itulah Hikmahnya.
Sudah sampai manakah kita? Kita baru bisa memandang Buah itu dibawah pohon, sambil Ngoceh : “Katanya kalo pengen buat Minyak Kelapa harus gini, gitu, terus begitu, begini…”
Naiklah sekarang, Petiklah segera … Raihlah Keridhoan dan Keberkahan Allah, dengan-Nya, Oleh-Nya dan dari-Nya.
SUBHANALLAH,ALHAMDULILLAH ALLAHUAKBAR…Sungguh luar biasa kejernihan pemikiran HTI yang digali dari Syariah Islam. Ya inilah bentuk pertolongan Allah kepada kita bahwa masih ada para insan kamil yang penuh perjuangan membawa cahaya Allah untuk dibagi kepada umat. SEMOGA ALLAH SELALU MENGUATKAN LANGKAH PERJUANGAN INI.AMIN
Tapi kenapa jabatan khalifah tdak dibatasi waktunya?Itu kan bisa membuat khalifah menjadi diktator.Dan bagaimana bila ada sekelompok orang menolak memba’iat khalifah atau memilih menjadi oposisi?
Pembatasan waktu bukan jaminan jadi baik dan buruknya penguasa. Pertanyaannya, apakah tidak rugi umat, jika kholifahnya kebaikan dan keadilannya seperti Abu Bakar, Umar bin Khottah, Umar bin Abdul Aziz dll kemudian hanya dibatasi 4-5 th sj? Betapa ruginya umat jika kepala negaranya seorang koruptor, penindas, perampas hak-hak rakyat jika untuk menggantinya menunggu pemilu 5 tahunan, mana bisa tahaaa….n? Dalam sistem Islam, ada mekanisme pemberhentian seorang Kholifah jika dia terbukti nyata-nyata melakukan tindak kekufuran yang dapat dibuktikan didepan mahkamah pengadilan, maka pada saat itu juga dia diberhentikan. Tidak ikut baiat in’iqod (pengangkatan) gak jadi soal. Tapi, jika Kolifah telah sempurna pengangkatannya, maka wajib untuk ta’at (baiatut tho’at). Jika tidak taat, bisa dihukumi bughot (pembrontak). Meski wajib taat, tetapi kita juga masih harus senantiasa melakukan muhasabah (koreksi) jika Kholifah menyimpang. Koreksi bukan untuk menjatuhkan layaknya yang dilakukan partai oposisi, tetapi agar Kholifah tetap berpegang pada Syariat. Gituuu…
subhanallah beda sekali dengan sistem sekarang…masihkah kita ragu dengan sistem ke-Khilafahan???saatnya bangkit dan berubah
Tks, atas penjelasan tsb, semoga yang kita citakan bisa tercapai,amien…
Syukron bwt penjelasannya.
Sepakat untuk bertabiat.
Mari kita tegakkan syariat bersama. Ok!
Alhamdulillah kini telah jelas sudah landasan perjuangan yang sudah digariskan oleh Allah SWT dan telah dicontohkan oleh Rasul-Nya tinggal kita untuk meleksanakannya dan raih janji Allah. Allahuakbar
Allahu akbar!
kalau ada yang bisa menerangkan saya ingin bertanya, bagaimana jika dari hasil rapat yang menetapkan calon pemimpin ternyata umat tidak ridho jalan apa yang akan ditempuh, bagaimana jika beberapa calon khilafah memiliki pemdukung sendiri sendiri dan ngotot untuk mencalonkan diri…
apakah bisa diberlakukan seperti sistem pemilu di Indonesia..
For all Islam fighter, just do it, Talk less do more!!! No more space for liberalism when Khilafah raise!Let’s unite N fight together!
Subhanallooh…alhamdulillah.penerapan islam kaaffah adalah solusi bagi manusia,,
Kalau mau teratur dam sejahtera,,ya tinggal laksanakan aja perintah Tuhan Yang Maha Tahu dan Maha Pengatur..dalam segala aspek kehidupan tentunya, tanpa pilih-pilih.
Mau bukti,??? liat aja alam sekitar kita..mereka diatur dan tunduk kepada ketentuan pencipta-Nya. walhasil,, bumi berputar pada porosnya,bulan ga babrak bumi..sel darah makhluk hidup tetap mau menyalurkan sari makanan pada sel-sel lainnya.(coba kalau mereka pelit karena menyimpang dari aturan Tuhan??!!) YUPZ..kita pun harus patuh sama aturan Tuhan dalam seluruh aspek kehidupan, yang aturannya sudah disediakan dalam Al-Quran dan As-sunah…
setuju
bagus
lanjutkan
lebih cepat,lebih baik
cepat tegak dan kami tunggu
tegak lalu menang bukan tegak lalu padam
Yang mencari aturan diluar dari aturan yang telah ditetapkan ALLAH SWT, berarti kuffur… Mudah-mudahan kita terhindar dari ketentuan tersebut. Insya Allah
Terjawab sudah semua pertanyaan seputar mekanisme pengangkatan khalifah. mudah-mudahan bisa memberikan pencerahan kepada seluruh masyarakat yang selama ini merindukan diangkatnya seorang khalifah. Inipun membuktikan
keJernihan, keCemerlangan dan begitu komprehensifnya pemikiran Islam.
Subhanallah walhamdulillah, sekarang tinggal bersatu antara jama’ah2 yang ada di dunia, jangan sampai orang2 yang tidak menginginkan khilafah memanfaatkan kesempatan ini dengan cara memecah belah ummat dengan menggunakan permasalahan yang timbul dari ummat itu sendiri.
NB; mohon bagi yang punya informasi, data2 & dalil tentang apakah Rasul saw berpolitik atau tidak. tlg kirim ke email sy : dewangga.06@gmail.com
jadi dalam 3 atau periode khalifah sistem baiat berbeda-beda ?
jadi dalam 3 atau 4 periode khalifah, sistem baiat berbeda-beda ?
noleh ke belakang terus… jaman dah berubah, harus ada terobosan metode baru, dulu dikalangan umat islam jumlah munafikin masih sedikit sekarang jumlah mukminin yang sedikit, dulu ga ada TV yang dengan bebasnya bersuara kebatilan, dulu kekuatan militer dipegang mukminin, sekarang dipegang munafikin dan kafirin… apa ga ada metode HTI yang nyata2 bisa diterapkan saat ini agar bisa dapat khalifah yang hanya takut kepada ALLAH.
na’am…………….
Mari tegakkan hukum yang berbasis islam,. selama ini hukum di indonesia amburadul karena menganut ideologi barat yang liberal dan tek bermoral…
insyaallah…