Metode Pemilihan, Penetapan, dan Pemberhentian Khalifah

Dalam setiap sistem pemerintahan, terdapat metode dan mekanisme dalam suksesi kepemimpinan. Metode tersebut erat kaitannya dengan konsep kedaulatan (al-siyâdah) dan kekuasaan (al-sulthân). Kedaulatan berkaitan dengan otoritas pembuat hukum yang harus ditaati seluruh warga negara. Sedangkan kekuasaan berkenaan dengan pihak yang menjadi pelaksana dan penegak hukum.

Dalam sistem kerajaan misalnya, raja menjadi pemegang kedaulatan dan kekuasaan sekaligus. Dialah yang memiliki otoritas sebagai pembuat hukum sekaligus penentu siapa yang menjadi penggantinya. Dalam hal ini, raja mengangkat ‘putra mahkota’, yang biasanya berasal dari keturunannya.

Sedangkan dalam sistem republik pemegang kedaulatan dan kekuasaan adalah rakyat. Konsekuensinya, semua hukum dan undang-undang menjadi otoritas parlemen yang dianggap menjadi representasi rakyat. Rakyat pula yang berhak memilih presiden atau kepala negaranya. Pemilihan itu bisa dilakukan secara langsung oleh rakyat, bisa juga oleh parlemen.

Lalu, bagaimana mekanisme suksesi dalam sistem khilafah?

Umat Sebagai Pemegang Kekuasaan

Dalam sistem khilafah, antara kedaulatan (al-siyâdah) dan kekuasaan (al-sulthân) dibedakan secara tegas. Kedaulatan dalam khilafah Islamiyyah ada di tangan syara’. Sebab, Islam hanya mengakui Allah Swt satu-satunya pemilik otoritas untuk membuat hukum (al-kim) dan syariat (al-musyarri’), baik dalam perkara ibadah, makanan, pakaian, akhlak, muamalah, maupun uqûbût (sanksi-sanksi). Islam tidak memberikan peluang kepada manusia untuk menetapkan hukum, meski satu hukum sekalipun. Justru manusia, apa pun kedudukannya, baik rakyat atau khalifah, semuanya berstatus sebagai mukallaf (pihak yang mendapat beban hukum) yang wajib tunduk dan patuh dengan seluruh hukum yang dibuat oleh Allah Swt (lihat QS al-Nisa’: 59-65, 105, 115; al-Maidah: 44-50).

Sedangkan kekuasaan diberikan kepada umat. Artinya, umatlah yang diberi hak untuk menentukan siapa yang menjadi penguasa yang akan menjalankan kedaulatan syara’ itu. Tentu saja, penguasa atau pemimpin yang dipilih harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan syara’. Kepala negara tersebut harus memenuhi syarat sah (syurûth al-in’iqâd) harus Muslim, baligh, berakal, laki-laki, merdeka, adil, dan mampu menjalankan tugas kekhilafahan.

Bahwa kekuasaan ada di tangan umat dipahami dari ketentuan syara’ tentang baiat. Dalam ketentuan syara’, seorang khalifah hanya bisa memiliki kekuasaan melalui bai’at. Berdasarkan nash-nash hadits, baiat merupakan satu-satunya metode yang ditentukan oleh syara’ dalam pengangkatan khalifah.

Hadits-hadits yang berkenaan dengan bai’at menunjukkan bahwa bai’at itu diberikan oleh kaum Muslim kepada khalifah, bukan oleh khalifah kepada kaum muslimin. Dari Ubadah bin Shamit ra, ia berkata:

بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْعُسْرِ وَالْيُسْرِ وَالْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَعَلَى أَثَرَةٍ عَلَيْنَا

Kami membai’at Rasulullah saw untuk setia mendengarkan dan mentaati perintahnya, baik dalam keadaan susah maupun mudah, baik dalam keadaan yang kami senangi atau pun kami benci, dan benar-benar kami dahululukan (HR Muslim).

Diriwayatkan dari Jarir bin Abdullah ra, ia berkata:

بَايَعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى إِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ

Saya membaiat Rasulullah saw untuk mendirikan shalat, membayar zakat, dan memberikan nasihat kepada seluruh muslim (HR al-Bukhari).

Berdasarkan hadits-hadits tersebut seorang khalifah mendapatkan kekuasaan semata-mata dari umat melalui bai’at. Bahkan Rasulullah saw, meskipun beliau berkedudukan sebagai rasul, tetap saja mengambil baiat dari umat, baik dari laki-laki maupun perempuan. Demikian juga yang dipraktikkan oleh al-khulafâ’ al-râsyidûn. Mereka semua menjadi khalifah setelah mendapatkan baiat dari umat.

Ketentuan baiat tersebut menunjukkan bahwa Islam telah menjadikan kekuasaan di tangan umat. Sehingga umat berhak mengangkat siapa saja yang mereka pilih dan mereka baiat untuk menjadi khalifah. Dalam akad baiat tersebut, kekuasaan yang dimiliki umat itu diserahkan kepada khalifah untuk mengatur urusan rakyat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Dalam hal ini, khalifah merupakan wakil umat untuk menjalankan hukum Islam (kedaulatan syara’) dalam kehidupan bernegara, bukan untuk menjalankan kedaulatan rakyat sebagaimana sistem sekular-demokrasi.

Sebagai pemimpin yang telah dibaiat oleh umat, mereka memiliki kekuasaan yang wajib ditaati. Terdapat banyak dalil yang menunjukkan wajibnya ketaatan kepada khalifah. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Ash ra, bahwa dia pernah mendengarkan Rasulullah saw bersabda:

وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ

Siapa saja yang telah membai’at seorang imam, lalu ia memberikan uluran tangan dan buah hatinya, hendaklah mentaatinya jika mampu. Apabila ada orang lain yang hendak merebutnya maka penggallah leher orang itu (HR Muslim dan Abu Daud).

Juga dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw bersabda:

مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنْ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

Barang siapa yang membenci sesuatu dari pemimpinnya, hendaklah dia bersabar. Sebab, tiada seorang pun keluar (memberontak) dari penguasa sejengkal saja kemudian mati dalam keadaan demikian, maka dia mati seperti mati jahiliyyah (HR al-Bukhari).

Jelaslah bahwa dalam kaidah sistem pemerintahan Islam, kekuasaan ada di tangan syara’.

Metode Pengangkatan Khalifah

Selain menetapkan umat sebagai pemilik kekuasaan, syara’ juga menetapkan metode pengangkatan khalifah. Metode tersebut adalah dengan bai’at. Kesimpulan ini didasarkan pada baiat kaum Muslim kepada Rasulullah saw dan perintah beliau kepada kita untuk membaiat seorang khalifah. Baiat kaum Muslim kepada Rasulullah saw bukanlah baiat atas kenabian, tetapi baiat atas pemerintahan. Masalah baiat ini juga tercantum dalam al-Quran dan al-Sunnah.

Allah Swt berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لَا يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِينَ وَلَا يَقْتُلْنَ أَوْلَادَهُنَّ وَلَا يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ وَلَا يَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ لَهُنَّ اللَّهَ

Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka (QS al-Mumtahanah [60]: 12).

Imam al-Bukhari meriwayatkan Hadits dari Ubadah bin al-Shamit yang mengatakan:

بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ وَأَنْ نَقُومَ أَوْ نَقُولَ بِالْحَقِّ حَيْثُمَا كُنَّا لَا نَخَافُ فِي اللَّهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ

Kami telah membaiat Rasulullah saw agar mendengar dan menaatinya, baik dalam keadaan senang maupun yang tidak disenangi; dan agar kami tidak mengambil kekuasaan dari orang yang berhak; dan agar kami mengerjakan atau mengatakan yang haqq di mana saja kami berasa, tidak takut kepada Allah kepada celaan orang yang suka mencela (HR al-Bukhari).

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Ash ra, bahwa dia pernah mendengarkan Rasulullah saw bersabda:

وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ

Siapa saja yang telah membai’at seorang imam, lalu ia memberikan uluran tangan dan buah hatinya, hendaklah mentaatinya jika mampu. Apabila ada orang lain yang hendak merebutnya maka penggallah leher orang itu (HR Muslim dan Abu Daud).

Dalam hadits lain, Rasulullah saw juga bersabda:

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ

Dahulu Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap nabi meninggal, digantikan oleh nabi berikutnya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku. Tetapi nanti akan ada banyak khalifah. Para Sahabat bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Penuhilah baiat yang pertaama, dan yang pertama saja. Berikanlah hak mereka, sesungguhnya Allah akan memintai pertanggungjawaban terhadap urusan yang dibebeankan kepada mereka” (HR al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, dengan alafadz al-Bukhari).

Juga Hadits yang yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi Sa’id al Khudri dari Rasulullah saw yang bersabda:

إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا

Apabila dibai’at dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya” (HR Muslim).

Nash-nash al-Quran dan al-Sunnah tersebut menunjukkan bahwa baiat merupakan satu-satunya metode pengangkatan khilafah. Para sahabat telah memahami perkara tersebut. Bahkan mereka telah mempraktikkannya dalam pengangkatan al-khulafâ’ al-râsyidûn.

Prosedur Praktis Pengangkatan dan Pembaitan Khalifah

Prosedur dpraktis pengangkatan dan pembaitan khalifah dapat dilaksanakan dlam bentuk yang berbeda-beda. Prosedur ini sebagaimana pernah dipraktikkan dalam al-khulafâ’ al-râsyidûn. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali radhiyallah ‘anhum. Seluruh sahabat mendiamkan dan menyetujui tata cara itu. Padahal, tatacara itu termasuk dalam perkara yang harus diingkari seandainya bertentangan dengan syariah. Sebab, perkara tersebut berkaitan dengan perkara terpenting yang menjadi sandaran keutuhan institusi kaum Muslim dan kelestarian pemerintahan yang melaksanakan hukum Islam.

Pengangkatan Abu Bakar ra sebagai khalifah dihasilkan dari hasil musyawarah sebagian kaum Muslim di Saqifah Bani Sa’idah. Pada saat itu, yang dicalonkan adalah Sa’ad bin Ubadah, Abu Ubaidah bin al-Jarrah, Umar bin al-Khaththab, dan Abu Bakar. Hanya saja, Umar bin al-Khaththab dan Abu Ubaidah tidak bersedia menjadi pesaing Abu Bakar sehingga seakan-akan pencalonan itu hanya terjadi di antara Abu Bakar dan Saad bin Ubadah saja. Bukan yang lain. Dari hasil musyawarah itu, dibaiatlah Abu Bakar. Pada hari kedua kaum Muslim diundang ke Masjid Nabawi untuk membaiat Abu Bakar. Dengan demikian, baiat di Saqifah adalah bai’at in’iqãd yang mengangkat Abu Bakar menjadi Khalifah. Sementara baiat pada hari kedua merupakan baiat taat.

Ketika Abu Bakar merasa bahwa sakitnya akan mengantarkannya pada kematian dan pasukan Muslim sedang berada medan perang melawan negara besar (Persia dan Romawi), beliau memanggil kaum Muslim untuk meminta pendapat mereka mengenai siapa yang akan menjadi khalifah sepeninggalnya. Proses pengumpulan pendapat itu berlangsung selama tiga bulan. Setelah Abu Bakar telah selesai meminta pendapat kaum Muslim, beliau pun mengetahui pendapat mayoritas yang menghendaki Umar sebagai penggantinya. Maka Abu Bakar menunjuk Umar untuk menjadi khaifah sesudahnya. Penunjukan atau pencalonan itu bukanlah merupakan akad pengangkatan Umar sebagai khalifah. Sebab, sesudah wafatnya Abu Bakar, kaum Muslim datang ke masjid dan tetap membaiat Umar untuk memangku jabatan kekhilafahan. Artinya, dengan baiat inilah Umar sah menjadi kaum Muslim. Bukan dengan proses pengumpulan pendapat kaum Muslim. Juga bukan dengan proses penunjukan oleh Abu Bakar. Seandainya pencalonan oleh Abu Bakar merupakan akad kehilafahan kepada Umar, tentu tidak diperlukan baiat kaum Muslim. Apalagi terdapat nash-nash yang telah disebutkan sebelumnya yang menunjukkan secara jelas bahwa seseorang tidak akan menjadi khalifah kecuali melalui baiat kaum Muslim.

Ketika Umar tertikam, kaum Muslim meminta beliau menunjuk penggantinya. Akan tetapi, Umar menolaknya. Karena terus didesak, Umar pun menunjuk enam orang yang bermusyawarah mengenai khalifah penggantinya. Keenam orang itu adalah Ali bin Abi Thalib, Utsman bin ‘Affan, Abdurrahman bin ‘Auf, Thalhab bin Ubaidillah, Zubair bin al-Awwam, dan Saad bi Abi Waqash. Beliau juga menunjuk Suhaib untuk mengimami masyarakat dan memimpin enam orang yang telah dicalonkan itu hingga terpilih seorang khalifah dari mereka. Mereka diberikan jangka waktu tiga hari untuk membuat keputusan. Beliau berkata kepada Suhaib, “Jika lima orang telah bersepakat, dan meridhai seseorang (untuk menjadi khalifah), sementara satu orang yang lain menolaknya, maka penggallah leher orang itu dengan pedang.” Kemudian Umar menunjuk Abu Thalhah al-Anshari bersama lima puluh orang lainnya untuk mengawal mereka. Beliau memilih Miqdad untuk memilih tempat bagi para calon itu untuk mengadakan pertemuan.

Setelah Umar wafat dan setelah para calon berkumpul Abdurrahman bin ‘Auf berkata, “Siapakah di antara kalian yang mau mengundurkan diri dan bersedia menyerahkan urusannya untuk dipimpin oleh orang yang terbaik di antara kalian?” Semua diam. Lalu Abdurrahman bin ‘Auf berkata, “Aku mengundurkan diri.”

Abdurrahman mulai meminta pend pat mereka satu-persatu. Ia menanyai mereka, seandainya perkara itu diserahkan kepada masing-masing, siapa di antara mereka yang lebih berhak. Akhirnya jawabannya terbatas pada dua orang: Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin ‘Affan. Setelah itu, Abdurrahman mulai merujuk pendapat kaum Muslim dan menanyai siapa di antara kedua orang itu (Ali dan Utsman) yang mereka kehendaki. Ia menanyai baik laki-laki maupun perempuan dalam rangka menggali pendapat masyarakat. Abdurrahman melakukannya bukan hanya siang hari, tetapi juga malam hari.

Imam al-Bukhari mengeluarkan riwayat dari jalan al-Miswar bin Mukhrimah yang berkata, “Abdurrahman mengetuk pintu rumahku pada tengah malam, ia mengetuk pintu hingga aku terbangun. Ia berkata,”Aku melihat engkau banyak tidur. Demi Allah, janganlah kalian banyak tidur mengabiskan tiga hari ini –yakni tiga malam—dengan banyak tidur.” Ketika orang-orang melaksanakan subuh, maka sempurnalah pembaitan Utsman. Dengan baiat kaum Mukmin itulah Utsman menjadi khalifah. Bukan dengan penetapan Umar kepada enam orang tersebut.

Sesudah Utsman bin ‘Affan terbunuh, mayoritas kaum Muslim di Madinah dan Kufah membaiat Ali bin Abi Thalib. Dengan baiat kaum Muslim itu pula Ali menjadi khalifah.

Bertolak dari tatacara pembaiatan al-khulafâ’ al-râsyidûn para sahabat itu, dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang dicalonkan itu diumumkan kepada masyarakat. Di samping itu, syarat in’iqãd terpenuhi pada masing-masing calon. Kemudian di ambilalih pendapat Ahli Halli wa al-aqdi di antara kaum Muslim, yaitu yang merepresentasikan umat. Mereka merepresentasikan umat ini telah dikenal luas pada masa al-khulafâ’ al-râsyidûn. Siapa saja yang dikehendaki sahabat atau mayoritas para sahabat untuk dibaiat dengan in’iqãd, yang dengan itu ia menjadi khalifah, maka kaum Muslim wajib membaiat mereka dengan baiat taat. Demikianlah proses terwujudnya khilafah yang menjadi wakil umatdalam menjalankan pemerintahan dan kekuasaan.

Inilah yang dapat dipahami dari apa yang terjadi pada proses pembaiatan al-khulafa’ al-rasyidun –semoga Allah meridhai mereka. Selain itu, ada dua perkara lain yang dapat dipahami pencalonan Umar kepada enam orang dan dari prosedur pembaiatan Utsman. Dua perkara itu adalah: (1) adanya amir atau pemimpin sementara selama masa penngangkatan khalifah yang baru, dan (2) pembatasan calon sebanyak enam orang sebagai batasan maksimal.

Masa Kepemimpinan Khalifah

Dalam sistem khilafah, jabatan khalifah tidak memiliki periode tertentu atau dibatasi dengan waktu tertentu sebagaimana dalam sistem republik. Selama khalifah tidak kehilangan syarat in’iqãd, berpegang teguh kepada syariah, menerapkan hukum-hukumnya, serta mampu melaksanakan berbagai urusan negara dan tanggung jawab kekhilafahan, maka ia tetap sah menjadi khalifah. Hal ini didasarkan peda riwayat Imam al-Bukhari dari Anas bin Malik, dari Nabi saw bahwa beliau bersabda:

اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنْ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ

Dengar dan taatlah pemimpin kalian sekalipun yang memimpin adalah seorang budak hitam yang kepalanya seperti dipenuhi bisul (HR al-Bukhari).

Dari Nafi’ bin Abdullah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:

السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ

Mendengar dan taat kepada seorang (pemimpin) muslim wajib dalam hal yang disulai atau dibenci selama tidak diperintahkan maksiat. Apabila diperintahkan maksiat, maka tidak boleh mendengar dan taat (HR al-Bukhari).

Di samping itu, al-khulafâ’ al-râsyidûn`masing-masing telah dibaiat secara mutlak sebagaimana yang terdapat dalam sejumlah hadits. Kekhilafahan mereka tidak dibatasi dengan masa tertentu. Masing-masing dari al-khulafâ’ al-râsyidûn memimpin sejak dibaiat sampai wafat. Dengan demikian, ini merupakan ijma’ sahabat yang menunjukkan bahwa kekhilafahan tidak mempunyai masa tertentu, tetapi bersifat mutlak.

Pemberhentian Khalifah

Syara’ memang telah memberikan hak bagi umat memilih dan mengangkat khalifah. Akan tetapi, umat tidak berhak memberhentikannya selama akad baiat kepadanya dilaksanakan secara sempurna berdasarkan ketentuan syara’. Kendati demikian, bukan berarti khalifah tidak dapat berhentikan apa pun keadaannya.

Syara’ telah menjelaskan keadaan-keadaan tertentu yang khalifah dinyatakan berhenti secara otomatis, seperti hilangnya syarat-syarat sah khilafah pada dirinya. Di antara syarat sah khalifah adalah Muslim. Apabila seorang khalifah murtad, maka harus diturunkan. Demikian pula jika gila total yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya, atau ditawan musuh yang tidak mungkin bisa melepaskan diri. Sebab, syarat sah khalifah adalah berakal dan merdeka.

Di samping itu, dijelaskan pula keadan-keadaan tertentu yang khalifah harus diberhentikan oleh mahkamah madzãlim, seperti ketika ia tidak dapat melaksanakan tugasnya karena suatu sebab atau kehilangan ‘adâlah-nya, yaitu telah melakukan kefasikan secara terang-terangan.

Termasuk pula jika seorang khalifah menampakkan kekufuran yang nyata, semisal hendak mengubah undang-undang negara yang berasal dari syariah menjadi undang buatan manusia. Dari ‘Auf bun Malik, bahwa Rasulullah saw bersabda:

خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ

Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian; mereka mendoakan kalian, kalian pun mendoakan mereka. Seburuk-buruknya pemimpin adalah kalian benci mereka dan mereka pun membeci kalian, kalian laknat mereka dan mereka pun melaknat kalian. Ditanyakan kepada beliau, “Apakah tidak kami perangi saja mereka dengan pedang?” Rasulullah saw menjawab, “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat di tengah-tengah kalian.” (HR Muslim).

Yang dimaksud dengan ‘menegakkan shalat’ dalam hadits ini adalah menegakkan hukum-hukum Islam. Ini sejalan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari Ubadah bin al-Shamit. Bahwa kekuasaan harus dicabut dari penguasa yang menampakkan kekufuran yang nyata. Dari ‘Ubadah bin al-Shamit ra, berkata:

بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ

Kami membaiat untuk mendengar dan taat dalam yang kami senangi atau kami benci, keadaan lapang atau sempit, benar-benar kami prioritaskan, dan tidak mencabut kekuasaan dari pemegangnya, kecuali “kamu melihat kekufuran yang nyata, yang kalian memiliki dalil jelas dari Allah (HR Muslim).

Tatkala hukum Islam tidak tegakkan, bisa dipastikan akan menegakkan hukum selainnya. Selain hukum Islam adalah hukum kufur. Menelantarkan hukum Islam dan menegakkan hukum kufur merupakan kekufuran yang nyata.

Ketika Khilafah Belum Tegak

Ketentuan pengangkatan khalifah di atas berlaku pada saat khalifah sudah ada, kemudian meninggal atau diberhentikan. Apabila sebelumnya belum ada khalifah, maka wajib bagi kaum Muslim mengangkat seorang khalifah bagi mereka untuk menerapkan hukum syariah dan mengemban dakwah ke seluruh dunia

Dalam keadaan demikian, jika suatu wilayah di wilayah dunia Islam ini telah membaiat seorang khalifah dan akad kekhilafahan telah terwujud padanya, maka menjadi kewajiban bagi kaum Muslim di berbagai wilayah lainnya untuk membaiat dengan baiat taat atau baiat in’iqãd. Ini berlaku setelah terwujud akad kekhilafahan pada khalifah yang baru tersebut dengan baiat di negerinya. Hanya saja, negeri tersebut harus memenuhi empat syarat berikut:

  1. Kekuasaan negeri itu merupakan kekuasaan yang hakiki atau bersifat independen, yang hanya bersandar pada kaum Muslim saja. Tidak bersandar kepada suatu negara kafir atau suatu kekuasaan kafir mana pun.
  2. Keamanan kaum Muslim di negeri itu adalah keamanan Islam, bukan keamanan kufur. Artinya, perlindungan negeri itu, baik dalam negeri maupun luar negerinya, merupakan perlindungan Islam. Yakni, berasal dari kekuatan kaum Muslim yang dipandang sebagai kekuatan Islam saja.
  3. Negeri itu mengawali secara langsung penerapan Islam secara total, sekaligus, dan menyeluruh serta langsung mengemban dakwah Islamiyyah.
  4. Khalifah yang dibaiat harus memenuhi syarat-syarat in’iqãd. Kekilafahan meskipun tidak memenuhi syarat afdhaliyyah, karena yang wajib hanya syarat in’iqãd.

Jika negeri itu memenuhi keempat hal di atas, maka dengan baiat negeri itu saja khilafah sesungguhnya telah terwujud dan akad kekhilafahan telah terjadi. Dalam hal ini, khalifah yang telah dibaiat dengan baiat in’iqãd, secara sah merupakan khalifah yang sesuai dengan syariah sehingga pembaiatan kepada yang lain itu menjadi tidak sah. Dengan demikian, negeri mana pun yang membaiat seorang khalifah lain setelah itu adalah batil dan tidak sah. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi Sa’id al Khudri dari rasulullah saw yang bersabda:

إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا

Apabila dibai’at dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya” (HR Muslim).

Hadits ini menjelaskan, bahwa ketika negara tidak memiliki khalifah — baik karena meninggalnya khalifah, karena diberhentikan maupun berhenti secara otomatis — lalu dibai’at dua orang untuk menduduki kekhilafahan, maka yang paling akhir di antara kedua orang tersebut wajib dibunuh, apalagi kalau diberikan lebih dari dua orang. Ini juga merupakan kinãyah (kiasan) terhadap larangan adanya pembagian negara khilafah, yang juga berarti mengharamkan negara khilafah menjadi banyak negara, bahkan mewajibkan tetap hanya satu negara.

Demikianlah metode pemilihan, pengangkatan, dan pemberhentian kepala negara dalam sistem khilafah. Wal-Lãh a’alam bi al-shawãb. (Rokhmat S. Labib, M.E.I. – Ketua lajnah tsaqafiyyah)

5 comments

  1. Assalamu’alaikum Wr.Wb.
    Kalau demikian waduh hebat bener ya,kok kaum muslimin sendiri mayoritas di indonesia khususnya tidak mau dengan cara seperti yang Islam contohkan. Heran !!

  2. Assalamu’alaikkum
    Sebagai muslim yang terus haus akan pahala Allah. Maka ia akan terus menerus mencari kebenaran. salah satunya adalah tegaknya khilafah. jadi hai para muslimin. jangan ragukan khilafah. mari kita berlomba-lomba untuk menjadi manusia yang bertakwa

  3. alfatihreborn

    hmmm….2012 will we have the new khalifah!?? I’m not patient

  4. mari tegakkan syariat islam dan khilafah!!!!!! jangan lupa juga sebelum khilafahnya jadi persiapin dulu kaum muslimnya dengan baik

  5. Assalamu’alaikum
    Semangat!!! Semangat!!! Semangat!!!
    semoga para pejuang syari’at dan khilafah tetap istiqamah dalam pendiriannya dan jangan sampai tergoda oleh tipu muslihat syetan yang terkutuk…..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*