[Al-Islam 463] Korupsi saat ini telah dianggap sebagai kejahatan luar biasa. Apalagi di negeri ini, korupsi boleh dikatakan telah berlangsung secara sistemik dan mendarah daging. Karena itu, tentu diperlukan upaya luar biasa untuk memberantasnya.
Ada harapan besar saat ditetapkan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diubah dengan UU No. 20 tahun 2001. Berdasarkan UU tersebut lalu disahkan UU No. 30 tahun 2002 tentang pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sejak saat itu penanganan korupsi dilakukan dalam dua jalur yang berbeda. Jalur pertama ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan; kasusnya diadili oleh pengadilan umum, yaitu di Pengadilan Negeri. Jalur kedua ditangani oleh KPK; biasanya adalah korupsi kelas kakap, yaitu minimal merugikan negara 1 miliar rupiah dan kasusnya diadili di Pengadilan Tipikor. Pengadilan Tipikor sendiri dibentuk berdasarkan pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Namun kemudian, ada pengajuan judicial review (peninjauan kembali) ke MK terkait Pengadilan Tipikor ini. MK memutuskan bahwa Pengadilan Tipikor inkonstitusinonal karena UUD 45 menyatakan hanya ada empat jenis peradilan: peradilan umum; peradilan agama; peradilan militer; dan peradilan tata usaha negara. Selanjutnya MK dalam putusannya nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tertanggal 19 Desember 2006 itu memberikan waktu tiga tahun untuk membentuk UU Pengadilan Tipikor sebagai pengadilan khusus dan satu-satunya sistem tindak pidana korupsi. Tenggat itu akan habis pada 19 Desember 2009 mendatang.
Jika sampai tanggal itu UU Pengadilan Tipikor tidak ada maka penangangan kasus korupsi akan kembali ditangani oleh peradilan umum. Jika itu terjadi, banyak pihak menilai itu artinya meredupnya kembali spirit pemberantasan korupsi. Sebab, dasar pertimbangan dibentuknya KPK—dan berikutnya Pengadilan Tipikor—seperti dinyatakan oleh UU No. 30 Tahun 2002 adalah karena pemberantasan tindak pidana korupsi belum bisa dilaksanakan secara optimal, juga karena lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien.
Selain itu, catatan penanganan kasus korupsi oleh peradilan umum selama ini juga dinilai mengecewakan di tengah masih maraknya mafia peradilan. Dalam dalam catatan PuKAT Korupsi FH UGM, 20 kasus yang telah divonis selama periode Januari hingga Juni 2008 menunjukkan betapa tidak seriusnya penanganan korupsi oleh pengadilan umum. Dari total 20 kasus tersebut, 14 kasus ditangani oleh pengadilan tipikor dan 6 di antaranya ditangani oleh pengadilan umum. Keseluruhan kasus yang ditangani oleh pengadilan tipikor divonis bersalah. Dari 14 kasus yang divonis, rata-rata hukumannya 4,32 tahun. Di pengadilan umum, 4 perkara dari total 6 diputus bebas; putusan bebas seluruhnya dikeluarkan oleh pengadilan tinggi dan dua lainnya diputus terbukti korupsi. Artinya, 2/3 (66,7%) dari kasus korupsi yang diadili di pengadilan umum diputus bebas, hanya 1/3 (33,3%) yang divonis bersalah.
Adapun menurut peneliti ICW, Febri Diansyah, rezim peradilan umum telah gagal dalam memberikan efek jera melakukan pemberantasan korupsi. Disebutkan dari Januari-Juli 2008, setidaknya ada 104 terdakwa korupsi bebas dari 196 yang terpantau dalam sidang di peradilam umum. "Artinya, 53 persen koruptor divonis bebas di semester I tahun 2008 pada peradilan umum. Selain itu rata-rata vonis hanya 6,43 bulan penjara," jelasnya (Suara Karya, 23/7/08).
Masih berdasarkan pantauan ICW, antara tahun 2005 hingga Juni 2008, dari 1.184 terdakwa kasus korupsi, hampir 482 terdakwa divonis bebas atau lepas dari hukuman. Rata-rata vonis yang diberikan hanya 20 bulan untuk tingkat peradilan seluruh Indonesia (Okezone.com, 4/12/08).
Karena itu, banyak pihak menilai menyerahkan kembali penanganan kasus korupsi ke pengadilan umum justru bisa meredupkan atau bahkan mematikan kembali spirit pemberantasan korupsi yang sudah mulai membesar di negeri ini.
Tenggat tiga tahun—jangka waktu yang dinilai sangat cukup untuk menuntaskan hal itu—yang diberikan MK itu pun hampir habis. Padahal Pemerintah sudah berkali-kali diingatkan dan didesak untuk menuntaskan agenda tersebut. Sekarang, ketika pembahasannya dimulai, waktu yang tersisa dinilai sangat mepet. Karenanya, Ketua Komisi II DPR Trimedya Panjaitan, menilai pembahasan RUU Pengadilan Tipikor sulit dirampungkan DPR 2004-2009. Pemerintah memasukkan RUU itu baru pada bulan Mei 2009 (Kompas, 4/7/09).
Karena itu, banyak pihak menuntut agar Presiden mengeluarkan Perpu untuk menyelamatkan Pengadilan Tipikor dan agenda pemberantasan korupsi di negeri ini.
Begitulah. Pemberantasan kejahatan, khususnya korupsi, akhirnya menjadi komoditas dan tergantung pada selera para politisi dan pejabat. Ini adalah satu contoh kasus ketika hukum diserahkan pada hawa nafsu manusia, pemberantasan kejahatan dan realisasi rasa keadilan di tengah masyarakat pun bergantung selera dan tentu saja kepentingan.
Syariah Islam Membabat Korupsi
Semua yang terjadi di atas akan sangat berbeda ketika syariah Islam diterapkan. Sebab, hukum syariah bersumber dari Allah Yang Mahaadil dan Mahatahu. Hukum Islam tidak akan bergantung pada selera para politisi dan pejabat karena bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah. Hukum syariah pasti akan bisa menjamin terwujudnya rasa keadilan dan bisa mencegah kejahatan di tengah-tengah masyarakat.
Syariah Islam secara tegas mengharamkan korupsi dan segala bentuk kekayaan ilegal serta menilainya sebagai harta ghulûl; harta yang diperoleh secara curang, dan pelakunya akan mendapat azab pedih di akhirat. Allah SWT berfirman:
Siapa saja yang berbuat curang pada Hari Kiamat akan datang membawa hasil kecurangannya (QS Ali Imran [3]: 161).
Syariah pun memberikan batasan yang sederhana, jelas dan manjur untuk mendeteksi harta yang diperoleh secara ilegal, termasuk harta korupsi. Buraidah menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
« مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ »
Siapa saja yang kami pekerjakan untuk mengerjakan tugas tertentu dan telah kami beri gaji tertentu maka apa yang ia ambil selain (gaji) itu adalah ghulûl (HR Abu Dawud, al-Hakim, al-Baihaqi dan Ibn Khuzaimah).
Hadis ini memberikan standar yang jelas, bahwa apa saja yang diambil selain pendapatan/gaji/honor/kompensasi yang telah ditetapkan atau diberikan kepadanya adalah ghulûl. Ketentuan ini juga diperkuat oleh hadis muttafaq ’alayh yang menjelaskan bahwa hadiah yang diperoleh oleh seorang pegawai apalagi pejabat karena jabatan atau tugasnya adalah haram dan termasuk harta ghulûl.
Untuk mencegahnya, syariah menetapkan bahwa gaji/kompensasi yang diberikan kepada para pegawai dan tunjangan kepada penguasa harus mencukupi. Gaji harus diberikan sesuai dengan nilai manfaat yang diberikan kepada negara. Selain gaji, mereka juga akan diberikan fasiitas rumah, kendaraan dan fasilitas lainnya. Rasul saw. bersabda:
مَنْ وَلِيَ لَنَا عَمَلاً، فَلَمْ يَكُنْ لَهُ زَوْجَةٌ فَلْيَتَزَوَّجْ، أَوْ خَادِمًا فَلْيَتَّخِذْ خَادِمًا، أَوْ مَسْكَنًا فَلْيَتَّخِذْ مَسْكَنًا، أَوْ دَابَّةً فَلْيَتَّخِذْ دَابَّةً، فَمَنْ أَصَابَ شَيْئًا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ غَالٌّ، أَوْ سَارِقٌ
Siapa saja yang mengerjakan pekerjaan untuk kami dan belum beristri, hendaklah mencari isteri; atau ia tidak punya pembantu, hendaklah mengambil pembantu; atau ia belum punya rumah hendaklah mengambil rumah atau belum punya kendaraan, hendaklah mengambil kendaraan. Siapa saja yang mengambil selain itu telah berbuat ghulûl atau mencuri (HR Ahmad)
Selain itu, sebagai warga negara, mereka juga akan mendapatkan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok; pelayanan kesehatan, pendidikan dan jaminan keamanan secara gratis; dan semua pelayanan yang diterima rakyat pada umumnya. Sementara itu, untuk penegak hukum, Islam telah menetapkan standar gaji yang tinggi agar tidak tergoda untuk melakukan korupsi.
Karena itu, secara materi, dorongan untuk berbuat korupsi telah diminimalisasi dengan gaji yang memadai, fasilitas yang diberikan dan berbagai pelayanan yang diterima. Lebih dari itu, secara ruhiyah, dorongan nafsu menumpuk harta atau syahwat atas kekayaan pun tidak akan merajalela. Hal itu karena ketika syariah tegak, pada diri masyarakat, apalagi pada diri pejabat/pegawai akan ditanamkan ketakwaan dan rasa takut pada dosa dan siksaan neraka serta harapan terhadap pahala dan surga. Hal itu akan menjadi kontrol pertama sebelum kontrol dalam bentuk fisik dan hukuman, yang bisa mencegah seseorang melakukan kecurangan, termasuk korupsi.
Jika kemudian masih ada yang nekad melakukan kecurangan termasuk korupsi maka syariah menilai hal itu sebagai kejahatan yang harus dikenai sanksi. Syariah mendudukkan korupsi bukan sebagai kejahatan pencurian, sehingga tidak diterapkan atasnya hukuman had as-sariqah, yaitu potong tangan, tetapi memasukkannya dalam delik ta’zîr, dimana hukumannya diserahkan kepada ijtihad Khalifah atau qâdhi. Hukumannya bisa dalam bentuk hukum cambuk, penjara, denda atau diambil hartanya, diumumkan ke masyarakat dan sebagainya. Dalam hal ini, Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah menetapkan sanksi atas pelaku korupsi dengan dicambuk dan ditahan dalam waktu lama (Ibn Abi Syaibah, Mushannaf Ibn Abi Syaibah, V/528; Mushannaf Abd ar-Razaq, X/209).
Sanksi atas pelaku korupsi bisa juga dalam bentuk seperti yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khaththab, yakni dengan mengambil harta yang dicurigai sebagai hasil korupsi. Untuk membuktikan korupsi itu, Khalifah Umar bin al-Khaththab juga telah mencontohkan asas pembuktian terbalik. Intinya, pejabat atau pegawai yang dicurigai korupsi harus membuktikan bahwa hartanya dia peroleh secara sah. Penerapan hukum itu tidak terbatas pada diri pejabat atau pegawai itu saja, tetapi juga bisa dikenakan kepada keluarga dan kenalan (kolega) mereka. Semua yang dilakukan oleh Khalifah Umar itu diketahui oleh para Sahabat dan tidak ada yang mengingkarinya. Dengan kata lain, ini menjadi ijmak sahabat, dan dibenarkan secara syar’i. Untuk itu harta pejabat sebelum menjabat dicatat dan dihitung saat selesai masa jabatannya. Jika terdapat harta yang tak jelas/tak bisa dipertanggungjawabkan, harta itu disita dan dimasukan ke kas negara (Thabaqat Ibn Saad, Târîkh al-Khulafâ’ as-Suyuthi).
Wahai Kaum Muslim:
Dengan penerapan hukum syariah di atas dan hukum yang terkait secara rinci dan konsekuen, maka pemberantasan korupsi dan penciptaan pemerintahan yang bersih tidak akan lagi menjadi mimpi. Jika kita menghendaki pemberantasan korupsi benar-benar terwujud maka solusinya adalah kita harus segera menerapkan syariah dalam institusi pemerintahan Islam, yaitu Khilafah Islamiyah. Hanya dengan itulah persoalan korupsi bisa diselesaikan dan semua persoalan bisa dibereskan. Kerahmatan pun akan terwujud dan dirasakan oleh semua, baik Muslim maupun non Muslim. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []
KOMENTAR AL-ISLAM:
SBY: Tak Baik Lakukan Politik Tak Wajar (Inilah.com, 6/7/2009)
Selama didasarkan pada sistem demokrasi, bukan sistem Islam, politik tidaklah wajar.
Syari’ah luar biasa. Takbiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiir
Segera tegakkan syari’ah dan khilafah ! Allohu Akbar !