Selamat Jalan Deliar Noer
Bila awan tebal telah sirna/matahari menguaknya dengan perkasa/dunia akan cerah.
Bagi penikmat buku-buku politik, bait puisi di atas tentu tak asing. Kata-kata sarat makna itu tertera di lembaran awal karya monumental Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965.
Pemikir politik yang telah melahirkan sejumlah masterpiece itu telah berpulang ke Rahmatullah, Rabu pagi (18/6), pukul 10.30 WIB, dalam usia 82 tahun. Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun. Semua berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Namun, seperti bait puisi indah itulah keadaan Deliar Noer saat disemayamkan. ”Wajah beliau bersih sekali. Seakan-akan beliau masih bernapas,” tutur pengamat politik, Fachry Ali, usai mengunjungi rumah duka di Jl Swadaya Raya No 7-9, Duren Sawit, Jakarta Timur.
Fachry pun menyaksikan pemandangan yang juga mengharukan di sana. Yang menjadi imam shalat jenazah adalah Dian Noer, anak tunggal Deliar Noer. ”Ini menarik. Artinya, beliau bisa mendidik anaknya,” kata Fachry yang dihubungi Republika, kemarin petang.
Sejumlah tokoh melayat ke Jl Swadaya Raya, antara lain sejarawan, Taufik Abdullah; sastrawan, Taufiq Ismail; pendidik, Arif Rahman; pengamat politik, Arbi Sanit; ulama, Didin Hafidhuddin; dan aktivis dari Komite Waspada Orde Baru, Judilherry Justam.
Kepergian Deliar Noer terbilang mendadak. Menurut seorang cucunya, Syafa Sakina Noer, almarhum sempat mengaku sangat lelah. Pihak keluarga pun berniat membawanya ke rumah sakit. ”Namun, kakek hanya minta dibelikan obat terlebih dulu sebelum ke RS,” tutur Syafa.
Deliar Noer masuk ICU RS Cipto Mangunkusumo (RSCM), Selasa (17/6) siang, dan meninggal keesokan harinya. Menurut pihak keluarga, almarhum memang menderita penyakit gula dan jantung. Menurut rencana, jenazah almarhum dimakamkan di TPU Karet, hari ini (19/6), pukul 09.00 WIB. Deliar Noer lahir di Medan Kota, Sumatra Utara, 9 Februari 1926, itu meninggalkan seorang istri, Zahara D Noer, dan Dian M Noer.
Teguh
Di mata Fachry Ali, Deliar Noer adalah seorang scholar sejati. Sejumlah buku telah dihasilkannya. Selain Partai Islam di Pentas Nasional, Fachry Ali juga menunjuk karya monumental lain, seperti The Modernist Muslim Movement 1900-1942 (Oxford) dan Mohammad Hatta: Biografi Politik (LP3ES).
”Keunggulan terbesar dalam karya-karya beliau adalah menggunakan data primer. Bila ingin tahu kondisi tahun 1930-an, dia mencari surat kabar tahun 1930-an. Selain itu, laporan intelijen, notulen rapat, dan wawancara langsung. Beliau intelektual sejati. Jarang ada yang seperti beliau di Indonesia,” kata Fachry.
Deliar Noer tercatat sebagai doktor pertama dalam bidang ilmu politik di Indonesia. Partai Islam di Pentas Nasional merupakan pengembangan tesisnya untuk mengambil master di Universitas Cornell, AS. Adapun The Modernist Muslim Movement merupakan tesisnya untuk mengambil PhD di universitas yang sama.
Deliar Noer-lah salah seorang peletak dasar-dasar pengembangan ilmu politik di Indonesia. ”Saat ini, yang seperti beliau, yang masih tersisa di Indonesia, hanya Taufik Abdullah. Kecerdasan dan integritasnya sama-sama hebat,” kata Fachry.
Tapi, bukan hanya etos keilmuannya yang membuat seorang Deliar Noer pantas dikenang, melainkan integritasnya. Dia menjabat Rektor IKIP Jakarta pada 1967-1974. Meski pernah menjadi staf ahli presiden Soeharto pada 1966-1968, dia tetap kritis. Sampai akhirnya, dia pun harus membayarnya dengan melepas jabatan rektor.
Sebelumnya, Deliar Noer juga terpaksa mundur dari dosen Universitas Sumatra Utara (USU) pada 1963-1965 karena dituduh anti-Nasakom. Dia kemudian mengajar di UI, Seskoad, Seskoal, Seskoau, dan Lemhannas pada periode sebelum dia mengkritik Soeharto lewat pidato pengukuhan guru besar di IKIP.
Dibungkam di dalam negeri, Deliar Noer hengkang ke Australia. Guru besar UI ini menjadi dosen di Universitas Griffith (1976-1987) dan Research Fellow Australian National University, Canberra (1975). Dia juga rajin berceramah ke berbagai negara.
Ketika keadaan sudah mulai reda, mantan guru SMA Muhammadiyah Jakarta dan pegawai Deplu ini kembali mengajar di sejumlah perguruan tinggi di Tanah Air, medio 1980-an. Antara lain, menjadi dekan dan wakil rektor Universitas Nasional (Unas).
Ketika reformasi bergulir, Deliar Noer tak ingin tinggal diam. Visinya tentang politik Islam diterjemahkannya di tataran praksis dengan mendirikan Partai Umat Islam (PUI). Tak sebrilian gagasan-gagasan politiknya yang sampai kini masih menjadi rujukan utama, PUI hanya menjadi partai kecil.
”Saat mendirikan partai, saya bilang ‘Pak Deliar guru saya. Tapi, Pak Deliar bukan politisi. Itu bukan dunia Pak Deliar’. Tak seperti Cak Nur, beliau memang percaya bahwa partai Islam sebagai political means tidak masalah didirikan karena sesuai undang-undang dan demokrasi,” kata Fachry.
Bukan hanya itu, Fachry Ali juga mengenang Deliar Noer sebagai seorang demokrat sejati. ”Beliau bahkan memperjuangkan agar larangan memilih bagi mantan anggota PKI dan keturunannya dihilangkan,” katanya.
Melihat sikap dan tindakannya, orang seperti Deliar Noer kerap digolongkan sebagai Islam politik. Tapi, Deliar Noer sendiri, dalam salah satu tulisannya Islam dan Politik, mempersoalkan pemilahan Islam politik, Islam kultural, Islam struktural, dan sebagainya.
Menurut dia, selain bermasalah secara teoretis, pembelahan-pembelahan itu mengingatkan ajaran Snouck Hurgronje tentang Islam ibadah dan Islam politik.
( Republika online : 19/06/2008 )