Kiprah Politik Ulama


Menjelang Pilkada Riau 2008 dan Pemilu 2009, berbagai move politik dilakukan para pihak yang berminat meraih jabatan tertentu. Sebagai kelompok mayoritas, entitas umat Islam seringkali menjadi obyek ”permainan” para petualang kekuasaan. Apalagi pasca suksesnya partai-partai Islam meraih kemenangan di Pilkada Jabar dan Sumut. Berbagai pihak makin melirik kekuatan umat Islam. Para ulama pun seringkali ”terpengaruh” atmosfir pesta demokrasi ini. Bagaimana sebetulnya kiprak politik ulama agar perannya sebagai pewaris nabi bisa optimal mengayomi umat?

Kriteria Ulama
Siapa sosok ulama itu? Ulama itu secara bahasa merupakan jamak dari kata alim yang berati orang berilmu. Secara syar’iy, ulama adalah orang-orang yang paling takut kepada Allah karena keda-laman ilmunya. Diantara karakter yang dimiliki ulama adalah, pertama, ulama adalah orang-orang yang merupakan lambang iman dan harapan umat, serta memberikan petunjuk dengan hanya berpegang pada Islam. Mereka mewarisi karakter Nabi dalam keter-ikatannya terhadap wahyu Allah SWT. Rasullah SAW bersabda: “Sesungguhnya perumpamaan Ulama dimuka bumi laksana bintang-bintang yang ada dilangit yang menerangi gelapnya bumi dan laut. apabila padam cahayanya maka jalan akan kabur.” (HR. Ahmad). Dalam hadis yang lain Beliau SAW bersabda: “ Sesungguhnya kedudukan seorang alim sama seperti kedudukan bulan diantara bintang-bintang. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Imam Nawawi Al-Bantani menjelaskan kriteria Ulama. Menurut beliau ulama adalah hamba Allah yang beriman, mengasai ilmu syariat secara mendalam, dan memiliki peabdian yang tinggi semata-semata karena mencari keridlaan Allah SWT, bukan keridlaan manusia. Dan kemudian dengan ilmunya, mereka mengembangkan dan menyebarkan agama yang haq, baik dalam masalah ibadat maupun muamalat. Ciri yang dimilikinya adalah: (a) Memiliki keiman-an yang kokoh, ketaqwaan yang tinggi, berjiwa istiqomah dan konsisten terhadap kebenaran, (b) Memiliki sifat-sifat kerasulan, yaitu jujur (shiddiq), amanat (amanah), cerdas (fatanah), dan me-nyampaikan (tabligh), (c) faqih fi ad-din (paham dalam agama) sampai rasikhun fi al-Ilm’ (amat dalam ilmunya), (d) Mengenal situasi dan kondisi masyarkat, dan (e) Mengabdikan seluruh hidupnya untuk memperjuangkan dan menegakkan ajaran Allah SWT.

Kedua, benar-benar takut kepada Allah SWT baik dalam hati, ucapan maupun perbuatannya dan berpegang kepada aturan Allah SWT. Firman Allah SWT:

‘Sessungguhnya mereka yang takut di kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah Ulama”. (QS. Al-Fathir [35] :28).

Ketiga, tidak mendiamkan, tidak menyetujui dan tidak mendukung kedzaliman dan siapapun yang berbuat dzalim. Tegas sekali firman Allah SWt dalam ayat berikut: “Dan janganlah kalian cenderung (la tarkanu) kepada orang-orang yang berbuat dzalim, yang menyebabkan kalian disentuh api neraka…” (QS. Hud [11]: 113). Ibnu Juraij menyatakan bahwa kata La tarkanu berarti ‘jangan cenderung kepadanya’; Qatadah menyebutkan, ‘jangan bermes-raan dan jangan mentaatinya’; sementara Abu Aliyah menerangkan kata itu berarti ‘jangan meridlai perbuatan-perbua-tannya’.

Terkait masalah ini, Imam Az-Zamakhsyari dalam tafsir Al-Kasyaf Juz II/416 mengutip beberapa pendapat. Diantaranya pendapat Imam Ats-Tsauri yang berkata: “Di nereka jahanam nanti ada suatu lembah yang tidak dihuni orang kecuali para pembaca al-Qur’an yang suka berkunjung kepada para penguasa”. Senada dengan hal ini, Imam Auza’i mengatakan, “Termasuk yang dibenci oleh Allah adalah ulama yang suka berkunjung kepada para penguasa.” Bahkan Imam Baihaqi meriwayatkan bahwa Rasullullah SAW bersabda : “ Siapa yang berdo’a untuk orang zhalim agar tetap berkuasa, maka dia telah menyukai orang itu bermaksiat kepada Allah di bumi-Nya”.

Dalam tafsir yang sama, disebutkan bahwa Imam Zuhri bergaul dengan para penguasa yang terkenal tidak memenuhi hak-hak masyarakat serta tidak mening-galkan kebatilan. Terdapat seseorang yang mengiriminya surat nasihat agar menjauhi fitnah. Dalam surat itu antara lain dia menyebut tindakan bergaul rapat dengan penguasa akan menimbulkan konsekuensi berupa dijadikannya perkara tersebut sebagai legitimasi beredarnya kebatilan yang mereka lakukan, peng-akuan atas bencana yang mereka lakukan, dan pembenaran atas penyimpangan mereka. Juga akan menimbulkan keraguan para ulama serta akan diikuti masyarakat umum. Orang itu lantas menutup suratnya dengan kalimat “ Betapa banyak keuntungan yang mereka ambil dari anda disamping kerusakan yang mereka timbulkan kepada anda”. Jadi, ulama itu tidak akan pernah menjilat kepada penguasa yang menzhalimi rakyatnya.

Memaknai Politik

Sebelum berbicara lebih jauh tentang hal tersebut penting dipahami apa yang disebut politik. Memang, politik dapat didefinisikan dengan berbagai cara. Tetapi, bagaimanapun ia didefinisikan, satu hal sudah pasti, bahwa politik menyangkut kekuasaan dan cara peng-gunaan kekuasaan. Dalam pengertian sehari-hari, politik juga berhubungan dengan cara dan proses pengelolaan pemerintahan suatu negara (Amien Rais, Cakrawala Islam, hal. 27).

Dalam sistem sekuler, politik lebih didasarkan pada politik Machiavellis yang ditullis dalam buku The Prince. Machi-avellis mengajarkan bahwa: (1) kekerasan (violence), brutalitas, dan kekejaman merupakan cara yang diperlukan pengu-asa; (2) penaklukan total atas musuh-musuh politik dinilai sebagai kebajikan puncak (summum bonum); (3) dalam menjalankan kehidupan politik seseorang harus dapat bermain seperti binatang buas. Karenanya, praktik politik sistem sekuler merupakan homo homini lupus, manusia menjadi serigala terhadap manusia yang lain. Slogannya pun adalah ‘Kiranya dapat diterima akal bila demi tuntutan profesionalnya, seorang serdadu harus membunuh dan seorang politikus harus menipu’ (It is thought that by the necessities of his profession a soldier must kill and politici on lie). Fakta politik seperti inilah yang menjadikan sebagian kalangan Muslim tertipu hingga menyim-pulkan bahwa politik itu kotor. Karena-nya, Islam tidak boleh mencampuri politik, Islam harus dipisahkan dari politik. Dakwah Nabi pun didudukkan sebagai dakwah spiritualitas dan moral belaka, bukan dakwah bersifat politik.

Islam berbeda dengan itu. Politik dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah, artinya mengurusi urusan, melarang, memerintah (Kamus al-Muhith, dalam kata kunci sasa). Nabi menggunakan istilah politik (siyasah) dalam hadits: ”Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para Nabi (tasusu hum al-anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah” (HR. Muslim). Jadi, politik artinya adalah mengurusi urusan umat. Berkecimpung dalam dunia politik berarti memperhatikan kondisi kaum Muslim dengan cara menghilangkan kezhaliman penguasa dan melenyapkan kejahatan kaum kafir penjajah atas mereka. Politik Islam karenanya berarti mengurusi urusan masyarakat melalui kekuasaan melarang dan memerintah dengan landasan hukum/syariat Islam (MR Kurnia; Al-Jamaah, Tafarruq dan Ikhtilaf, hal. 33-38).

Bila dilihat dari hubungan antara makna ulama dengan makna politik maka semestinya ulama dan politik Islam tidak dapat dan tidak boleh dipisahkan. Artinya, ulama harus mengurusi urusan umat atas dasar Islam.

Kiprah Politik Ulama

Abu Nu’aim menyatakan bahwa Nabi mengatakan, “Dua macam golongan manusia yang apabila keduanya baik maka akan baiklah masyarakat. Tetapi, apabila keduanya rusak maka akan rusaklah masyrakat itu. Kedua golongan manusia itu adalah ulama dan penguasa”. Karenanya, ulama harus memeran-kan diri dalam rangka kebaikan masya-rakat, termasuk meluruskan penguasa.

Diantara aktivitas politik ulama adalah:

  1. Membina umat. Ulama terus mela-kukan pembinaan di tengah-tengah umat sehingga muncul orang-orang yang berkepribadian Islam. Umat dibina perilakunya dengan selalu dikaitkan dengan akidah dan syariah.
  2. Membangun kesadaran politik umat (wa’yu siyasi), yaitu kesadaran umat tentang bagaimana mereka memelihara urusannya dengan syariat Islam. Bahkan, boleh jadi ulama menjadi penguasa. Karena-nya, ada sebagian ahli tafsir yang memaknai ulil amri dalam surat an-Nisa ayat 59 sebagai ulama.
  3. Mengoreksi penguasa. Imam al-Ghazali menyatakan: “Dulu tradisi para ulama mengoreksi dan men-jaga penguasa untuk menerapkan hukum Allah SWT. Mereka meng-ikhlaskan niat. Pernyataannya pun membekas dihati. Namun, seka-rang terdapat penguasa yang zhalim namun para ulama hanya diam. Andaikan mereka bicara, pernyataannya berbeda dengan perbuatannya sehingga tidak mencapai keberhasilan. Kerusakan masyarakat itu akibat kerusakan penguasa, dan kerusakan penguasa akibat kerusakan ulama. Adapun kerusakan ulama akibat digenggam cinta harta dan jabatan. Siapapun yang digenggam cinta dunia niscaya tidak akan mampu menguasai kerikilnya, apalagi untuk meng-ingatkan para penguasa dan para pembesar” (Ihya ‘Ulumuddin, juz 7, hal. 92).

Berdasarkan hal di atas jelaslah bahwa ulama memang seharusnya menjalankan politik Islam, yaitu mengurusi urusan masyarakat dengan Islam. Bukan sebaliknya, melupakan Islam tetapi berpegang pada politik sekuler untuk kepentingan pragmatis semat. Tugas politik ulama adalah mencerdaskan rakyat dengan Islam. Hingga rakyat tidak mudah tertipu dengan bujuk rayu orang-orang dzalim. Dengan kiprah politik ulama, rakyat akan terbina dengan baik serta akan memiliki kesadaran politik Islam. Hingga mereka akan meraih kemuliaan di dunia dan akhirat. Amin. Wallahu a’lam. [Muhammadun]

———–
Dimuat di Riau Pos, hari Jumat, tanggal 2 Mei 2008
Ketua DPD I Hizbut Tahrir Indonesia Riau

4 comments

  1. Betul tuh, para Kyai dan Ulama mestinya mencerdaskan rakyat. Bukan membodohi rakyat…Bukan berantem aja kerjaannya. Saatnya Ulama bangkit kembali dengan mencontoh nabi. Kan Ulama pewaris para nabi.

  2. Ulama harus berpolitik. Tapi yang bener…tang Islany.jangan menghalalkan segala cara. Pilkada di berbagai daerah membuktikan para ulama banyak yang memalukan. Masak Suap dibilang mahar. yang bener aja…kacau kalau kayak gitu. maka, setuju dengan tulisan ini. Ulama itu yang takut sama Allah SWT bukan takut mati suka harta. Kena penyakit Wahn itu namanya.

  3. iman ti bandung

    Saatnya Membangun Nahdhatul Ulama Sejati…

  4. opik di ciputat

    Dengan kategori ulama seperti itu, kiranya sangat sedikit sekali ulama di zaman ini. tapi memang al quran dan hadits pun banyank menyinggung tentang golongan yang sedikit. keberadaan mereka seolah terasing dari kabilahnya. tapi perannya dibutuhkan bagi seluruh umat manusia. maka…jadilah ulama sejati…Allahu Akbar…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*