Hukum-Hukum Seputar Puasa (II)

Penentuan Awal dan Akhir Ramadlan*

Jumhur ulama berpendapat bahwa kesaksian melihat hilal bulan Ramadlan yakni permulaan bulan Ramadlan cukup satu orang. Jika disaksikan oleh seorang muslim yang adil bahwa ia telah melihat hilal Ramadlan maka seluruh kaum muslim wajib untuk berpuasa. Dari Ibnu Abbas r.a.

جَاءَ أَعْرَابِيُّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ : أَبْصَرْتُ الهِلاَلَ اللَّيْلَةَ فَقَالَ : أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا الله وَ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ ؟ قَالَ : نَعَمْ قَالَ : قُمْ يَا فُلَانُ فَأَذِّنْ بِالنَّاسِ فَلْيَصُوْمُوْا غَدًا

Seorang orab datang kepada Rasulullah saw dan berkata: saya telah melihat hilal malam ini. Maka Rasul berkata kepadanya: “Apakah engkau berasaksi bahwa tiada tuhan selaian Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya?” Ia menjawab: “iya.” Rasul kemudian bersabda: “Berdirilah wahai Fulan dan serukan kepada manusia agar mereka berpuasa besok.” (HR. Ibnu Khuzaimah. Al-A’dzamy menshahihkannya)

عَنْ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلَالَ، فَأَخْبَرْت رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي رَأَيْته، فَصَامَ، وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ

Dari Ibnu Umar r.a. ia berkata: orang-orang melihat hilal lalu saya menginformasikan hal tersebut kepada Rasulullah saw bahwa saya telah melihatnya maka ia berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa.” (HR. Al-Hakim, Ibnu Hibban dan mereka menshahihkannya)

Dengan demikian kesaksian seorang muslim yang adil bahwa ia telah melihat hilal telah cukup untuk menjadi dasar bagi seluruh kaum muslim untuk berpuasa. Hal yang sama juga berlaku dalam mengakhiri puasa.

عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ النََبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصْبَحَ صَائِمًا لِتَمَامِ الثَّلاَثِيْنَ مِنْ رَمَضَانَ فَجَاءَ أَعْرَابِيَّانِ فَشَهِدَا أَنْ لَا إِلهَ إَلَّا اللهُ وَإِنَّهُمَا أَهْلَاهُ بِالأَمْسِ فَأَمَرَهُمْ فَأَفْطِرُوْا

Dari seorang sahabat Nabi saw ia berkata: “Bahwa Nabi saw di suatu pagi berpuasa untuk menyempurnakan 30 hari Ramadlan. Lalu datang dua orang Arab yang bersaksi bahwa bahwa tiada tuhan selain Allah dan keduanya telah melihat hilal kemarin maka Rasul memerintahkan orang-orang untuk berbuka.” (HR. ad-Daruqthny dan ia menshahihkannya)

عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رضى اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّىَ عَلَيْكُمُ الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلاَثِينَ

Muhammad bin Ziyad berkata saya mendengar Abu Hurairah berkata: “Rasulullah saw bersabda: berpuasalah karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya dan jika bulan tertutup awal awan maka sempurnakanlah 30 hari.” (HR. Muslim)

Pada hadits di atas Rasul menegaskan bahwa mengawali dan mengakhiri puasa ditentukan dari terlihatnya hilal. Sementara lafadz ‘melihat’ pada hadits berbentuk umum karena terdiri dari isim yang didhafahkan, sehingga mencakup penglihatan satu orang atau lebih. Adapun adanya dua orang Arab yang menyaksikan bahwa telah terlihat hilal Syawal maka hal tersebut merupakan gambaran terhadap realitas dan tidak menunjukkan bahwa jika dilihat oleh satu orang maka tidak diterima.

Penggunaan Metode Hisab Falak

Jumhur ulama berpendapat bahwa hisab falak tidak dapat dijadikan sebagai landasan untuk menetapkan awal akhir Ramadlan. Alasannya jika manusia dibebankan untuk menggunakan hal tersebut maka akan membuat mereka kesulitan karena ilmu tidak diketahui kecuali oleh sekelompok orang sementara syara memerintahkan seseuatu yang diketahui oleh mayoritas dari mereka. Ibnu Surraij dikatakan sebagai salah satu ulama yang membolehkan menggunakan metode tersebut bagi orang-orang yang memiliki ilmu tersebut. Sabda Rasulullah ( فَاقْدُرُوْا لَهُ ) merupakan seruan kepada orang yang menguasai ilmu tersebut sementara hadits (فَأَكْمِلُوْا العِدَّةَ) merupakan seruan untuk seluruh ummat Islam. Pernyataan tersebut juga dinisbahkan kepada Ibnu Abdillah dan Ibnu Qutaibah.

Namun demikian kalimat ( فَاقْدُرُوْا لَهُ )tidaklah berarti sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Surraij. Pertama: perintah berpuasa dan berbuka dengan melihat hilal adalah perintah yang bersifat umum.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلاَ تُفْطُرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw bersabda: bulan itu 29 hari. Jangalah kalian berpuasa hingga melihatnya dan janganlah kalian berbuka hingga kalian melihatnya dan jika kalian terhalang melihatnya maka perkirakanlah.” (HR. Bukhari Muslim)

Hadits tersebut diserukan kepada seluruh ummat Islam baik melihat hilal, berpuasa, berbuka dan memperkirakannya. Jadi tidak ada pengkhususan untuk melakukan perkiraan yang khusus bagi orang yang memiliki ilmu falak saja.

Kedua, sebagaimana diketahui bahwa hadits saling menafsirkan antara satu dengan yang lain. Terdapat sejumlah hadits yang menjelasakan bahwa ( فَاقْدُرُوْا لَهُ ) tidaklah sebagaimana yang difahami oleh Ibnu Surraij antara lain:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله، قَالَ: قَالَ النَّبَيُّ صلى الله عليه وسلم، أَوْ قَالَ: قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صلى الله عليه وسلم صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ

Dari Abu Hurairah ia berkata Rasulullah saw atau Abu Qasim bersabda: berpuasalah karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya dan jika kalian terhalangi melihatnya maka sempurnakanlah perhitungan bulan Sya’ban 30 hari.” (HR. Bukhari, Muslim, Nasai, Ibnu Hibban)

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلاَثِينَ يَوْمًا

Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Jika kalian meliat hilal maka berpuasalah dan jika kalian melihatnya maka berbukalah dan jika kalian terhalangi melihatnya maka berpuasalah 30 hari.” (HR. Muslim)

Dengan demikian jelas bahwa maksud ( فَاقْدُرُوْا لَهُ ) adalah hitung dan sempurnakan menjadi 30 hari.[1] Hal ini tentu dapat dilakukan oleh semua orang tanpa membutuhkan adanya keahlian khusus. Bahkan terdapat sebuah hadits yang dengan jelas menyatakan:

لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ

“Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal dan janganlah kalian berbuka karena melihatnya….” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits tersebut menyatakan bahwa perintah berpuasa tidak hanya terlebih dahulu melihat hilal namun juga berisi larangan untuk tidak berpuasa hingga melihatnya. Oleh karena itu penentuan puasa hanya berdasarkan hisab falak jelas bertentangan dengan hadits tersebut.

Namun demikian perlu ditegaskan bahwa bukan berarti pemanfaatan ilmu falak tidak boleh dan tidak dibutuhkan. Penjelasan di atas hanya ingin menyatakan bahwa hisab falak bukan penentu untuk memulai awal dan akhir Ramadlan karena syara’ telah menegaskan bahwa memulai dan mengakhiri puasa Ramadlan harus dengan melihat hilal.

Peran hisab falak saat ini sangat penting dalam memberikan petunjuk kapan waktu yang tepat untuk melihat hilal sehingga memudahkan bagi orang yang bermaksud menyaksikannya. Demikian pula keberadaan alat-alat yang dapat membantu memperbesar dan memperdekat jarak objek ketika mengintai munculnya hilal adalah hal yang mubah untuk digunakan.

Memang metode hisab falak sangat akurat dalam menentukan awal dan akhir bulan hingga hitungan menit dan detik bahkan yang terjadi beberapa tahun yang akan datang sehingg peluang kesalahan dalam penetapan puasa sangat kecil. Meski demikian perlu difahami bahwa Allah swt tidak memerintahkan untuk beribadah kepada-Nya dengan tingkat kebenaran yang pasti. Jika demikian maka tentu akan menyulitkan kaum muslim. Ia hanya memerintahkan kita untuk menyembahnya berdasarkan pendapat yang dianggap paling benar. Jika pendapat tersebut benar secara pasti maka demikianlah, namun jika salah maka ia tetap diterima dan mendapatkan pahala serta telah bebas dari hisab. Ibadah dalam Islam tidaklah dilakukan dengan dengan pendekatan hisab dan keilmuan. Ia adalah hukum syara’ yang diperintahkan kepada kaum muslim untuk diikuti bersarkan pemahaman dan ijtihad mereka. Dengan cara tersebut Allah swt menerima apa yang mereka lakukan baik yang mendapatkan benar ataupun salah.

Syara’ telah menetapkan tata cara pelaksanaan ibadah puasa beserta metode untuk memulai dan mengakhirinya yakni dengan melihat hilal Ramadlan dan hilal Syawal dengan pandangan mata. Jika memang hisab merupakan metode maka tentu telah digunakan oleh Rasulullah dan para Sahabat namun yang terjadi justru sebaliknya metode tersebut diabaikan oleh beliau. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar dari Nabi saw bersabda:

عن بْن عُمَرَ رضى الله عنهما يُحَدِّثُ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَعَقَدَ الإِبْهَامَ فِى الثَّالِثَةِ وَالشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا. يَعْنِى تَمَامَ ثَلاَثِينَ.

Dari Ibnu Umar r.a. ia mencerikatan dari Nabi saw berkata: “Kami adalah ummat yang ummi, tidak dapat menulis dan memperkirakan bulan. Bulan itu begini, begini dan begini—beliau menekuk telunjuknya yang ketiga—dan bulan itu begini, begini dan begini yakni disempurnakan 30 hari.” (HR. Muslim)

Padahal Islam adalah agama yang sempurna sehingga ia tidak memerlukan ilmu baru atau kesimpulan-kesimpulan yang bersumber dari akal dalam mensyariatkan hukum berserta metodenya. Meski demikian hal tersebut boleh digunakan hanya sebagai sarana, uslub dan alat selama ia tidak menggantikan peranan hukum syara dan metodenya serta tidak mengubah hukum dan metodenya sedikitpun.

Lalu mengapa dalam masalah puasa kita tidak dapat menggunakan hisab namun boleh igunakan untuk menetapkan waktu shalat? Jawabannya adalah karena metode penetapan pelaksanaan puasa dan haji telah ditetapkan oleh syara’. Untuk puasa sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya sementara untuk haji didasarkan pada hadits berikut:

عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ الْحَارِثِ الْجَدَلِيُّ مِنْ جَدِيلَةَ قَيْسٍ أَنَّ أَمِيرَ مَكَّةَ خَطَبَ ثُمَّ قَالَ عَهِدَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤْيَةِ فَإِنْ لَمْ نَرَهُ وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ نَسَكْنَا بِشَهَادَتِهِمَا

Dari Abu Malik al-Asyja’iy, Husain bin Harits al-Jadaly dari Jadilah Qais menceritakan kami bahwa amir Makkah berkhutbah kemudian berkata. Rasulullah saw telah menetapkan atas kami agar kami melaksanakan ibadah haji berdasarkan ru’yat. Namun jika kami tidak melihatnya namun disaksikan oleh seorang saksi yang adil maka kami melaksanakan ibadah haji berdasarkan kesaksian tersebut. (HR. Ad-Daruqthny dan ia menshahihkannya).

Sementara itu syara tidak menetapkan metode penetapan waktu pelaksanaan shalat. Syara’ hanya menjelaskan tanda-tanda yang menunjukkan masuknya waktu masing-masing shalat sehingga kita menggunakan tanda-tanda tersebut untuk menetapkan kapan waktu-waktu tersebut. Metode penetapan waktu puasa dan haji tidak dapat diqiyaskan dengan metode penetapan shalat karena dalam masalah ibadah qiyas tidak dapat diberlakukan kecuali memang terdapat dalil yang mengandung illat dalam masalah tersebut.

Dengan demikian penggunaan hisab falak tidak dapat dijadikan sebagai metode untuk menggantikan metode yang telah ditetapkan oleh syara yakni melihat dengan mata. Allah menghisab kita terhadap apa yang kita ketahui dan bukan yang tersembunya atas kita. Kita berpuasa dan berbuka dengan pandangan mata baik kita benar ataupun salah karena syara’ telah memerintahkan kita dengan cara tersebut. Namun sekali lagi ditekankan bahwa hisab falak tetap boleh digunakan sebagai alat bantu untuk mempermudah pelaksanaan rukyat.

Perbedaan Matla’

Para ulama berbeda pendapat apakah terlihatnya hilal di satu negeri juga berlaku bagi negeri lain. Ikrimah, Qasim bin Muhammad, Salim bin Abdullah bin Abdullah bin Umar dan Ishak bin Rahuwaih berpendapat bahwa penduduk satu negeri tidak wajib berpuasa karena telah terlihatnya hilal di negari yang lain sebagaimana yang dituturkan oleh at-Tirmidzy. Hal yang sama juga dinukil oleh al-Mawardy dari madzhab as-Syafii.[2]

Abu Hanifah, Malik, Laits bin Sa’ad berpendapat bahwa jika hilal telah terlihat di satu negeri maka ia berlaku untuk seluruh negeri untuk berpuasa. Ibn Mundzir telah menukil hal tersebut dari banyak ulama termasuk dari sebagian ulama Syafii. Ibnu Qudamah menyatakan: “Jika hilal telah terlihat di satu negeri maka ia berlaku untuk negeri yang lain.”[3] Al-Qurthuby dalam kitab al-Istidzkar menyatakan: para ulama berbeda mengenai hukum terlihatnya hilal Ramadlan atau Syawal oleh suatu negeri sementara tidak bagi yang lain. Malik sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Qasim, orang-orang Mesir berpendapat jika telah ditetapkan bahwa penduduk suatu negeri telah melihat hilal maka penduduk yang lain wajib mengqadla puasa dihari mereka tidak berpuasa pada hari lain. Pendapat ini merupakan pendapat al-Laits, as-Syafii, penduduk Kufah dan Ahmad.[4]

Sementara itu ulama syafii sendiri yang berpendapat bahwa terlihatnya hilal di satu negeri tidak berlaku di negeri lain, berbeda pendapat tentang detail masalah tersebut. Diantara mereka ada yang berpendapat: jika kedua negeri tersebut berdekatan maka maka dihukumi satu negeri namun jika jarak keduanya jauh maka-yang paling kuat menurut Syekh Abu Hamid, Syekh Abu Ishak, Al Ghazaly dan kebanyakan dari mereka—tidak wajib berpuasa atas penduduk negeri lain yang tidak melihatnya. Pendapat yang lain menyatakan: ia wajib berpuasa sebagaimana yang dinyatakan oleh Abu Thayyib, ar-Rawyani. Ibnu Mundzir berkata: “Ia adalah madzhab yang dhahir dan dipilih oleh seluruh sahabat kami dan al-Baghawy juga mengutip hal tersebut dari imam as-Syafii sendiri.

Mereka juga berbeda pendapat dalam masalah batasan dekat dan jauh. Ada yang berpendapat jarak yang berjauhan itu adalah adanya perbedaan matla’ seperti Hijaz, Irak dan Khurasan. Dan yang saling berdekatan seperti Baghdad, Kufah, dan Ray. Ada pula yang berpendapat: ditentukan berdasarkan persamaan dan perbedaan daerahnya sementara yang lain tidak perlu ditentukan dengan hal tersebut.

Mereka yang berpendapat tentang perbedaan matla’ yakni orang yang telah melihat hilal di satu negeri tidak berlaku bagi negeri lain mendasarkan pendapat mereka pada hadits yang diriwayatkan oleh Kuraib.[5]

عَنْ كُرَيْبٍ أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ قَالَ فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَىَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلاَلَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِى آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلاَلَ فَقَالَ مَتَى رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَقُلْتُ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ. فَقَالَ أَنْتَ رَأَيْتَهُ فَقُلْتُ نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ. فَقَالَ لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاَثِينَ أَوْ نَرَاهُ. فَقُلْتُ أَوَلاَ تَكْتَفِى بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ فَقَالَ لاَ هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم

Dari Kuraib bahwa Ummu Fadhli binti al-Harits telah mengutusnya kepada Muawiyah di Syam ia berkata: “Saya tiba di Syam lalu menuniakan hajatnya dan di malam hari nampak pada saya hilal Ramadlan sementara saat itu saya masih di Syam. Saya melihat hilal malam Jumat kemudian saya tiba di Madinah di akhir bulan lalu Ibnu Abbas bertanya kepada saya kemudian ia menyebut hilal dan berkata kapan engkau melihat hilal? Saya menjawab: “Kami melihatnya malam Jumat.” Ia bertanya lagi: “Engkau melihatnya?” Saya menjawab: “Betul dan orang-orang juga melihatnya lalu mereka berpuasa sebagaimana halnya Muawiyah.” Ia berkata: “Akan tetapi kami melihatnya malam Sabtu lalu kami berpuasa hingga menyempurnakannya 30 hari atau kami melihatnya.” Saya bertanya: “Apakah tidak cukup dengan penglihatan Muawiyah dan puasanya? Ia berkata: “Tidak, demikianlah Rasulullah saw memerintahkan kami.” (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzy dan Ahmad).

Menurut penganut pendapat pertama riwayat di atas menujukkan bahwa sikap Ibnu Abbas r.a. yang tidak menjadikan penglihatan penduduk Syam merupakan ketetapan yang berasal dari Nabi saw. Dengan kata lain pendapat Ibnu Abbas yang menolak pernyataan “apakah kita tidak mencukupkan penglihatan Muawiyah dan puasanya?” dengan ucapan: “tidak demikianlah yang diperintahkan Rasulullah saw kepada kita,” menunjukkan bahwa Rasulullah saw telah memerintahkan kaum muslim untuk tidak mengambil penglihatan orang-orang yang berada di negeri lain.

Pemahaman tersebut perlu didiskusikan. Pertama, perlu dibedakan antara perintah Nabi saw. dengan pemahaman Ibnu Abbas terhadap perintah Nabi saw. Jika memang terdapat perintah dari Nabi saw maka itu adalah dalil syara’ yang wajib dijadikan sandaran. Namun hal tersebut merupakan hasil pemahaman seorang sahabat maka statusnya adalah ijtihad sebagaimana halnya hasil mujtahid lain yang merupakan hukum syara’ yang dapat diikuti atau ditinggalkan.

Kedua, Ibnu Abbas telah mendengar sabda Rasulullah saw ( صُوْمُوا لِرُؤْيَتِهِ) (وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ ) dan memahami bahwa setiap masyarakat dari kaum muslim harus melihat hilal agar dapat berpuasa dan melihatnya lagi sehingga mereka berbuka. Sementara penglihatan selain masyarakat tersebut tidak cukup lalu ucapan beliau mengatakan “demikianlah yang diperintahkan Rasul kepada kita.” Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa ia merupakan hasil pemahaman Ibnu Abbas terhadap perintah Nabi saw di atas. Oleh karena itu yang harus dijadikan landasan adalah hadits yang berkaitan dengan ru’yatul hilal yang salah satunya diriwayatkan oleh beliau bukan pemahaman beliau terhadap hadits tersebut.[6]

Adapun ulama yang menyatakan bahwa jika satu negeri telah melihat hilal maka ia berlaku untuk negeri yang lain untuk berpuasa, didasarkan pada sejumlah hadits yang memerintahkan untuk berpuasa dan berbuka karena melihat hilal. Mereka berpendapat bahwa terlihatnya hilal merupakan sebab terlaksananya puasa dan sebab terlaksananya berbuka. Jika terdapat sebab maka terdapat pula musabab yaitu puasa dan berbuka. Perkataan Rasulullah ( لِرُؤْيَتِهِ ) adalah isim jenis yang diidhafahkan sehingga ia termasuk lafadz umum. Demikian pula sabda beliau ‘hingga kalian melihatnya’ (حَتَّى تَرَوْا) , jika kalian melihatnya ( إذا رأيتم ) kata gantinya (dhamir) adalah isim jama’. Isim jama’ merupakan lafadz umum sehingga berlaku umum bagi kaum muslim. Sehingga siapapun dari mereka yang telah melihatnya maka berlaku bagi seluruh kaum muslim yang lain sehingga mereka wajib berpuasa pada hari tersebut. Inilah pendapat yang benar terhadap hadits yang berkenaan dengan ru’yatul hilal. Dengan demikian pendapat Ibnu Abbas yang dijadikan landasan pendapat pihak yang mengadopsi rukyat berdasarkan wilayah adalah pendapat yang marjuh.[7]

Pada tahun 1966 Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah di Kairo juga telah mengeluarkan keputusan bahwa ru’yatul hilal berdasarkan perbedaan matla’ meski negeri-negeri namun masih berada padaa malam yang sama tidak tepat. Oleh karena itu ketika hilal telah terlihat di salah satu negeri Arab maka hal tersebut juga berlalu bagi negeri-negeri lainnya.

Hal yang sama juga ditetapkan oleh Majlis al-Fatwa al-A’la di Palestina yang menguatkan pendapat bahwa penglihatan di satu tempat berlaku bagi tempat yang lain.

Negara Bangsa

Sayangnya pendapat para ulama di atas yang menyatakan bahwa rukyat hilal di satu negeri berlaku untuk negeri lain diabaikan oleh para penguasa mereka. Hal itu terjadi karena beberapa hal:

  1. Seluruh negeri-negeri Islam saat ini telah mengadopsi faham sekularisme yang memisahkan urusan politik dengan agama. Akibatnya persoalan penetapan awal akhir Ramadlan tidak lagi didasarkan pada pendapat yang paling kuat dalilnya namun lebih didasarkan pada kemaslahatan mereka. Parahnya lagi mereka malah memintah kepada pada ulama untuk mendatangkan nash-nash yang mendukung pendapat mereka. Bukannya mereka menjadikan nash syara sebagai dasar keputusan mereka. Dengan demikian penguasalah yang membuat syariat sementara para ulama hanya menyetujui. Jika bertetangan maka yang dilaksanakan adalah pandangan penguasa.
  2. Di samping itu umat Islam saat ini telah dibagi-bagi oleh negara-negara penjajah ke dalam puluhan negara bangsa yang terpisah antara satu dengan yang lain. Akibatnya masing-masing umat Islam di suatu negara menganggap dirinya bukan bagian dari ummat Islam yang secara syar’i harus bersatu. Akibatnya masing-masing negara menetapkan keputusan politik mereka termasuk dalam masalah keagamaan tanpa memperhatikan kaum muslim lainnya. Oleh karena itu dalam penentuan awal dan akhir Ramdlan masing-masing negara menetapkan sendiri keputusan mereka tanpa mempertimbangkan negeri-negeri yang lain apakah ada diantara mereka yang telah melihat hilal terlebih dahulu. Jika Malaysia telah melihat hilal namun Indonesia tidak melihatnya maka penduduk Malaysia berpuasa sementara penduduk Indonesia belum berpuasa termasuk mereka yang berada di daerah perbatasan meski jaraknya hanya sejengkal dan memiliki kesamaan matla’ berbeda dalam memulai dan mengakhiri puasa. Hal inilah yang sering dijumpai di negeri-negeri Islam. Jadi perbedaan tersebut bukan diakibatkan oleh perbedaan matla’ dimana para fuqaha berbeda pendapat namun lebih karena perbedaan batas negara, batas imaginer buatan penjajah yang telah mengkotak-kotakkan ummat Islam.

Inilah yang menjadi sebab bertahannya perbedaaan di negeri-negeri Islam khususnya yang berkenaan dengan awal dan akhir Ramadlan. Jika sekiranya neger-negeri tersebut menganggap diri mereka sebagai bagian dari ummat Islam yang lain maka akan dijumpai penyatuan sikap terhadap berbagai masalah termasuk dalam penetapan awal dan akhir Ramadlan. Di sinilah relevensi pentingnya eksistensi seorang khalifah yang menyatukan kaum muslim termasuk dalam penetapan awal dan akhir Ramadlan.

Oleh karena itu setiap muslim di tempat manapun ia berada wajib untuk berpuasa jika telah mendengar pengumuman dari negeri muslim manapun selama masih dalam malam yang sama. Demikian pula dengan mengakhiri Ramadlan kecuali dari negeri yang menjadikan hisab falak sebagai sandaran keputusan mereka. Ini karena metode tersebut sebagaimana yang telah dijelaskan di atas adalah metode yang keliru. Wallahu a’lam bis shawab (muis)


* Disadur dari Kitab al-Jâmi’ li Ahkâmi as-Shiyâm, karya Mahmud Latif Uwaidhah dengan sejumlah penambahan

[1] Lihat, Ibu Hajar, Fath al-Bâry, I/121

[2] Ibid, IV/123

[3] Ibnu Qudamah, al-Mughny, I/10

[4] Al-Istidzkar, III/282

[5] As-Syaukany, Nailu al-Authâr, VI/267

[6] Ibid, VI/267

[7] Lihat juga as-Syaukany, Nailu al-Authâr, VI/267