JAKARTA–Rekomendasi DPR dan keinginan pemerintah untuk merevisi UU 15/2003 tentang pemberantasan terorisme menuai reaksi negatif. Rencana penambahan masa penangkapan dan penahanan serta penguatan fungsi intelijen juga ditolak.
”Ide itu sama sekali tidak beralasan. Dasarnya tidak kuat,” kata Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Usman Hamid, Selasa (1/9) di Jakarta. Menurut dia, perpanjangan masa penahanan tidak menjamin penanganan pidana terorisme akan lebih efektif. Begitu pun jika kewenangan intelijen diperkuat.
Usman pun mengingatkan kembali, bahwa pemberian masa penangkapan (detention without charge) 7 kali 24 jam pada UU 15/2003, dulu pun sudah dianggap cukup oleh pemerintah. Masa penangkapan ini memang sudah lebih panjang daripada pidana umum yang hanya 1 kali 24 jam. Dia menduga, ini hanya ketidakmampuan jajaran polhukam mengatasi dan mengevaluasi keadaan.
Intelijen, tegas! Usman, jangan sampai mendapat kewenangan masuk ke wilayah penegakan hukum. Ia minta agar jangan pernah memberikan kewenangan lebih kepada intelijen, selain dalam pendeteksian dini dan pemberian informasi.
Menurut Usman, dibandingkan melakukan revisi UU 15/2003, lebih baik mengefektifkan kinerja Polri. Revisi, tegas dia, tak akan mengubah apa pun tanpa ada upaya konkret. ”Lebih baik dana yang ada digunakan untuk peningkatan kapasitas Polri atau dialokasikan untuk pengamanan tempat strategis,” ujar dia.
Apalagi, ujar Usman, selama ini sudah ada pengaturan peran intelijen TNI dan BIN terkait terorisme. Dananya pun teralokasi. ”Evaluasinya seperti apa kok bisa meminta tambah kewenangan ? ” tanya dia.
Masalah masa penahanan -diusulkan diperpanjang menjadi minimal dua tahun, dari sebelumnya 180 hari- menurut Usman, tak bisa disamakan dengan Singapura dan Malaysia. Indonesia lebih demokraits dengan penegakan HAM dan hukum, ujarnya, serta lebih! baik daripada kedua negara itu.
Ketua Komnas HAM, ! Ifdhal Kasim, pun berpendapat masa penahanan dua tahun tak bisa dilaksanakan. Karena, kata dia, penanganan terorisme di Indonesia menggunakan pendekatan pidana mengacu pada KUHP. ”Beda kalau (dicanangkan) perang melawan terorisme. Kalau itu terjadi, tak cukup revisi perpasal, tapi perubahan UU (anti) teroris,” ujar dia.
Sebelumnya, rapat kerja Komisi I DPR dan jajaran Kementerian Koordinator Polhukam merekomendasikan revisi UU 15/2003. Menkopolkam Widodo AS dalam rapat tersebut menyatakan revisi yang diharapkan terutama terkait posisi dan peran intelijen dan Polri.
Direktur Desk Antiteror kementerian ini, Ansyad Mbai, berpendapat penambahan masa penahanan untuk tersangka pelaku terorisme merupakan kebutuhan mutlak. Dia beralasan, penanganan terorisme berkaitan dengan masalah jaringan. Butuh waktu relatif lama untuk bisa mengungkap jaringan itu.
Anggota Komisi I DPR Abdillah Toha mengatakan revisi UU 15/2009 harus dilakukan dengan pertimban! gan sangat matang. ”Jangan dari sejumlah kasus menjadikan pemerintah mengubah pendekatan penanganan pidana terorisme,” ujar dia dalam rapat tersebut. Menurut dia, lebih baik pengoptimalan kinerja daripada mengubah payung hukum. (Republika online, 1/9/2009)