Kaum Muslim di Mali menggagalkan perundang-undangan sekuler terkait perempuan yang dengan jelas bertentangan dengan Islam. Ribuan rakyat Mali melakukan demontrasi di jalan-jalan ibukota Bamako dan kota-kota lainnya sepanjang beberapa pekan terakhir untuk memprotes undang-undang sekuler tersebut. Sementara, Presiden Amadou Toumani Toure berusaha keras untuk meloloskannya di parlemen.
Undang-undang itu menetapkan bahwa bagi seorang istri tidak perlu taat pada perintah suaminya. Dan sebagai gantinya, masing-masing suami-istri harus tunduk kepada yang lain dengan menunjukkan loyalitas dan rasa hormat.
Begitu juga, menurut ketentuan undang-undang ini bahwa perempuan memiliki hak (bagian) yang lebih besar dalam warisan. Bahkan undang-undang ini telah menetapkan usia minimal perkawinan bagi anak perempuan, yaitu berusia 18 tahun.
Di antara materi undang-undang ini yang paling penting yang memicu kemarahan adalah penilaian terhadap pernikahan sebagai institusi sekuler alias tidak terikat agama.
Presiden Toure terpaksa membatalkan ratifikasi terhadap undang-undang, dan mengembalikannya ke parlemen untuk dibahas lagi. Hal ini dilakukan setelah ia mendapatkan tekanan yang terus meningkat dari publik terkait undang-undang ini, yaitu undang-undang yang oleh beberapa pemimpin Islam dinilainya sebagai “karya setan” dan melawan Islam.
Sungguh kerasnya penentangan terhadap hukum positif yang kafir ini, menegaskan bahwa rezim pemerintah yang berkuasa di negeri-negeri dunia Islam sedang berada di sebuah lembah, sementara rakyatnya tinggal di lembah lain. (al-aqsa.org, 10/9/2009)