Kalau kami produksi minyak lebih banyak lagi, tidak ada yang membeli,” kata Raja Abdullah saat menutup KTT produsen-konsumen minyak. Semua pemimpin dunia pusing mencari solusi menahan laju harga. Kaya minyak, kok, tak berdaya? Di sini, selain disambut amarah rakyat, pemerintah juga disambut ”hak angket”. Sementara itu, yang tak punya minyak menari-nari dengan perdagangan dan spekulasi.
Ketidakberdayaan ini tak dapat diatasi dengan kecurigaan dan bermabuk wacana, apalagi dengan jalan pintas. Banyak hal telah berubah dan kita harus berlari lebih kencang lagi. Namun, ada yang sudah berubah, tetapi miskin pengakuan sehingga memicu frustrasi.
Menari di atas bara api
Ibarat menari di atas bara api dengan genderang ditabuh orang lain, Indonesia jelas menderita. Dulu, genderang itu ditabuh International Oil Company (IOC, perusahaan swasta, seperti Exxon Mobil, Chevron, dan Shell) yang bekerja sama dengan National Oil Company (NOC, milik negara, seperti Saudi Aramco, Petronas, Petrobras, Statoil, PDVSA Venezuela, dan Pertamina). Namun, sejak menjadi net importer, kita cuma menjadi penari, sedangkan genderangnya berpindah ke pengendali keuangan di bursa komoditas.
Kongres Amerika mengungkapkan, investasi terbesar belakangan ini berbentuk ”paper” di bidang energi. Porsinya bergeser dari 4,6 persen (2003) menjadi 30,7 persen (2005), dan sekarang di atas 50 persen (NYMEX, 2006). Menurut The New York Times, keuntungan minyak sebesar 1,5 miliar dollar AS yang dinikmati Goldman Sachs dan Morgan Stanley (2005) menimbulkan efek domino panjang.
Stok minyak (juga kekayaan) telah beralih dari NOC-IOC kepada para trader dan pelaku sektor keuangan yang tidak punya sumur, fasilitas kilang, gudang, atau kapal. Persepsi yang hidup di bursa itu berbeda dengan angka riilnya. Lord Browne, mantan CEO BP, menandaskan, ”Tidak ada indikasi kelangkaan. Naiknya harga tidak berhubungan dengan suplai-permintaan.”
Maka, harga minyak pun bergerak-gerak seperti harga saham. Secara empiris, semua ini hanya bisa ditangkal NOC dengan membentuk oil trader yang kuat.
Transformasi NOC
Karena kini minyak diperdagangkan trader dan ”spekulator”, penting mentransformasi tangan-tangan perdagangan NOC. Masalahnya, NOC selalu sarat belenggu dengan berbagai aturan dan diganggu berbagai kepentingan. Kalau belenggu-belenggu itu tidak dilepaskan, oil trader tidak bisa bergerak optimal karena pengambilan keputusannya butuh manuver cepat, perencanaan matang, jaringan luas, dan manajemen keuangan yang canggih. Pengawasan perlu, tetapi bukan dengan kecurigaan berlebihan, apalagi dengan bureaucratic control. Gunakan saja result-based control yang lazim dipakai perdagangan modern.
Di Indonesia, harus diakui, banyak kemajuan yang dicapai dari transformasi Pertamina yang didasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001. Namun, kemajuan itu mahal pengakuan karena banyak kepentingan terusik, baik dari dalam maupun luar negeri.
Kalau Pertamina kuat, misalnya, tidak ada ruang bagi tangan-tangan perdagangan asing yang mengincar pasar-pasar gemuk di kota-kota besar. Mereka akan berjuang mengarahkan Pertamina agar mengurus pasar di pinggiran saja yang ongkos kirim BBM-nya lebih mahal dengan menunjukkan NOC Indonesia ini kalah bersaing karena tidak efisien.
Di negara yang politiknya kondusif, NOC-nya berhasil memutasikan DNA oil trader-nya. Aramco, misalnya, melakukan penetrasi ke Amerika dengan jaringan SPBU Motiva. Petronas membeli jaringan SPBU di Afrika Selatan, Petrobras (Brasil) mengembangkan eksplorasi laut dalam bersama Statoil (Norwegia), dan NIOC (Iran) keuangannya beroperasi di New Jersey dan Swiss.
Untuk menangkal spekulator, NOC memodernkan tangan- tangan oil trading-nya. PETCO (milik Petronas), NICO (milik NIOC-Iran), Saudi Petroleum International (Saudi Aramco), Sonatrach Petroleum International (Sonatrach, Aljazair), Q8 (Kuwait), dan Petral (Pertamina) mengalami overhaul.
Oil Trading Company itu ditaruh di pusat perdagangan dunia dan serius melawan broker yang dulu dikuasai para kroni. Mereka juga bertransformasi dari buying agent menjadi trader modern.
Wajah baru ”trader” minyak
Jelaslah kesejahteraan kini sudah tidak bisa dipungut begitu saja dari perut bumi. Sebagai big consumer, Indonesia bisa sejahtera melalui Pertamina asalkan Petral dipertajam perannya dengan melakukan transaksi jangka panjang untuk pasar domestik, tetapi juga melakukan penetrasi global, kerja sama dengan pemilik kilang mancanegara, swap produksi, dan sebagainya. Adaptasi diperlukan untuk menghadapi wajah perdagangan yang sudah berubah.
Ia butuh fleksibilitas dan kepercayaan. Dan, karena financing-nya kompleks, butuh pemahaman tingkat tinggi, konsensus politik, dan status ”Approved Oil Trader” yang dikeluarkan otoritas perdagangan dunia.
Sepengetahuan saya, Petral sudah memilikinya, bahkan mulai kembali dipercaya bank asing. Jadi, Petral berpotensi memperoleh competitive price untuk konsumen Indonesia asalkan diberi kepercayaan lebih. Tanpa itu, hanya ada kecurigaan dan rakyat semakin menderita.
Rhenald Kasali Pengajar di Universitas Indonesia
Sumber : http://cetak.kompas.com
Masalah BBM di negeri kita cukup diselesaikan dengan peguasaan pasar dan daya saing Pertamina/petral saja? Bagaimana dengan sistem politik-ekonomi negara kita ini? Apakah masih layak dipertahankan?
menyeramkan…
jurig2 kapitalisme///
kapitalisme memang biang busuk dri segala kerusakan di muka bumi.
tegakkkan Islam. hancurkan Kapitalisme.
dasar kapitalisme tak tahu diri!!!!