JAKARTA–Pemerintah didesak untuk segera mengajukan rancangan Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi yang baru menggantikan UU No 21 tahun 2001 beserta peraturan pelaksanaan Ini RUU Minyak dan Gas Bumi. RUU Minyak dan Gas Bumi yang baru didasarkan atas pola pikir terpenuhinya energi nasional. RUU tersebut harus disampaikan kepada DPR RI selambat-lambatnya satu tahun setelah DPR mengeluarkan rekomendasi ini.
Keputusan itu merupakan hasil laporan Panitia Angket DPR RI tentang kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak pada 23 Mei 2008 lalu yang disampaikan dalam rapat paripurna DPR Senin (28/9). Ketika itu pemerintah menaikkan 28,7 persen BBM yang dinilai sangat membebankan masyarakat
Pimpinan Panitia Angket DPR RI tentang kebijakan pemerintah menaikkah harga bahan bakar minyak (BBM) Zulkifli Hasan mengatakan beberapa kelemahan mendasar kebijakan minyak dan gas bumi yang bersumber dari UU No 22 tahun 2001 yakni kuatnya peranan asing saat waktu pembahasan. Sehingga muatannya mengandung liberalisasi dibidang usaha minyak dan gas bumi.
Minyak dan gas bumi diperlakukan sebagai komoditas yang diperdagangkan secara bebas berdasarkan perhitungan untung rugi dalam perdagangan internasional dengan mengabaikan pola pikir ketahanan energi nasional. UU ini tidak memberikan kewenangan yang memadai baik bagi pemerintah maupun lembaga yang dibentuk untuk menangani fungsi pemerintah di bidang migas dalam mengendalikan produksi, pengadaan dan distribusi migas. “Dalam jangka panjang ini akan mempengaruhi ketahanan energi nasional,” kata dia.
Selanjutanya dalam kaitannnya dengan perpanjangan kontrak, ketentuan pasa 14 UU No 22 tahun 2001 perlu juga disempurnakan untuk mengutamakan perusahaan nasional dalam menjalankan kontrak kerjasama.
Dalam kaitannya dengan bagi hasil minyak, panitia angket merekomendasikan untuk mencantumkan dalam kontrak bahwa penjualan 40 persen dari kontrak kerjasama diprioritaskan kepada perusahaan nasional. “Agar kita dapat memperoleh hasil dari keuntungan pengolahan lanjutan dari penjualan minyak itu,” ujar dia.
Hal lain yang juga patut diperhatikan dalam UU yakni Kedudukan BP Migas dan BPH Migas. Kedepan dalam revisi UU, kedua lembaga ini harus lebih diperkuat sesuai dengan pola (mindset) ketahanan energi nasional. Begitu juga dengan PT Pertamina sebagai pelaku utama dalam Industri migas milik negara.
Terkait Subsidi yang diberikan pemerintah paska kenaikan BBM, Anggota DPR Komisi XI Harry Azhar Aziz menilai pemerintah tidak bisa mengalokasikan anggaran tertentu meski itu merupakan sisa dari penggunaan. Kalaupun pemerintah ingin menggunakannya untuk target subsidi maka harus melalui mekanisme APBNP. “Jadi tidak bisa sembarangan,” papar dia. (Republika online, 28/9/2009)