JAKARTA –Momentum krisis energi dan krisis pangan saat ini harus diantisipasi oleh pemerintah dan DPR dengan berinisiatif melakukan terobosan keputusan politik di sektor minyak dan gas bumi (migas). Intinya, industri migas nasional yang saat ini telah berumur 130 tahun harus ditangani oleh bangsa sendiri. “Caranya bisa dengan ‘nasionalisasi’ atau apapun namanya, ” kata Ketua Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Effendi Siradjuddin di Jakarta, kemarin.
Gagasan nasionalisasi, menurut Effendi, sebenarnya sudah dilakukan oleh Ibnu Sutowo melalui PT Permina saat mengambil alih lapangan Branda pada 1957. Ketika itu, Ibnu Sutowo mencanangkan, dalam 20 tahun industri migas nasional harus ditangani oleh bangsa sendiri. “Namun yang terjadi adalah set back, sehingga migas nasional justru dikuasai oleh asing,” ujar Effendi.
Effendi mencontohkan, nasionalisasi di Rusia diawali dengan keputusan Parlemen Duma membatasi kepemilikan asing maksimum 45 persen. Diikuti dengan negosiasi pemerintah dan menyisakan 20 persen dari 80 persen kepemilikan asing. “Bagi Indonesia, keputusan untuk ‘menasionalisasi’ kepemilikan asing merupakan pilihan yang tepat sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945,” kata Effendi.
Nasionalisasi layak dipertimbangkan, lanjut Effendi, utamanya jika melihat makin beratnya beban pemerintah, tambal sulam utang tiap tahun untuk menutupi dan masih besarnya potensi kekayaan nasional yang saat ini didominasi asing.
Selain itu, saat ini muncul kecenderungan di banyak negara pemilik tambang migas untuk menguasai dan mengelola sendiri kekayaan nasionalnya. “Pengamat energi dari Amerika Serikat bahkan meramalkan, pada 2012 hampir seluruh tambang migas di dunia sudah dikelola oleh bangsanya sendiri.”
Effendi tak menutup mata, SBY-JK telah bekerja sangat keras setahun terakhir. Namun, jujur diakui, telah terjadi kegagalan dalam implementasi kebijakan energi dan migas nasional yang bahkan telah berlangsung sejak 10 tahun lalu. Indikasinya, kegagalan program diversifikasi dan konservasi energi, penurunan produksi minyak terus-menerus, ketergantungan konsumsi BBM dalam negeri pada 70 persen minyak impor hampir 800 ribu barel per hari.
Realitas tersebut bila impor terhenti dinilai sangat rawan terhadap keamanan dan ketahanan nasional. Bahkan menurutnya keluar OPEC sebagai wujud badan kerja sama Selatan-Selatan negara penghasil minyak dinilai tindakan yang keliru. Apalagi, 80 persen produksi minyak nasional masih didominasi perusahaan migas asing. “Sebanyak 90 persen belanja sektor migas yang Rp 100 triliun per tahun, juga didominasi jasa dan barang asing.”
Effendi meyakini, nasionalisasi tidak haram dilakukan. Selain mengemban misi menyejahterakan rakyat, tindakan tersebut juga telah berlangsung di banyak negara. Contoh, nasionalisasi ala Venezuela atas lapangan Orinoco yang dikelola ExxonMobil. Selaku kontraktor, ExxonMobil meminta harga 25 miliar dolar AS, Venezuela hanya bersedia membayar 6 miliar dolar AS untuk lapangan Orinoco, yang memproduksi minyak 600 ribu barel per hari (bph) dengan cadangan terbukti 30 miliar barel. Venezuela menyelesaikan dengan Total Prancis senilai 834 juta dolar AS, ENI Italia dibayar US$ 700 juta, Statoil Norwegia dibayar 226 juta dolar AS, seluruhnya 1.80 miliar dolar AS.
Effendi mengkalkulasi, nasionalisasi model Venezuela sangat mungkin dilakukan Indonesia. Ia menghitung, Indonesia saat ini memiliki cadangan terbukti minyak sebesar 4,7 miliar barel dan cadangan potensial yang 5,0 miliar barel. Bila cadangan terbukti dan 50 persen cadangan potensial diproduksikan, asumsi harga minyak US$ 150 per barel, maka nilainya sekitar 1.000 miliar dolar AS.
( ant/dia )
Sumber : www.republika.co.id
Seharusnya mulai dari dahulu…
agar tidak seperti sekarang,,…
selalu bergantung oleh negara lain…
Wassalam
Migas adalah milik rakyat, haram hukumnya dikuasai asing. Pemerintah sekarang bekerja untuk kepentingan asing bukan untuk rakyat, sehingga pemerintah tidak mau, tidak berani melawan tuannya.
Pemerintah tarik subsidi untuk rakyat karena Pemerintah takut kalau subsidi untuk pemerintah dari pihak asing dicabut.
Selama sektor Migas masih dikuasai oleh pihak asing jangan harap Rakyat Indonesia bisa sejahtera. karena selain telah menzalimi rakyat, dengan menyerahkan Sektor Migas Kepada pihak asing Pemerintah juga telah bermasiat kepada Allah SWT. wahai penguasa yang zalim cepatlah bertobat sebelum terlambat.
Pemerintah wajib mengelola Migas secara mandiri dan hasilnya kembalikan kepada rakyat. Namun Pemerintah seperti itu hanya akan kita temukan dalam sistem Khilafah Islam yang akan menerapkan Syariat Islam secara Kaffah.
Setuju Pak!
memang minyak harus dikuasai oleh bangsa sendiri sejak dari dahulu agar bangsa ini tidak menderita terus menerus.
Bukankah…Dalam UUD pasal 33 yang mereka buat sendiri dikatan “Bumi, air, serta segala sesuatu yang terkandung didalamnya dikelola oleh negara dan di serahkan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat”…
Mereka bilang negeri ini negeri hukum, warga negara harus taat hukum..
Penguasanya sendiri tidak taat hukum…
Tidak
ada
kamus
kata
terlambat
bagi
sebuah
negeri
yang
ingin
memperbaiki
diri///
Selamatkan Negeri dengan Sistem Illahi###
Harus bisa!!!
seperti Buku yang sedang di rilis ma abang SBY plus pemuja setianya dino!
bisa dikelola jika sistem yang di terapkan di indonesia ini di ganti by khilafah!!
pasti bisa, salam dari bandung…
bagi para pejuang syariah dan khilafah di seluruh indonesia
u/iman ti bandung…salam perjuangan dari tanah bandung utara…
hanya orang yang ingin bunuh diri sajalah yang menyerahkan haknya untuk dikelola oleh musuhnya.
Yang jelas-jelas nampak merugikan adalah tambang emas raksasa, FREEPORT.
Pajak negara yang didapat sangat kecil,
Sewa lahan Freeport jauh lebih murah dibandingkan petani garapan menyewa lahan,
Alam menjadi rusak bak danau yang mati, banyak lubang raksasa di sana-sini.