Tuntutan Pemecatan Syaikh Al-Azhar Santer Disuarakan Karena Sikapnya Yang Ngawur Terkait Cadar

Anggota parlemen dari kelompok Islam terus menyuarakan tuntutan pemecatan Grand Syaikh Al-Azhar, Muhammad Sayyid Thanthawi, setelah insiden di mana ia memaksa seorang mahasiswi Al-Azhar untuk melepaskan cadarnya, memakinya, dan mengumumkan niatnya untuk mengeluarkan keputusan larangan masuknya para perempuan bercadar ke semua institut Al-Azhar. Sementara para aktivis hak asasi manusia (HAM) menekankan bahwa keputusan ini melanggar perundang-undangan dan konstitusi Mesir.

Dua orang anggota parlemen dari Ikhwan, Hamdi Hasan dan Ibrahim Abu Auf mengajukan tuntutan kepada Perdana Menteri—sebagai Menteri Urusan Al-Azhar—yang isinya meminta untuk memecat Thanthawi, serta melarangnya berbicara di radio, televisi dan surat kabar. Keduanya berkata: “Setiap kali ia berbicara isinya selalu berujung pada penghinaan terhadap lembaga keagamaan yang ia sendiri ada di dalamnya.”

Sekretaris hubungan organisasi parlemen dari Ikhwanul Muslimin, Dr Muhammad al-Baltaji berkata kepada channel Aljazeera di Internet: “Bahwasannya sikap Thanthawi yang merongrong semua makna moralitas dan rasa hormat terhadap orang lain, serta  ucapannya yang begit pedas terhadap gadis itu merupakan sesuatu yang mencederai nama baik Al-Azhar dan Islam.”

Dia menyatakan keprihatinan jika Thanthawi menjalankan “ancamannya” untuk melarang para perempuan bercadar berkuliah di Al-Azhar. Dia menegaskan niat para wakil rakyat untuk melawan setiap “tindakan sembrono seperti itu”. Bahkan dia berkata: “Siapa saja yang mencoba menentang religiusitas masyarakat, maka sungguh ia sedang menyatakan permusuhan terhadap semua orang Mesir.”

Dia menuduh “rezim penguasa tunduk kepada pemerasan (ancaman) beberapa pihak dan departemen yang mencoba menbatasi manifestasi keagamaan”. Dia berkata: “Rezim menerima pemerasan (ancaman) ini; karena dia ingin memuluskan situasi politik tertentu, serta membeli sikap diamnya departemen-departemen tersebut terkait korupsi pemerintahannya.”

Adapun para aktivis HAM, maka mereka melihat sikap Syaikh Al-Azhar dan Menteri Pendidikan sebagai sebuah “serangan baru atas hak-hak pribadi”. Bahkan mereka menganggap bahwa pelarangan terhadap para perempuan bercadar untuk kuliah di Al-Azhar atau tinggal di perumahan universitas merupakan tindakan “diskriminasi yang telanjang, dan jelas melanggar konstitusi.”

Sekretaris Jenderal Organisasi HAM Mesir, Hafidz Abu Saada berkata: “Bahwa tindakan sewenang-wenang terhadap para perempuan bercadar dalam pendidikan dan perumahan bertentangan dengan perundang-undangan dan konstitusi negara.”

Dia menekankan bahwa keputusan seperti itu “tidak memiliki dasar hukum, bertentangan dengan prinsip kewarganegaraan yang dianjurkan oleh pemerintah, dan juga bertentangan dengan deklarasi hak asasi manusia internasional, serta menolak prinsip penegakan hukum.” Bahkan dia menekankan bahwa konstitusi Mesir “menentang diskriminasi di antara warga negara atas dasar keyakinan atau agama.” (mediaumat.com)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*