HTI-Press. Keinginan pemerintah untuk melarang poligami secara meluas, membuat kembali persoalan poligami menjadi pro dan kontra. Kalau poligami dilarang berarti yang melakukan poligami akan dipenjarakan dan dianggap melakukan perbuatan kriminalitas. Berikut ini dialog dengan Najmah Saidah penulis buku Revisi Politik Perempuan yang juga merupakan aktivis Hizbut Tahrir Indonesia tentang kriminalisasi poligami ini (redaksi HTI Press).
Bagaimana pandangan ustadzah tentang peluasan larangan poligami ini?
Perlu kembali kita tekankah poligami adalah sah berdasarkan syariah Islam. Padahal, Islam telah secara tegas telah mengatur masalah poligami ini dengan rinci dan tegas, sebagaimana termaktub dalam firman Allah Swt. surat an-Nisa’ ayat 3. Allah SWT saja tidak melarangnya. Apa hak kita untuk melarang poligami. Upaya pelarangan poligami lebih beraspek politis yakni liberalisasi Indonesia dan stigmatisasi syariah Islam. Targetnya adalah sangat jelas agar masyarakat menjauhi dan berprasangka negatif terhadap syariah Islam.
Menurut Ibu, siapa sebenarnya dibalik kriminalisasi poligami ini?
Sepertinya momen ini dimanfaatkan oleh kalangan feminis yang memang anti poligami. Kaum feminis radikal memandang, bahwa kebolehan poligami merupakan deklarasi penindasan laki-laki atas perempuan yang tiada akhir. Mereka menuduh agama Islam—yang membolehkan poligami—telah bertindak bias jender. Pandangan seperti ini telah merasuki pikiran banyak aktivis perempuan dewasa ini. Bahkan, pandangan seperti ini seakan-akan memperoleh legitimasi dengan adanya praktik-praktik poligami di tengah masyarakat kita yang tidak sesuai dengan tuntunan Islam. Ditambah lagi dengan adanya sosialisasi yang sistematis dan berkesinambungan tentang percitraan negatif ibu tiri/istri muda, baik melalui film maupun cerita-cerita rakyat.Berbeda dengan pendapat di atas, ada pula yang berpendapat bahwa dilarangnya poligami justru menjadi pemicu dan cenderung melegalisasi prostitusi. Kita simak salah satu ungkapannya, “Bayangkan saja, dengan tidak diperbolehkan menikah lagi, banyak pria memiliki wanita simpanan….Padahal, daripada berzina, kan lebih baik dikawin secara resmi.”
Jadi menurut Ibu poligami adalah solusi?
Tidak dapat kita pungkiri, bahwa bahtera kehidupan pernikahan seseorang tidak selalu berjalan dengan mulus; kadang-kadang ditimpa oleh cobaan atau ujian. Pada umumnya, sepasang lelaki dan perempuan yang telah menikah tentu saja sangat ingin segera diberikan momongan oleh Allah Swt. Akan tetapi, kadang-kadang ada suatu keadaan ketika sang istri tidak dapat melahirkan anak, sementara sang suami sangat menginginkannya. Pada saat yang sama, suami begitu menyayangi istrinya dan tidak ingin menceraikannya.Adapula keadaan ketika seorang istri sakit keras sehingga menghalanginya untuk melaksanakan kewajibannya sebagai ibu dan istri, sedangkan sang suami sangat menyayanginya; ia tetap ingin merawat istrinya dan tidak ingin menceraikannya. Akan tetapi, di sisi lain ia membutuhkan wanita lain yang dapat melayaninya.Ada juga kenyataan lain yang tidak dapat kita pungkiri, bahwa di dunia ini ada sebagian lelaki yang tidak cukup hanya dengan satu istri (maksudnya, ia memiliki syahwat lebih besar dibandingkan dengan lelaki pada umumnya). Jika ia hanya menikahi satu wanita, hal itu justru dapat menyakiti atau menyebabkan kesulitan bagi sang istri. Lebih dari itu, fakta lain yang kita hadapi sekarang adalah jumlah lelaki lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah perempuan; baik karena terjadinya banyak peperangan ataupun karena angka kelahiran perempuan memang lebih banyak daripada lelaki.
Nah, dari berbagai fakta yang tidak dapat dipungkiri di atas, yang merupakan bagian dari permasalahan umat manusia, kita dapat membayangkan, seandainya pintu poligami ini ditutup maka justru kerusakanlah yang akan terjadi di tengah-tengah masyarakat. Dari sini dapat dipahami, bahwa poligami sebetulnya dapat dijadikan sebagai salah satu solusi atas sejumlah problem di atas.
Apa itu bisa menjadi dasar kebolehan poligami?
Bukan , hal itu bukan dalil untuk berpoligami. Dalil nya jelas Al Qur’an , tapi hikmah poligami akan menyelesaikan persoalan manusia. Fakta-fakta tersebut sekadar mendukung pemahaman, bahwa poligami merupakan salah satu solusi bagi sebagian persoalan/permasalahan yang dihadapi umat manusia. Sementara itu, dalil tentang kebolehan poligami ini tetap harus bertumpu pada nash-nash syariat, yakni al-Quran dan Hadis Rasullulah saw.
Bisa ustadzah jelaskan lebih rinci tentang dalil poligami?
Islam telah membolehkan kepada seorang lelaki untuk beristri lebih dari satu orang. Hanya saja, Islam membatasi jumlahnya, yakni maksimal empat orang istri, dan mengharamkan lebih dari itu. Hal ini didasarkan firman Allah Swt. berikut:
Nikahilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi masing-masing dua, tiga, atau empat—kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, kawinilah seorang saja—atau kawinilah budak-budak yang kalian miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat pada tindakan tidak berbuat aniaya. (QS an-Nisa’ [4]: 3).
Ayat di atas diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. pada tahun ke-8 Hijrah untuk membatasi jumlah istri pada batas maksimal empat orang saja. Sebelumnya sudah menjadi hal biasa jika seorang pria Arab mempunyai istri banyak tanpa ada batasan. Dengan diturunkannya ayat ini, seorang Muslim dibatasi hanya boleh beristri maksimal empat orang saja, tidak boleh lebih dari itu. Menurut Taqiyuddin an-nabhani, hal ini dapat dipahami dari ayat di atas jika kita baca secara berulang-ulang, yaitu: Nikahilah oleh kalian wanita-wanita yang kalian sukai dua-dua, tiga-tiga, atau empat-empat.
Ungkapan di atas dapat kita analogikan pada hal lain, misalnya, kita mengatakan, “Tolong, bagikan kue ini dua-dua (masing-masing dua).” Dengan ungkapan seperti ini saja kita akan memahami, bahwa kue tersebut dibagikan kepada setiap orang dua buah dan tidak boleh lebih dari itu. Demikian pula dengan ayat di atas, yang mengindikasikan bahwa setiap pria boleh menikahi wanita; masing-masing dua, tiga, atau empat orang; tidak boleh lebih dari itu.
Bagaimana dengan syarat Adil?
Memang, dalam lanjutan kalimat pada ayat di atas terdapat ungkapan: Kemudian jika kalian khawatir tidak akan berlaku adil, nikahilah seorang saja. Artinya, jika seorang pria khawatir untuk tidak dapat berlaku adil (dengan beristri lebih dari satu), Islam menganjurkan untuk menikah hanya dengan seorang wanita saja sekaligus meninggalkan upaya untuk menghimpun lebih dari seorang wanita. Jika ia lebih suka memilih seorang wanita, itu adalah pilihan yang paling dekat untuk tidak berlaku aniaya atau curang. Inilah makna dari kalimat: yang demikian adalah lebih dekat pada tindakan tidak berbuat aniaya.
Namun demikian, secara mutlak, keadilan bukanlah syarat kebolehan berpoligami. Hal ini tergambar dalam ungkapan ayat: Nikahilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi dua-dua, tiga-tiga, atau empat-empat. Ayat ini mengandung pengertian mengenai kebolehan berpoligami secara mutlak. Kalimat tersebut telah selesai (sebagai sebuah kalimat sempurna, red.). Kalimat itu kemudian dilanjutkan dengan kalimat berikutnya: Kemudian jika kalian khawatir…..Kalimat ini bukan syarat, karena tidak bergabung dengan—atau merupakan bagian dari—kalimat sebelumnya, tetapi sekadar kalam mustanif (kalimat lanjutan). Seandainya keadilan menjadi syarat, pastilah akan dikatakan seperti ini: Fankihû mâ thâba lakum min an-nisâ’ matsnâ wa tsulâtsâ wa rubâ’a in adaltum (Nikahilah wanita-wanita yang kalian senangi dua-dua, tiga-tiga, atau empat-empat asalkan/jika kalian dapat berlaku adil)—sebagai suatu kalimat yang satu.
Akan tetapi, hal yang demikian, tidak ada, sehingga aspek keadilan secara pasti bukanlah syarat diperbolehkan poligami. Artinya, perkara ini merupakan hukum syariat yang berbeda dengan hukum syariat yang pertama. Yang pertama adalah bolehnya berpoligami sampai batas empat orang, kemudian muncul hukum yang kedua, yaitu lebih disukai untuk memilih salah satu saja jika dengan berpoligami ada kekhawatiran pada seorang suami tidak dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya.
Ada yang mengatakan adil itu berat, hanya bisa dilakukan oleh Rosulullah SAW?
Jelas keliru, dalam Islam masalah keadilan diperintahan dalam banyak hal, seperti ketika hakim memutuskan perkara harus adil, bukan hanya masalah poligami. Kalau Allah SWT memerintahkan seperti itu, artinya Allah SWT tahu bahwa manusia bisa berbuat adil. Menganggap manusia tidak bisa berbuat adil berarti melecehkan Allah SWT, seakan-akan Allah SWT tidak tahu tentang kesanggupan manusia. Dan perlu kita pahami, perintah adil dalam poligami diatas bukan hanya ditujukan kepada Rosulullah saw tapi kepada seluruh kaum muslim.
Ayat itu menggunakan kata kum yang artinya kalian yang ditujukan untuk banyak orang. Jadi bukan Rosulullah saw seorang. Terbukti sahabat Rosulullah saw juga banyak yang berpoligami, demikian juga kaum muslim yang mengikuti Rosulullah dan para sahabat sesudahnya.
Lantas apa yang dimaksud adil disana?
Keadilan yang dituntut atas seorang suami terhadap istri-istrinya bukanlah keadilan yang bersifat mutlak, tetapi keadilan yang memang masih berada dalam batas-batas kemampuannya—sebagai manusia—untuk mewujudkannya. Sebab, Allah Swt. sendiri tidak memberi manusia beban kecuali sebatas kemampuannya, sebagaimana firman-Nya:
Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS al-Baqarah [2]: 286).
Memang benar, kata an-Nabhani, kata ta‘dilû pada ayat yang dimaksud berbentuk umum, yakni berlaku bagi setiap bentuk keadilan. Akan tetapi, kata yang bersifat umum ini di-takhsîs (dikhususkan), yakni sesuai dengan kemampuan alami manusia, berdasarkan ayat berikut:
Sekali-kali kalian tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian walaupun kalian sangat menginginkannya. Oleh karena itu, janganlah kalian terlalu cenderung (kepada salah seorang istri yang kalian cintai) hingga kalian membiarkan istri-istri kalian yang lain terkatung-katung. (QS an-Nisa’ [4]: 129).
Melalui ayat di atas Allah menjelaskan, bahwa manusia tidak akan dapat berlaku adil dalam hal-hal tertentu. Hanya saja, harus disadari, hal ini tidak berarti bahwa Allah menganiaya manusia. Sebab, Allah berfirman:
Tuhan kalian tidak akan pernah menganiaya seorang manusia pun. (QS al-Kahfi [18]: 59).
Bagaimana pandangan ulama dalam masalah ini?
Berkenaan dengan ketidakmampuan manusia berlaku adil sebagaimana yang ditunjukkan dalam al-Quran surat an-Nisa’ ayat 129 di atas, Ibn ‘Abbas menjelaskan bahwa ketidakmampuan yang dimaksud adalah dalam perkara kasih sayang dan syahwat suami terhadap istri-istrinya. Sebaliknya, selain dalam dua perkara ini, seorang suami akan mampu berlaku adil kepada istri-istrinya. Keadilan selain dalam kasih sayang dan syahwatnya inilah yang sebetulnya dituntut dan diwajibkan atas para suami yang berpoligami. Sebaliknya, keadilan dalam hal kasih sayang dan kecenderungan syahwatnya bukanlah sesuatu yang diwajibkan atas mereka. Hal ini dikuatkan oleh Hadis Nabi saw., sebagaimana dituturkan ‘Aisyah r.a.:
Rasullullah saw. pernah bersumpah dan berlaku adil seraya berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku bersumpah atas apa yang aku sanggupi. Oleh karena itu, janganlah Engkau memasukkanku ke dalam perkara yang Engkau sanggupi tetapi tidak aku sanggupi. (yaitu hatinya). (HR Abu Dawud).
Bukankah hal ini bisa membuat perempuan menderita?
Jelas tidak, sebab hal diatas bukan berarti bahwa seorang suami berhak untuk memberikan kasih sayang dan melampiaskan kecenderungan syahwatnya secara berlebihan kepada salah satu istrinya dan menahannya kepada yang lain. Sebab, dalam surat an-Nisa’ ayat 129 ini pun Allah Swt. memerintahkan kepada seorang suami untuk menjauhkan diri dari kecenderungan yang berlebihan kepada salah seorang istrinya dengan menelantarkan yang lain. Sebab, keadaan semacam ini akan menjadikan seorang istri dalam keadaan terlantar atau terkatung-katung; antara memiliki suami dan tidak. Hal ini diperkuat pula oleh sebuah Hadis Nabi saw., sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairah r.a.:
Siapa saja yang mempunyai dua orang wanita (istri), kemudian ia cenderung kepada salah seorang di antara mereka, niscaya ia akan datang pada Hari Kiamat kelak dengan berjalan sambil menyeret salah satu pundaknya dalam keadaan terputus atau berat sebelah. (HR Ahmad).
Walhasil, keadilan yang diwajibkan atas suami terhadap istri-istrinya adalah dalam hal-hal yang mampu dilakukankanya sebagai manusia, misalnya dalam giliran menginap; dalam memberi pakaian, makanan, dan tempat tinggal; dsb. Jika seorang suami tidak berlaku adil dalam hal-hal di atas, berarti ia telah bermaksiat kepada Allah. Sebaliknya, yang termasuk dalam kecenderungan, seperti dalam kecintaan dan syahwat, seorang suami tidak dituntut harus adil. Sebab, hal-hal semacam itu termasuk dalam perkara yang sulit untuk diwujudkan.
Inilah salah satu kekayaan intelektual muslimah alias kaum ibu. Bayangkan, kita hidup di negeri daulah islamiyah. Kemudian para ibu yang cerdas seperti ibu NS membina putra-putrinya di rumah dengan tsaqofah Islam yang bernas. Niscaya generasi muslim sejak dini akan dibentengi dengan aqidah yang kokoh dan tumbuh dewasa dengan kecermatan berpikir yang memancar cemerlang dari akidahnya itu. Tetapi… nyatanya kita hidup di negeri yang kaum ibunya rata-2 tunduk oleh pemikiran Barat, sadar tak sadar menjerumuskan putra-putrinya tumbuh menjadi manusia yang goncang aqidahnya dan lembek cara berpikirnya. Dalam kondisi perang budaya sekarang ini, HTI wajib menampilkan laskar muslimah yang cerdas (masih buanyak kok yang lain-lain) untuk tampil di medan pertarungan pemikiran. Ibu NS, salam tabik dari kami.
hiks… jadi kangen mbak Naj….
hiks..hiks… jadi kepingin punya Istri aktifis HTI nih..
Islam dan Al Quran sebagai rahmatan lil alamin telah memberikan penjelasan secara gamblang tentang berbagai kaidah kehidupan termasuk didalamnya masalah poligami. semoga semakin banyak muslimah yang cerdas dengan berpegang teguh pada syariat Islam agar terhindar dari fitnah ideologi barat yang menyesatkan.