Hadist dibawah ini menjelaskan bahwa ujian akan terus menghampiri seorang mukmin –dalam riwayat lain seorang hamba- selama ia masih bernafas. Bahkan hidup dan mati itu sendiri merupakan ujian untuk mengetahui siapa hamba yang paling baik amalnya (QS al-Mulk [67]: 2).
« لاَ يَزَالُ الْبَلاَءُ بِالْمُؤْمِنِ أَوِ الْمُؤْمِنَةِ فِى نَفْسِـهِ وَفِى مَالِهِ وَفِى وَلَدِهِ حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَمَا عَلَيْهِ مِنْ خَطِيئَةٍ »
Ujian akan terus menghampiri orang mukmin dan mukminah pada diri, anak dan hartanya, hingga ia menjumpai Allah dan tidak ada kesalahan yang harus dia tanggung (HR Ahmad, Tirmidzi, Ibn Hibban, al-Hakim, al-Baihaqi, Abu Ya’la dan al-Bukhari di al-Adab al-Mufrad)
Balâ’ secara bahasa artinya imtihân wa al-ikhtibâr (ujian dan cobaan). Dan menurut Ibn al-Atsir dan lainnya balâ’ itu terjadi dalam kebaikan (khayr) dan keburukan (syarr). Maka makna hadis tersebut adalah bahwa ujian dan cobaan dalam bentuk kebaikan (khayr) dan keburukan (syarr) akan terus menimpa mukmin dan mukminah atau hamba pada umumnya. Allah pun menegaskan hal itu dalam firmanNya:
وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً
Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). (QS al-Anbiyâ’ [21]: 35)
Ujian dan cobaan (balâ’) dapat berupa kebaikan ataupun keburukan, kenikmatan maupun musibah. Kita harus senantiasa sadar akan hal ini. Umumnya, orang menilai ujian dan cobaan itu berupa keburukan atau musibah. Sebaliknya jarang sekali kenikmatan dan sesuatu yang baik dinilai sebagai ujian. Namun nash-nash syara’ menjelaskan bahwa semuanya merupakan ujian untuk menguji apakah kita bisa sabar saat menghadapi musibah dan bersyukur saat mendapat kenikmatan dan kebaikan. Dan apakah kita tetap istiqamah di jalanNya dalam dua keadaan itu.
Kesenangan yang kita dapatkan merupakan ujian apakah kita menjadi orang yang bersyukur atau tidak. Tidak jarang orang lulus ketika diuji dengan musibah dan kesusahan, namun ia gagal saat diuji dengan kenikmatan dan kesenangan. Kesadaran bahwa kesenangan itu merupakan ujian akan menuntun kita untuk tetap terjaga dan tidak terlena dengan kenikmatan itu lantas kehilangan keistiqamahan dan terjebak menikmati kesenangan itu.
Sebaliknya saat musibah atau keburukan menimpa, itu juga merupakan ujian apakah kita bersabar menghadapinya dan ridha menerimanya ataukah tidak. Jika kita mampu bersabar maka itu adalah kebaikan yang luas. Karena setiap musibah sekecil apapun yang menimpa, jika kita hadapi dengan kesabaran maka itu bisa menggugurkan dosa dan menaikkan derajat kita di hadapan Allah. Rasulullah saw pernah bersabda:
« لاَ يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ شَوْكَةٌ فَمَا فَوْقَهَا إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةً »
Tidaklah sebuah duri mengenai seorang muslim atau lebih dari itu kecuali dengannya Allah mengangkatnya satu derajat dan menghapus darinya satu kesalahan (HR Tirmidzi, Muslim, Ahmad, Ibn Hibban, al-Baihaqi)
Dalam riwayat lainnya dikatakan: “niscaya dengan musibah itu Allah mencatat satu kebaikan baginya”. Yaitu pahala atas keridhaannya terhadap qadha, kesabarannya, dan bersyukur serta hanya mengadukan musibahnya kepada Allah SWT.
Karenanya bagi orang mukmin, semuanya akan menjadi kebaikan. Rasul bersabda:
« عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ »
Menakjubkan perkara seorang mukmin itu, sesungguhnya semua urusannya merupakan kebaikan. Hal itu tidak menjadi milik seorangpun kecuali orang mukmin. Jika mendapat kesenangan ia bersyukur maka itu merupakan kebaikan baginya. Dan jika ditimpa kesusahan ia bersabar maka itu merupakan kebaikan baginya (HR Ahmad, Muslim, ad-Darimi, Ibn Hibban dan al-Baihaqi)
Hendaklah kita sadar sepenuhnya, bahwa kedudukan, kecukupan harta, dan berbagai kesenangan lainnya adalah ujian. Semoga kita tak lupa bersyukur dan tetap istiqamah di jalan Allah, tidak terlena dengan kesenangan itu.
Hendaknya kita juga selalu sadar bahwa kesusahan, musibah dan berbagai ketidaksenangan yang menimpa merupakan ujian. Hendaknya kita berusaha untuk sabar karena Rasul pernah bersabda:
« … وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ ، وَمَا أُعْطِىَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ »
Siapa yang berusaha untuk sabar niscaya Allah akan menjadikannya mampu bersabar. Tidaklah seorangpun diberi suatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas dari kesabaran (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai, at-Tirmidzi dan ad-Darimi) Allâhumma ij’alnâ min asy-syâkirîn wa ash-shâbirîn. [ Yahya Abdurrahman]
Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman, Artinya,
“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mu’min).” (QS. Ali Imran : 179)
Juga firman-Nya yang lain, Artinya,
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira, bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah ber-iman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. Al- Ankabut: 1-2)
Kalau saja tidak ada ujian dan coba-an, maka tidak akan diketahui mana orang yang benar keimanannya dan mana orang yang di dalam hatinya ada penyakit. Salah satu kisah yang mem-berikan pelajaran berharga kepada kita semua adalah yang terjadi pada masa Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam , ketika terjadi perang Ahzab, Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata, “Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya”. Dan (ingatlah) ketika segolongan di antara mereka berkata, ”Hai penduduk Yatsrib (Madinah), tidak ada tempat bagimu, maka kembalilah kamu”. Dan sebahagian dari mereka minta izin kepada Nabi (untuk kembali pulang) dengan berkata, “Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga)”. Dan rumah-rumah itu sekali-kali tidak terbuka, mereka tidak lain hanyalah hendak lari.” (QS. Al-Ahzab:12-13)
Maka musibah dan cobaan yang Allah turunkan, akan menyingkap hakikat keimanan seseorang dan agar setiap jiwa dapat menilai diri masing-masing. Bisa saja setiap orang meng-klaim dirinya mukmin, namun sekedar pengakuan tanpa dapat memberikan bukti nyata tidaklah cukup. Dengan cobaan dan ujian masing-masing diri akan merenungi apa yang ada pada dirinya.
Betul tidak?
Hidup adalah perjuangan untuk menjadi terbaik dan kembali ke tempat yg baik, syurga Allah