Jakarta – Infotainment yang bersifat ghibah menjamur dan dilahap pasar. Hal ini terjadi karena penonton tak punya pilihan.
“Kalau infotainment sifatnya memberikan info yang mencerdaskan bangsa dan yang mengibur masyarakat silakan saja. Tapi sekarang ini infotainment tidak informatif dan menghibur,” ujar anggota Dewan Pers Abdullah Alamudi ketika berbincang dengan detikcom, Jumat (25/12/2009) malam.
Dia pun mencontohkan program infotainment yang menghibur seperti Republik Mimpi. Alamudi mengatakan hendaknya infotainment tidak mengungkap masalah keluarga yang berkaitan dengan aib. Seperti kawin cerai artis, atau siapa berpacaran dengan siapa, siapa berselingkuh dengan siapa.
“Infotainment yang isinya seperti itu tidak mencerdaskan bangsa dan masyarakat dan tidak ada nilai kepentingan umumnya,” tukas dia.
Kondisi infotainment yang bersifat ghibah itu diperparah dengan sistem infotainment yang umumnya dipesan stasiun TV kepada rumah produksi. Alhasil, yang mengerjakan berita infotainment pun karyawan rumah produksi itu, bukan stasiun media yang menayangkan acaranya. Sifat pekerjanya lebih banyak outsourcing dan minim pengetahuan etika jurnalistik.
Lantas kenapa infotainment malah marak dan dilahap masyarakat?
“Soalnya masyarakat tidak punya pilihan. Setiap ada infotainment, yang lain membuat program yang serupa, kan latah. Kalau satu stasiun bikin program yang beruntun yang lain pada ikut-ikutan,” tuturnya.
Masyarakat yang risih dengan infotainment yang tidak mendidik, disarankan Alamudi untuk bisa protes ke Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) atau media yang menayangkan infotainment itu.
Namun, Abdullah menilai terlalu dini jika infotainment dilarang, kendati banyak melanggar kaidah jurnalistik. “Infotainment barangkali tidak perlu dilarang. Yang penting diarahkan supaya lebih banyak informasi dan hiburan yang berguna buat masyarakat,” tandas Alamudi. (detik.com, 26/12/2009)