MATA publik kian terbuka setelah Pansus Hak Angket Bank Century bekerja lebih dari sebulan. Terbuka tidak hanya terhadap berbagai kejanggalan dalam kasus Bank Century, tapi lebih dari itu terbuka betapa amburadulnya lembaga bernama Bank Indonesia.
Pemanggilan pejabat dan mantan pejabat BI oleh Pansus Bank Century menjadi kunci yang membuka kebobrokan di tubuh bank sentral Indonesia itu. Bobrok tidak hanya segi perilaku pejabatnya, tapi juga buruk dalam sistem kerjanya.
Padahal, semula publik memandang BI sebagai lembaga bergengsi. BI, sejak reformasi, menjadi salah satu dari sedikit lembaga negara yang menikmati secara penuh otonomi. Gubernur BI tak lagi ditunjuk oleh Presiden, tapi dipilih oleh DPR lewat uji kepatutan dan kelayakan. BI tidak bisa dan tidak boleh diintervensi oleh lembaga lain.
Gengsi lembaga BI tidak sebatas itu. Sebagai jantung perekonomian Indonesia, para petinggi BI menikmati gaji yang amat tinggi. Mereka menerima gaji ratusan juta rupiah setiap bulan, di luar berbagai fasilitas dan insentif lainnya.
Karena itu, mereka yang duduk di jajaran petinggi BI berasal dari kalangan terbatas dan tentu saja mereka adalah orang-orang yang berkualitas.
Kapasitas dan profesionalitas pejabat BI tidak perlu diragukan lagi. Juga, sikap mental mereka sejatinya tak perlu disangsikan.
Namun, pandangan publik berbalik tiga ratus enam puluh derajat setelah sebulan menyaksikan pengadilan politik terhadap kasus Bank Century di Senayan. Bobot yang selayaknya disandang pejabat dari sebuah lembaga negara yang independen tidak terlihat sama sekali.
Tengok, misalnya, kesaksian para pejabat dan mantan pejabat BI di sidang Pansus Bank Century sejauh ini. Mereka saling silang pendapat dan saling lempar tanggung jawab. Bahkan, tidak jarang melimpahkan tanggung jawab ke pejabat di bawahnya.
Padahal, mereka sama-sama mengikuti rapat. Sama-sama membahas, bahkan lewat perdebatan panas, dan seharusnya sama-sama mengetahui hasil rapat.
Lebih dari itu, rapat-rapat baik menyangkut proses merger Bank Century maupun proses bailout, semuanya tercatat. Seandainya ada pejabat yang tak mengikuti rapat, toh mereka dilapori.
Jadi, tidak ada alasan untuk saling silang pendapat terhadap keputusan yang dihasilkan dari sebuah rapat. Bahwa prosesnya terjadi perdebatan sengit, tentu sesuatu yang wajar-wajar saja.
Pengadilan politik di Senayan juga memperlihatkan betapa faktor pengawasan menjadi titik amat lemah di BI. Rasionalitas publik jelas amat terganggu ketika sebuah bank kecil yang berkali-kali melakukan pelanggaran justru memperoleh fasilitas pinjaman jangka pendek, bahkan di-bailout.
Mekanisme pengawasan langsung dan tidak langsung, yang semestinya menjadi senjata ampuh BI untuk membedah bank bermasalah, sama sekali tidak dijalankan. Bahkan, akuntabilitas dan transparansi, yang diagung-agungkan BI, juga diabaikan dalam kasus Bank Century.
Sepertinya BI tidak belajar dari pengalaman kasus BLBI, cessie Bank Bali, aliran dana ke DPR, yang menyeret sejumlah pejabat BI ke bui. BI yang semula dipandang lembaga terhormat dan bermartabat, berubah menjadi lembaga sarang penyamun duit negara. Bank Century dijadikan piaraan untuk memuluskan nafsu para penyamun.
Para pejabat BI, seperti lembaga-lembaga korup lainnya, kerap melakukan kejahatan dengan berlindung di balik kebijakan. Selama prosedur dipenuhi, kejahatan dianggap sah.
Karena itu, sudah waktunya KPK melakukan penyadapan kepada para pentinggi BI agar borok di bank sentral itu tidak berubah menjadi penyakit yang mematikan.(mediaindonesia.com, 11/1/2010)