Indonesian Corruption Watch (ICW) memperkirakan perputaran uang dalam praktik pungutan liar di lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan, seperti terjadi selama ini, bisa mencapai miliaran Rupiah. Praktik macam itu diyakini terus terjadi sampai sekarang lantaran sistem yang ada di pemerintahan selama tidak pernah mampu melakukan pembenahan dan perbaikan secara menyeluruh.
Bahkan dari hasil penelitian ICW di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang diketahui dalam setahun perolehan uang pungli di sana bisa mencapai Rp 4,8 miliar. Hal itu disampaikan peneliti ICW Illian Deta Arthasari, Kamis (14/1/2010), usai menemui Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum di Gedung Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Jalan Veteran, Jakarta Pusat.
Menurut Illiana, selain perolehan Rp 4,8 miliar dari berbagai pungutan di pintu-pintu gerbang tempat keluar masuk narapidana atau tahanan, termasuk ketika menerima kunjungan dari luar, pungutan liar juga terjadi pada uang lauk pauk, yang per orang bisa dimintai sekitar Rp 150.000 setiap minggu.
“Dari pungutan liar uang lauk pauk saja kalau ditotal per tahun bisa mencapai sekitar Rp 10,8 miliar. Belum lagi pungutan terkait pemberian remisi, pembebasan bersyarat, izin keluar untuk berobat, atau cuti menjelang bebas, yang diketahui memang sangat bisa dikomersialkan. Setiap urusan tadi ada hitungannya, untuk pembebasan bersyarat bisa dipungut sampai Rp 2,8 miliar dan untuk remisi sampai Rp 1,5 miliar per tahunnya,” ujar Illiana.
Illiana lebih lanjut menegaskan, semua proses hukum mulai dari tahap laporan hingga eksekusi bisa “diuangkan”. Oleh karena itu pihaknya beserta sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) lain datang menemui satgas untuk member masukan terkait modus dan peta praktik mafia hukum di Indonesia, yang diharapkan dapat digunakan oleh satgas dengan baik.
Tiga rekomendasi
Pertemuan dilakukan secara tertutup selama sekitar empat jam. Seluruh anggota satgas hadir seperti Ketua Satgas Antimafia Hukum Kuntoro Mangkusubroto beserta anggota lainnya seperti Denny Indrayana, Mas Ahmad Santosa, dan Yunus Husein. Dalam pertemuan sejumlah LSM seperti Pukat UGM, LEIP, dan MAPPI FHUI juga menyerahkan tiga rekomendasi.
Ketiga rekomendasi itu antara lain desakan agar satgas melakukan terapi kejut dengan mengusut kasus-kasus yang diduga melibatkan mafia hukum dari kalangan pejabat departemen atau instansi terkait. Satgas juga diminta mengidentifikasi orang-orang yang diduga terlibat dan disebut-sebut terlibat, seperti terungkap dalam pemutaran hasil penyadapan di Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu.
“Jangan menganggap makelar kasus berasal dari luar institusi karena mereka yang berseragam pun diketahui sangat mungkin terlibat. Selain itu dalam rekomendasi yang kedua, kami minta pemerintah melakukan perubahan dan pembenahan sistemik. Tidak cukup hanya dengan melakukan reformasi birokrasi, yang pada beberapa lembaga hanya diartikan sebatas menaikkan remunerasi, sehingga prosesnya kehilangan arah,” ujar Illiana.
Sangat tidak adil jika gaji terus dinaikkan, dalam rangka mereformasi birokrasi, sementara praktik jual beli hukum terus berlanjut. Lebih lanjut dalam rekomendasi yang ketiga, satgas diminta mengidentifikasi dan kemudian mengevaluasi para pejabat terkait penegakan hukum, yang kinerjanya terbukti tidak mendukung proses perubahan di institusinya. Bahkan kalau bisa satgas merekomendasikan orang-orang seperti itu tidak lagi bisa menduduki suatu jabatan lagi.
Sementara itu usai pertemuan, anggota satgas Denny Indrayana mengatakan pihaknya walau tidak punya kewenangan penindakan, mereka akan tetap berkoordinasi dengan instansi terkait terutama dalam hal penindakan. Dengan begitu secara tidak langsung mereka juga bisa masuk dalam konteks penindakan, terutama dalam konteks administratif.
“Memang kami akui tidak mudah menjalankan ketiga rekomendasi tadi namun tetap akan kami upayakan. Dalam menjalankan tugas tentunya kami akan memprioritaskan kasus-kasus high profile, besar atau kakap sehingga upaya pemberantasan mafia hukum yang kami lakukan akan bisa menggaung. Kami juga akan lebih menyasar para pelaku utamanya,” ujar Denny. (kompas.com, 15/1/2010)
Memang tidak cukup yang dilakukan hanya reformasi birokrasi.
Untuk apa reformasi dilakukan jika memang sistem yang mengaturnya saja sudah bobrok.
Hanya Islam satu-satunya sistem yang layak untuk diterapkan.
Allahuakbar!