Puluhan ribu orang menghadapi bencana kedua malam ini saat mereka berjuang untuk bertahan hidup di Haiti menyusul berlangsungnya guncangan gempa bumi terdahsyat di negara ini dalam 200 tahun terakhir pada 12 Januari 2010. Di tengah kondisi tanpa persediaan pangan, air atau tempat berlindung untuk para korban gempa, beberapa petugas badan kemanusiaan terus berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan korban yang masih berada di bawah reruntuhan dari sejumlah gedung yang hancur akibat terjangan gempa.
Ribuan orang yang diperkirakan terputus kontaknya dari keluarga maupun sahabat mereka diperkirakan berjuang hidup sendiri di dalam benaman reruntuhan. Beberapa saksi mata menggambarkan beberapa selokan penuh dengan lumuran darah dan sejumlah anak tidur di atas tumpukan sejumlah jenazah setelah terpisah dari orangtua mereka. Keprihatinan akan kondisi kemanusiaan semakin terlihat dari minimnya sanitasi dasar dan meluasnya wabah penyakit yang dikhawatirkan dapat menelan ribuan korban jiwa.
Palang Merah Internasional yang mendapatkan laporan dari Pemerintah Haiti menjelaskan sekitar 40.000 hingga 50.000 orang tewas akibat bencana gempa bumi ini. “Sekitar 3 juta jiwa penduduk atau sepertiga dari jumlah penduduk Haiti terkena dampak langsung gempa,” jelas Xavier Castellanos, kepala International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies untuk zona Amerika.
Selain mendesak masyarakatnya untuk mendukung permohonan bantuan darurat, Perdana Menteri Inggris Gordon Brown menggambarkan situasi ini sebagai “tragedi yang tak terlintas dalam imajinasi.” Pemerintah Inggris telah menjanjikan bantuan senilai 10 juta poundsterling termasuk alokasi 6 juta poundsterling untuk membentuk Komite Darurat Bencana.
Sejumlah tim penyelamat terpaksa menggali dengan tangan mereka sendiri berton-ton reruntuhan bangunan untuk menyelamatkan mereka yang terjebak di dalamnya. Sementara para warga di Port-au-Prince berlindung dengan berjejal di sejumlah kamp pengungsi sementara, taman, atau lokasi olahraga di sekitar ibukota Haiti yang sebagian besar gedung- gedungnya hancur diguncang oleh gempa bumi.
Aksi penjarahan berlangsung di sejumlah wilayah dan pasukan perdamaian PBB yang markasnya telah hancur akibat terguncang gempa bumi berupaya memulihkan kestabilan keamanan. “Seluruh taman terisi penuh oleh kerumunan manusia yaitu mereka yang kehilangan tempat tinggal atau ketakutan untuk kembali ke kediamannya,” tutur Laura Bickle, seorang warga AS yang bertugas di sebuah panti asuhan di Port-au-Prince.
“Tim penyelamat berupaya menarik mereka yang terjebak di dalam reruntuhan. Tumpahan darah terlihat mengalir di selokan bagaikan air,” demikian dikisahkan Gareth Owen, direktur urusan pemulihan kemanusiaan darurat Save the Children, mengenai situasi di lokasi bencana.
“Ini merupakan pengalaman traumatis yang sulit dipercaya oleh anak-anak di Haiti. Kami yakin ada 2 juta anak-anak yang menjadi korban gempa. Sebagian besar dari mereka masih berada di sekolah saat guncangan gempa berlangsung,” ujar Gareth.
Sebagian besar anak-anak yang membutuhkan bantuan medis darurat akibat cedera yang diderita terancam menjadi yatim piatu. Mereka harus tidur sendiri tanpa ditemani sanak-saudara atau orangtuanya dengan menatap sejumlah mayat yang tergeletak di sekitarnya. Anak-anak ini tidak mengetahui ke mana harus mencari bantuan. (kompas.com, 15/1/2010)