Pernyataan Hizbut Tahrir Indonesia: “Tolak ACFTA”

Nomer: 175/PU/E/01/10                                              Jakarta, 27 Januari 2010/11 Shafar 1431 H

PERNYATAAN HIZBUT TAHRIR INDONESIA

“TOLAK ACFTA

Sesuai dengan rencana, sebagai perwujudan dari perjanjian perdagangan bebas antara enam negara anggota ASEAN (Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina dan Brunei Darussalam) dengan China yang disebut dengan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA), mulai Januari 2010 telah dilaksanakan. Itu artinya, mulai saat itu di antara negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia dan China harus membuka pasar dalam negeri secara luas.

Meski disebut-sebut akan ada banyak keuntungan yang bakal diraih dari perdagangan bebas ini, seperti bakal meningkatnya ekspor ke Cina dan negara-negara ASEAN dan meningkatnya penanaman modal di Indonesia, tapi munculnya sejumlah mudharat sudah di depan mata, yakni:

Pertama: serbuan produk asing terutama dari Cina dapat mengakibatkan kehancuran sektor-sektor ekonomi rakyat. Sebelum tahun 2009 saja Indonesia telah mengalami proses deindustrialisasi (penurunan industri). Berdasarkan data Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, peran industri pengolahan mengalami penurunan dari 28,1% pada 2004 menjadi 27,9% pada 2008. Diproyeksikan 5 tahun ke depan penanaman modal di sektor industri pengolahan mengalami penurunan US$ 5 miliar yang sebagian besar dipicu oleh penutupan sentra-sentra usaha strategis IKM (industri kecil menegah). Jumlah IKM yang terdaftar pada Kementrian Perindustrian tahun 2008 mencapai 16.806 dengan skala modal Rp 1 miliar hingga Rp 5 miliar. Dari jumlah tersebut, 85% di antaranya akan mengalami kesulitan dalam menghadapi persaingan dengan produk dari Cina (Bisnis Indonesia, 9/1/2010).

Kedua: pasar dalam negeri yang diserbu produk asing dengan kualitas dan harga yang sangat bersaing akan mendorong pengusaha dalam negeri berpindah usaha dari produsen di berbagai sektor ekonomi menjadi importir atau pedagang saja. Sebagai contoh, harga tekstil dan produk tekstik (TPT) Cina lebih murah antara 15% hingga 25%. Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat Usman, selisih 5% saja sudah membuat industri lokal kelabakan, apalagi perbedaannya besar (Bisnis Indonesia, 9/1/2010). Hal yang sangat memungkinkan bagi pengusaha lokal untuk bertahan hidup adalah bersikap pragmatis, yakni dengan banting setir dari produsen tekstil menjadi importir tekstil Cina atau setidaknya pedagang tekstil. Gejala inilah yang mulai tampak sejak awal tahun 2010.

Ketiga: karakter perekomian dalam negeri akan semakin tidak mandiri dan lemah. Segalanya bergantung pada asing. Bahkan produk “tetek bengek” seperti jarum saja harus diimpor. Jika banyak sektor ekonomi bergantung pada impor, sedangkan sektor-sektor vital ekonomi dalam negeri juga sudah dirambah dan dikuasai asing, maka apalagi yang bisa diharapkan dari kekuatan ekonomi Indonesia?

Keempat: jika di dalam negeri saja kalah bersaing, bagaimana mungkin produk-produk Indonesia memiliki kemampuan hebat bersaing di pasar ASEAN dan Cina? Data menunjukkan bahwa tren pertumbuhan ekspor non-migas Indonesia ke Cina sejak 2004 hingga 2008 hanya 24,95%, sedangkan tren pertumbuhan ekspor Cina ke Indonesia mencapai 35,09%. Kalaupun ekspor Indonesia bisa digenjot, yang sangat mungkin berkembang adalah ekspor bahan mentah, bukannya hasil olahan yang memiliki nilai tambah seperti ekspor hasil industri. Pola ini malah sangat digemari oleh Cina yang memang sedang “haus” bahan mentah dan sumber energi untuk menggerakkan ekonominya.

Kelima: peranan produksi terutama sektor industri manufaktur dan IKM dalam pasar nasional akan terpangkas dan digantikan impor. Dampaknya, ketersediaan lapangan kerja semakin menurun. Padahal setiap tahun angkatan kerja baru bertambah lebih dari 2 juta orang, sementara pada periode Agustus 2009 saja jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 8,96 juta orang.

Jelas sekali, pasar bebas merupakan bagian dari paket liberalisasi ekonomi dengan ciri utamanya berkurangnya peran dan tanggungjawab pemerintah dalam sektor ekonomi, kemudian menyerahkan semuanya kepada individu dan mekanisme pasar (kekuatan penawaran dan permintaan).  Pandangan ini jelas bertentangan dengan Islam dilihat dari tiga aspek:

Pertama, dihilangkannya peran negara dan pemerintah di tengah-tengah masyarakat, yang notabene harus berperan dan bertanggung jawab terhadap seluruh urusan rakyatnya. Kedua, perdagangan bebas, dimana seluruh pemain dunia, bisa bermain di dalam pasar domestik tanpa hambatan, tanpa lagi dilihat apakah pemain tersebut berasal dari Dar al-Harb Fi’lan atau tidak, juga jelas bertentangan dengan Islam. Sebab, Islam memandang perdagangan internasional tersebut berdasarkan pelakunya; jika berasal dari Dar al-Harb Fi’lan, seperti AS, Inggeris, Perancis, Rusia, dsb, jelas haram.

Ketiga, perdagangan bebas, dari aspek kebebasan masuknya investasi dan dominasi asing di dalam pasar domestik, jelas menjadi sarana penjajahan yang paling efektif, dan membahayakan perekonomian negeri ini. Karena itu, jelas sekali Perjanjian perdagangan bebas seperti ACFTA merupakan bentuk penghianatan terhadap rakyat yang seharusnya dilindungi dari ketidakberdayaan ekonomi..

Berkenaan dengan hal itu, Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan:

1.      Menolak ACFTA dan seluruh implementasinya karena secara pasti itu akan menimbulkan mudharat sebagaimana disebut di atas, serta bertentangan dengan ketentuan syariah tentang peran dan tanggung jawab negara untuk melindungi dan mengurusi kepentingan rakyatnya.

2.      ACFTA merupakan bukti kesekian kali dari bagaimana kekuatan kapitalisme global tak henti dengan berbagai cara terus berusaha melanggengkan dan mengokohkan dominasi atas dunia Islam khususnya, dan negara-negara lemah pada umumnya demi kepentingan politi dan ekonomi mereka.

3.      Menyerukan kepada umat Islam dan seluruh rakyat Indonesia untuk bergerak bersama berjuang merubah sistem ekonomi kapitalis menjadi sistem Islam karena sesunguhnya Islam menawarkan kepada umat suatu sistem ekonomi yang dapat membangun kemandirian negara sekaligus menjamin berkembangnya industri dalam negeri serta sektor ekonomi lainnya. Negara juga wajib mengatur ekspor dan impor barang sehingga betul-betul bisa mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat. Sebab, kewajiban negara untuk menjadi pelindung bagi rakyatnya.

Wassalam,

Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia

Muhammad Ismail Yusanto

Hp: 0811119796 Email: Ismaily@telkom.net

5 comments

  1. kasihan pebisnis dalam negeri yang belum siap

  2. Pemimpin adalah penggembala rakyat,ia bertanggung jawab atas keamanan dan kesejahteraan ummat.

  3. Padahal ekonomi dan militer adalah bentuk riil kekuatan sebuah negara. Militer kita ompong, ekonomi kita ga punya gigi……….
    di mata negara lain, Indonesia sdh loyo total. Sekali serang juga K.O..

    Payah nih….

  4. Sudah jelas, banyak mudhorotnya…
    atau, pengen terus mempertahankan kondisi yang sudah ada?? Rakyat sengsara,penguasa cuek aja…
    kembalikan kejayaan Islam dengan penerapan syariah secara kaffah…!!

  5. kalau pemimpin adalah penggembala rakyat, maka terserah penggembala mau menyembelih, mau menjual atau mau menggelapkannya..

    kalau mau mari mulailah berjual beli dengan dinar, jangan uang kertas karena sewaktu2 uang kertas tidak ada harganya alias cuman kertas, hindari riba yang menyertai kartu kredit, emas dan perak/dinar dan dirham adalah alat tukar yg tidak merugikan

    kalo perdagangan dalam negeri menggunakan dinar & dirham maka perdagangan luar negeri khususnya export gunakan dinar dirham, bolehlah untuk import menggunakan uang kertas, dengan demikian negara akan kuat ekonominya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*