Menag Siap Uji Materi

Kebebasan agama tanpa aturan memudahkan terjadinya penodaan agama.

JAKARTA – Menteri Agama (Menag), Suryadharma Ali, menegaskan, pihaknya telah siap menghadapi judicial review atau uji materi terhadap peraturan perundang-undangan terkait pencegahan, penyalahgunaan, dan/atau penodaan agama. Demikian pula, dengan menteri hukum dan hak asasi manusia (HAM).

”Kita sudah siapkan argumen hukum untuk mematahkan argumen kelompok yang meminta pengujian terhadap aturan itu. Kami mendapatkan kuasa dari Presiden. Posisi pemerintah adalah mematahkan atau menggugurkan gugatan uji materi itu,” kata Suryadharma saat berbicara pada Rakernas Kementerian Agama 2010, di Jakarta, Senin (1/2) malam.

Pernyataan Suryadharma terkait gugatan pengujian materi terhadap Peraturan Presiden Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agama yang kemudian diundangkan melalui UU Nomor 5/1969. Gugatan dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh LSM yang tergabung dalam Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama (AKKB).

Selain telah menyiapkan argumen-argumen hukum, kata Suryadharma, pihaknya juga telah berkonsolidasi dengan seluruh ormas Islam. Pun, dengan ormas-ormas agama lainnya. Mereka juga akan memberikan counter sebagai pihak yang terkait. ”Kami telah berkoordinasi dengan ormas Islam dan organisasi keagamaan non-Muslim.”

Dalam gugatan judicial review, kata Suryadharma, para penggugat menghadap-hadapkan peraturan perundangan tentang penistaan atau penodaan agama, yang menjadi dasar pelayanan terhadap enam agama yang sah, dengan UUD 1945 Pasal 28 E. Ini terkait dengan kebebasan dalam beragama.

Menurut Suryadharma, dalam menjalankan kebebasan beragama, juga harus memahami dan menjalankan Pasal 28 J ayat 1 dan 2 UUD 1945. Ini mendorong setiap orang wajib orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Juga, mendorong orang dalam menjalankan hak dan kebebasannya, wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Dengan maksud, semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain. Pun, untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.

Terkait dengan desakan kebebasan melalui gugatan ini, Suryadharma mengatakan, saat ini saja banyak aliran sempalan yang bermunculan. Keberadaannya justru menodai agama yang ada. ”Bayangkan jika kebebasan beragama dibuka seluas-luasnya. Tanpa adanya pengaturan, penodaan agama akan mudah terjadi,” katanya.

Kemarin, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) bersama Tim Pembela Muslim, mengajukan diri sebagai pihak yang terkait dalam sidang judicial review itu. Jubir HTI, Ismail Yusanto, mengatakan, ada dua argumen yang mendasari langkah HTI, yaitu tanpa undang-undang itu, kekerasan justru akan terjadi. Orang akan bertindak sendiri-sendiri.

Menurut Ismail, undang-undang yang mengatur pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama, itu juga tak bertentangan dengan HAM. ”Hak itu, seharusnya dibatasi dengan aturan untuk menjaga kemurnian agama,” katanya. Jika aturan itu dihapus, tak akan ada lagi aturan yang melarang penghinaan dan pelecehan terhadap agama.

Sementara itu, dari MK yang diwakili Kepala Biro Administrasi Perkara dan Persidangan, Kasianur Sidauruk, berjanji akan segera mengoordinasikan permohonan itu kepada pimpinan Mahkamah Agung. Pihaknya juga akan mencoba menyesuaikan jadwal bagi HTI untuk bisa berbicara dalam sidang.

Rencananya, dalam sidang pada Kamis (4/2), akan mendengarkan keterangan pemerintah, DPR, dan saksi ahli, seperti Jimly Ashidiqqie, Alqi Shihab, Azyumardi Azra, Amien Rais, Quraish Shihab, dan sejumlah nama lainnya. Beberapa institusi keagamaan juga meminta waktu untuk berbicara.

Ancam NKRI
Secara terpisah, Badan Silaturahmi Ulama Pesantren Madura (Basra), menyatakan penolakan terhadap judicial review tersebut. Mereka menyatakan, jika MK mengabulkan, akan mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). ”Jika dikabulkan, akan banyak perbedaan,” kata KH Abdul Ghoffur, pengasuh Ponpes Al Mujtamak.

Ghoffur, yang menjadi bagian dari Basra itu, mengatakan, pencabutan undang-undang tersebut tak bisa menggunakan alasan demokrasi. Sebab, keberadaannya, justru wujud pemberian kebebasan oleh pemerintah. ”Ini kan bukan alasan demokrasi atau HAM. Tapi, masalah agama, di mana semua orang berhak mempertahankan agama yang dianutnya. (republika, 3/2/2010)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*