JAKARTA- Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ahmad Bagdja menegaskan, kuatnya kalangan Islam menolak uji materi peraturan perundangan tentang penodaan agama bukan sikap menang-menangan kelompok mayoritas.
“Ini soal prinsip, bukan menang-menangan,” kata Bagdja di Jakarta, Senin. Dikatakannya, umat Islam, khususnya NU, sangat menghormati pemeluk agama dan keyakinan atau kepercayaan yang lain, namun bukan berarti lantas bersikap permisif terhadap aliran yang jelas-jelas melakukan penodaan terhadap agama yang diakui undang-undang.
“Ketika suatu aliran mengaku bagian dari agama tertentu, namun dalam beberapa hal prinsip mereka jelas-jelas berbeda dengan agama itu sendiri, apa itu bukan penodaan?” katanya.
Lain halnya jika aliran itu tidak mengaku-aku bagian dari agama tertentu atau tidak mengambil sebagian ajaran dan praktik ibadah agama tertentu yang kemudian diubah semaunya sendiri.
“Kalau sampai aturan tentang penodaan agama itu dicabut, hal-hal semacam ini akan semakin marak karena bisa dilakukan dengan leluasa,” katanya.
Dikatakannya, ketika aturan itu dibuat, saat itu Indonesia sudah merupakan negara pluralis, sudah ada beberapa agama dan aliran kepercayaan yang eksis. Aturan itu dibuat sebagai tatanan agar kehidupan beragama dan berkeyakinan berjalan tertib.
“Para pendiri bangsa ini pun telah bersepakat bahwa negara ini bukan negara agama, namun mereka memberikan penghargaan yang tinggi kepada agama,” kata kandidat ketua umum PBNU itu.
Melalui aturan yang ada, lanjutnya, negara bukan bermaksud mencampuri urusan internal agama atau keberagamaan warga negaranya, namun menjaga agar tercipta kehidupan beragama yang tertib dan damai.
“Kalau terjadi ada aliran tertentu yang jelas-jelas menodai agama tertentu, apakah negara atau pemerintah harus diam saja, tidak mau tahu, dan menyerahkan urusan itu ke umat? Tentu anarkhi yang timbul,” katanya.
Menurutnya, memberikan kebebasan bagi tindakan penodaan terhadap agama bukanlah suatu prestasi yang patut dibanggakan bagi sebuah bangsa. (republika.co.id, 8/2/2010)