Pengganti-pengganti Amerika Bertemu di London Untuk Mengakhiri Warisan Kegagalannya
Adnan Khan (Hizbut Tahrir Inggris)
Pada saat sekutu-sekutu Amerika dan pengganti-penggantinya berkumpul di London untuk mendiskusikan bagaimana mereka merencanakan untuk menyelamatkan dari perang yang gagal, perang di Afghanistan digambarkan sebagai tindakan merendahkan diri Amerika karena mereka tidak mampu mengalahkan sekumpulan pasukan, yang ukurannya lebih kecil dari pasukan koalisi dan dengan senjata yang lebih tua dari senjata yang banyak dimiliki pasukan asing yang ikut dalam perang itu.
Oleh karena itu ini akan menjadi momen yang tepat untuk meninjau ulang peristiwa-peristiwa yang telah mengarahkan situasi ini di Afghanistan dan kemungkinan arah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi. Harus diingat sejak awal bahwa konferensi ini tidak akan terjadi apabila Barat memang berada dalam posisi yang kuat. Bahkan kita harus bertanya bagaimana teknologi yang paling maju dalam sejarah militer telah dibuat tidak berarti oleh para pejuang suku-suku itu yang menggunakan senjata yang dibuat pada tahun 1960an.
Perang melawan teror
Peristiwa 9 / 11 telah membuat mesin militer Amerika dalam posisi siaga penuh. Dalam Perang Dunia 2 Amerika telah memobilisir dengan ekspansi besar-besaran atas kompleks industri militer setelah Pearl Harbour dihancurkan oleh pasukan Jepang. Namun ketika menyerang Afghanistan militer AS hanya mengerahkan sedikit pasukan di darat. Rencananya adalah bahwa Pasukan Khusus, dan para perwira intelijen dengan latar belakang militer, akan menjadi penghubung dengan para milisi Afghanistan untuk menentang Taliban, yang akan maju setelah kekompakan kekuatan Taliban dilumpuhkan oleh kekuatan udara Amerika.
Serangan udara itu berlangsung selama sekitar satu bulan dan dianggap hanya memiliki pengaruh yang kecil saja. Amerika meminta bantuan negara-negara di sekitar Afganistan seperti Pakistan dan Iran untuk menyediakan pasokan rute untuk dilakukannya serangan. Aliansi Utara, berjuang melawan Taliban menangkap Mazari Sharif dan kemudian dengan cepat menguasai sebagian besar bagian utara Afghanistan dan menguasai Kabul pada bulan November 2009, setelah Taliban mundur dari kota itu. Kota terakhir yang dikuasai Taliban di utara, yakni Kunduz, jatuh ke tangan Amerika pada tanggal 26 November 2001 dan Taliban mundur ke Kandahar – ke bagian Selatan Negara itu. Ketika Kandahar diserbu, Taliban telah melarikan diri ke Pakistan.
Pada bulan Desember 2001 atas nama Amerika, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyelenggarakan Konferensi Bonn di Jerman. Tujuannya adalah menciptakan suatu proses politik yang akan membawa semua suku yang berbeda, para panglima perang dan faksi-faksi di Afghanistan kedalam rancangan politik yang dibangun Amerika. Para pesertanya termasuk wakil-wakil dari empat kelompok oposisi Afghanistan – Pushtun, Hazara, Tajik dan Uzbek – semua kelompok-kelompok itu adalah anti-Taliban. Para pengamat menyertakan wakil-wakil dari negara-negara tetangga seperti Pakistan dan Iran. Hasilnya adalah Perjanjian Bonn menciptakan
Otoritas Interim Afganistan yang akan mengawasi transisi Afghanistan menuju suatu konstitusi baru dan memilih pemerintah Afghanistan yang baru.
Dalam sejarahnya, semua orang yang menyerang Afghanistan, baik Inggris atau Uni Soviet, menaklukkan Afghanistan dengan sangat cepat karena jumlah pasukan mereka yang luar biasa besar. Sementara Amerika hanya mengerahkan 20.000 tentara dan tidak pernah mengalahkan Taliban, namun memastikan mereka hengkang dari Negara itu. Namun, sejarah telah menunjukkan bahwa konsolidasi Afghanistan adalah tantangan yang sesungguhnya. Uni Soviet pada puncaknya telah mengerahkan 320 000 pasukan di Afganistan selama usaha yang dilakukannya untuk menduduki Afghanistan pada tahun 1980an. Pada akhirnya, Uni Soviet meninggalkan wilayah itu dengan dipermalukan dan dikalahkan. Marsekal Sergei Akhromeyev, panglima angkatan bersenjata Soviet ketika itu, menyimpulkan invasi itu dalam laporannya di politbiro Uni Soviet di Kremlin pada tanggal 13 November 1986 bahwa: “nyaris hampir tidak ada bagian penting tanah Afghanistan yang belum pernah diduduki oleh salah satu prajurit kita suatu waktu atau lainnya, “kata komandan itu. “Namun demikian, sebagian besar wilayah itu tetap berada di tangan para teroris. Kami mengontrol pusat-pusat propinsi, tetapi kami tidak dapat mempertahankan kontrol politik atas wilayah yang kita merebut.” Dia menambahkan: “tentara kami tidak bisa disalahkan. Mereka telah berjuang dengan luar biasa berani dalam kondisi buruk. Tapi untuk menduduki kota-kota dan desa-desa untuk sementara waktu hanya memiliki nilai yang kecil dalam negeri yang begitu luas, di mana para pemberontak bisa menghilang begitu saja ke atas bukit.”
Ada juga bukti yang cukup yang menunjukkan bahwa AS telah merencanakan untuk menyerbu Afghanistan sebelum 11 /9. Dalam sebuah artikel BBC, Niaz Naik, mantan Menteri Luar Negeri Pakistan, mengklaim bahwa dia telah diberitahu oleh para pejabat senior Amerika pada bulan Juli 2001 bahwa aksi militer terhadap Afghanistan akan dimulai paling lambar pada pertengahan bulan Oktober. Pesan itu disampaikan selama pertemuan di Afganistan antara para diplomat senior Amerika Serikat, Rusia, Iran, dan Pakistan. Pertemuan itu adalah yang ketiga dalam serangkaian pertemuan di Afganistan, dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya telah diadakan pada bulan Maret 2001. Selama pertemuan Juli 2001 itu, Naik diberitahu bahwa Washington akan melancarkan operasi militer dari pangkalan-pangkalan di Tajikistan – di mana para penasihat Amerika sudah berada di sana – dan bahwa tujuannya yang lebih luas adalah untuk menggulingkan rezim Taliban dan menempatkan pemerintahan boneka sebagai penggantinya.
Perang Irak
Pada saat Amerika mulai menginvasi Irak pada bulan Maret 2003, Hamid Karzai yang merupakan antek Amerika, telah ditunjuk sebagai kepala otoritas sementara dan pada tahun 2004 ia menjadi presiden resmi Afghanistan setelah pemilihan umum yang penuh dengan kecurangan yang meluas. Hamid Karzai memberikan berbagai jabatan sementara kepada para pendukungnya sambil menghilangkan pengaruh dari Aliansi Utara. Bagi Amerika US berbagai faksi yang berbeda itu, yang sebelumnya telah menggunakan kekerasan untuk mencapai kepentingan mereka, kini berjuang untuk kepentingan mereka sendiri melalui proses politik yang diilhami AS, yakni sebuah proses yang melestarikan perbedaan etnis dan kepentingan – suatu resep mujarab untuk menciptakan bencana.
Keberadaan Amerika menjadi rusak di Irak karena pemberontakan menguras tenaga pasukan Amerika. Selama periode ini banyak sumber daya AS terfokus pada konflik Irak karena Negara itu menjadi pusat kebijakan AS. Selama periode ini perhatian dunia beralih pada melonjaknya bencana di Irak karena Amerika tidak dapat menahan pemberontakan yang dilakukan oleh berbagai kelompok Shi’ah di Selatan Irak dan berbagai kelompok Sunni di Irak tengah.
Kembalinya Taliban
Sejak tahun 2003 hingga 2006, Taliban telah mengumpulkan kekuatan kembali dan mulai melancarkan serangan terhadap pasukan koalisi di Afghanistan. Hal ini dilakukan pada waktu yang sama ketika Amerika Serikat sedang babak belur di Irak. Taliban memulai suatu serangan di Afghanistan yang bahkan sampai hari ini AS belum mampu menahannya. Taliban telah mereorganisasi dan menyusun kembali kekuatan mereka dan seperti yang mereka lakukan ketika melawan pasukan Soviet, mereka menggunakan taktik gerilya maupun pegunungan-pegunungan Afghanistan sebagai tempat perlindungan untuk memulai serangan.
Pada tahun 2007, Amerika telah berhasil mengkooptasi berbagai faksi di Irak ke dalam proses politik dan telah mampu mengurangi kekerasan pada suatu tingkat yang dapat diterima. Hal ini dicapai melalui Teheran yang secara fundamental memperluas dukungannya kepada pemimpin SCIRI, Ayatollah Hakim dan Brigade Badar yang masih tetap menjadi pusat pendukung atas rencana Amerika di Irak. Hal ini pada gilirannya membawa Afganistan mengemuka setelah dilakukannya sejumlah komitmen dan penilaian ulang. Amerika meningkatkan jumlah pasukan dalam beberapa gelombang. Semua ini gagal untuk menghentikan serangan Taliban karena pemerintah Afghanistan dipenuhi dengan berbagai persaingan yang terpolarisasi dan dengan pemerintahan dengan korupsi yang sistemik yang di kemudian hari hanya membuatnya lemah.
Berbagai lembaga kebijakan dan akademisi melakukan penelitian pada tahun 2007 yang menunjukkan bahwa Taliban menguasai lebih dari 50% Afghanistan. Sebuah laporan oleh lembaga kebijakan Dewan Senlis (Senlis Council) menyatakan bahwa lebih dari setengah Afghanistan sudah kembali di bawah kontrol Taliban. BBC melakukan penelitian yang luas dan menyorotnya dalam sebuah laporan khusus atas wilayah-wilayah dan tingkat kontrol Taliban di Afghanistan, inilah kenyataan yang menyebabkan Hamid Karzai mendapat gelar “Wali kota Kabul” karena mempunyai sedikit kemampuan untuk memerintah wilayah di luar Kabul.
Pakistan
Seperti Irak, Amerika berpaling kepada para pengganti regionalnya untuk memberinya arahan keluar keluar dari dilema Afghanistan. Sejak Juli 2008, Amerika telah mulai menggunakan pesawat-pesawat tanpa awak untuk menargetkan daerah-daerah di perbatasan antara Pakistan dan Afghanistan dan bisa masuk ke wilayah Pakistan. Sementara di permukaan terlihat seolah pemerintah Pakistan bereaksi dengan marah atas serangan-serangan semacam itu kemudian terungkap bahwa ini hanya permainan ketika Senator Dianne Feinstein ketua Komite Intelijen Senat, mengomentari secara terbuka mengenai dimana pesawat-pesawat Predator itu berpatroli melakukan lepas landas dan mendarat di Pakistan. Pada suatu sidang di bulan Februari 2009, Feinstein mengutarakan terkejut atas penentangan Pakistan atas serangan-serangan udara yang dilancarkan dengan serangan-serangan Predator CIA terhadap sasaran di sepanjang perbatasan barat laut Pakistan. Dia berkomentar “Sebagaimana yang saya pahami, pesawat-pesawat tanpa awak itu terbang keluar dari sebuah pangkalan di Pakistan.”
Ketika Obama mulai menjabat pada tahun 2009, militer AS dan pembentukan kebijakan luar negerinya telah meninggalkan tujuan kaum neo-konservatif untuk menghancurkan Taliban dan membentuk kembali Afghanistan menjadi Negara yang menjalankan demokrasi. Kebijakan Amerika di Afghanistan jatuh ke tangan kaum realis, yang prioritasnya adalah mempertahankan seorang pengikut yang penurut dan handal di Kabul, sehingga Afghanistan tetap aman di dalam cengkraman kepentingan Amerika, sambik tetap mencengkram juga aset kunci di Asia Tengah yakni “permainan besar” atas sumber daya energi dan saluran infrastruktur pipa gas.
Posisi utama kebijakan luar negeri Obama adalah bahwa petualangan Bush ke Irak telah menutupi ancaman nyata dari Afghanistan dan Pakistan, yang seharusnya menjadi prioritas. Obama secara terbuka dan berulang kali berjanji untuk meningkatkan intervensi militer AS di Afghanistan, meningkatkan jumlah pasukan AS dan memperluas operasi mereka dan terlibat dalam serangan-serangan lintas-perbatasan yang terencana. Obama menyatakan bahwa rezimnya akan memperluas ‘perang melawan teror’ secara sistematis, serangan darat berskala besar dan serangan udara di Pakistan, sehingga meningkat perang itu kedalam wilayah pedesaan.
Obama menggeser kebijakan AS dari sikap defensif murni menjadi sikap campuran selektif antara ofensif dan defensif, dan menempatkan lebih banyak pasukan di Afghanistan. Strategi dasar Obama tetap sama seperti strategi Bush: terus masuk ke Afghanistan sampai situasi politik berkembang hingga ke titik bahwa penyelesaian politik adalah dimungkinkan.
Amerika menghadapi Taliban pimpinan Mullah Omar di Afghanistan selatan, di mana sebagian besar pertempuran terus berlangsung. Jaringan Sirajuddin Haqqani sedang berjuang melawan NATO di tenggara, sementara Iran membawa stabilitas di Utara-Barat melalui pembangunan jalan, jalur transmisi listrik, dan pos-pos perbatasan, itulah diantara proyek-proyek infrastruktur disamping yang lainnya. Kolonel Christopher Langton, yang mengepalai departemen analisis pertahanan pada International Institute for Strategic Studies di London, mengatakan Iran adalah negara yang penting di masa depan untuk rekonstruksi dan pembangunan di Afghanistan, “Mereka telah menjadi erat kaitannya dengan upaya-upaya melawan Taliban di masa lalu, tetapi juga karena pengaruh yang dibawa Iran atas penduduk Hazara di sana [yang adalah Muslim Syiah, seperti di Iran]. Dan dalam sektor pembangunan, sudah ada proyek-proyek yang melibatkan Iran – misalnya, jalan dari Bandar Abbas di Teluk Persia melalui Afghanistan ke Asia Tengah proyek yang sangat sangat penting bagi masa depan Afghanistan … Ada suatu daftar panjang dalam bidang politik, ekonomi, dan masalah keamanan yang menghubungkan Afghanistan dan Iran.” ”
Geopolitik
Zbigniew Brzezinski, arsitek kebijakan perang dingin Amerika telah menyatakan pada tahun 1997 dalam bukunya ‘The Grand Chessboard: American Primacy And Its Geostrategic Imperative,’ bahwa bagi Amerika Serikat, pengendalian Eurasia – yang meliputi wilayah Afghanistan dan Pakistan dan tetangga mereka di Negara-negara bekas Uni serikat – adalah tujuan utama pasca perang dingin militer dan kebijakan luar negeri Amerika. Dia mengatakan dalam bukunya ’siapa pun yang menguasai atau mendominasi akses ke daerah itu adalah Negara yang paling mungkin akan memenangkan hadiah geopolitik dan ekonomi. ”
Condoleezza Rice menegaskan pandangan ini pada bulan Januari 2006 “Salah satu hal yang kita lakukan di Departemen Luar Negeri adalah untuk memindahkan republik-republik Asia Tengah keluar dari biro Eropa, diman menjadi negara-negara bagian Uni Soviet adalah sesuatu yang sudah usang, dan untuk memindahkan mereka ke dalam biro Asia Selatan, yakni Afghanistan, India dan Pakistan. Ini mewakili apa yang sedang kita coba lakukan, yaitu memikirkan daerah ini sebagai salah satu wilayah yang perlu diintegrasikan, dan hal ini akan menjadi tujuan yang sangat penting bagi kami. ”
Kehadiran Amerika di Afghanistan selalu dikarenakan tujuannya untuk melindungi kepentingannya dalam melawan kebangkitan Rusia dan Cina. Namun setelah hampir satu dekade perang melawan terror, Amerika Serikat menjauhkan Ukraina – Negara yang pernah menjadi mercusuar yang bersinar pada saat revolusi warna pro-Barat- dari cengkraman kembali Moskow, dengan Kaukasus sedang menuju kea arah itu sementara Negara-negara Baltik Rusia menjadi target berikutnya. AS perlu mengerahkan ulang pasukannya dalam rangka menghadapi kebangkitan Rusia. STRATFOR, yang dikenal secara luas sebagai juru bicara CIA mengukuhkan tujuan Amerika yang lebih luas di wilayah itu: “Amerika memiliki tujuan utama untuk mencegah munculnya kekuatan yang besar di Eurasia. Namun paradoksnya adalah sebagai berikut – tujuan tujuan dari intervensi ini tidak pernah untuk mencapai sesuatu apapun – apapun yang mungkin dikatakan dalam retorika politik – melainkan untuk mencegah sesuatu. Amerika Serikat ingin mencegah stabilitas di daerah-daerah dimana kekuasaan lain mungkin muncul. Tujuannya bukanlah untuk menstabilkan (stabilize) tetapi untuk mengguncang (destabilize), dan ini menjelaskan bagaimana Amerika Serikat bereaksi menanggapi gempa bumi di negeri Islam.
Negara itu ingin mencegah munculnya sebuah Negara Islam yang besar, dan kuat. Retorika Amerika Serikat mengesampingkan bahwa Amerika tidak punya minat yang berlebihan dalam perdamaian di Eurasia. Amerika Serikat juga tidak memiliki kepentingan untuk memenangkan perang secara langsung …… tujuan dari konflik-konflik ini adalah hanya untuk memblokir kekuasaan atau mengguncang wilayah, bukan untuk memaksakan suatu pemerintahan (orde). “
Rekonsiliasi
Seperti di Irak, Amerika mencoba strategi yang sama di Afghanistan dengan memanfaatkan pengganti-pengganti regional, para panglima perang yang korup, dan melalui kompromi politik untuk mempertahankan tingkat kekerasan yang dapat diterima, sambil membangun arsitektur politik yang diperlukan akan melindungi kepentingan-kepentingannya. Semua penyelesaian politik tidak berguna di Afghanistan kecuali dengan keikutsertaan Taliban, karena mereka mengendalikan sebagian besar wilayah Afghanistan. Pemerintah Pakistan, Arab Saudi dan UEA telah mengkonfirmasi pertemuan-pertemuan dengan Taliban untuk mencapai tujuan tersebut seperti banyak politisi Barat menyerukan dialog dengan Taliban. Taliban, meskipun dalam pernyataannya mereka bersumpah bahwa mereka tidak akan pernah masuk ke dalam perundingan saat Afghanistan masih berada di bawah pendudukan, tidak menyangkal pertemuan-pertermuan seperti itu dengan pemerintah Karzai. Abdussalam Za’eef, mantan Duta Besar Taliban di Pakistan pada September 2008 menjelaskan kepada Reuters bahwa unsur-unsur Taliban tertentu pergi ke Arab Saudi pada September 2008 dan bertemu dengan Raja Saudi dan para pejabat Afghanistan.
Amerika perlu membawa Taliban kedalam penyelesaian politik – dimana Pakistan akan menjadi pusatnya, tetapi juga mereka akan menggunakan opsi militer untuk memaksa Taliban masuk ke penyelesaian politik ini melalui serangan-serangan yang ditargetkan terhadap personil kunci Taliban. Tujuannya adalah untuk melemahkan Taliban, sehingga rekonsiliasi politik praktis menjadi satu-satunya pilihan. Pemerintah Pakistan menjadi pusat hal ini karena pemberontakan Taliban tidak dapat dihentikan hingga Pakistan dan Amerika Serikat mencapai konsensus atas Taliban yang mau berdamai maupun yang tidak mau berdamai. Amerika Serikat tidak memiliki intelejen untuk menarik perbedaan antara unsur yang menghendaki perdamaian dan tidak menghendaki perdamaian itu. Pakistan adalah satu entitas yang tidak memiliki intelejen dan koneksi untuk melakukan hal yang sama, namun Amerika tidak mempercayai banyak elemen-elemen Pakistan dalam badan intelijen utama, Interstate Services Intelligence Agency (ISI) dan dalam tentara Pakistan. Inilah sebabnya mengapa unsur-unsur tersebut secara konsisten disebut elemen-elemen ‘berandal’.
Taliban telah di atas angin di Afghanistan karena berhasil mencegat jalur posokan AS dan melalui pemberontakan dimana Amerika tidak mampu membendungnya. Pembicaraan-pembicaraan dengan Taliban masih dalam tahap awal dan telah dilakukan dengan susah payah dan lambat, karena pendudukan Amerika itu pasa saat krisis ekonomi global. Dengan semua indikasi itu Amerika sekarang mencoba menyuap Taliban ikut kedalam kesepakatan politik, yang dalam bahasa apapun adalah merupakan sebuah pengakuan kegagalan.
Kekuatan Barat, sejak pelantikan Obama telah menyiapkan landasan rekonsiliasi dengan Taliban. Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton mengumumkan rencana itu pada tanggal 22 Januari 2009 untuk mengintegrasikan kembali para pejuang Taliban ke arus utama politik di Afghanistan. Pada tanggal 23 Januari 2009 Menteri Luar Negeri Inggris David Miliband, berada di Washington untuk memberikan penjelasan singkat kepada para anggota parlemen dan pejabat AS mengenai Pertemuan London 28 Januari 2009, dengan menekankan perlunya menjangkau Taliban. “Kami tidak bingung membedakan antara Al-Qaeda dan Taliban,” katanya kepada sebuah panel Senat AS. “Kepemimpinan Taliban tidak memiliki tujuan utama sebagaimana tujuan kekerasan jihad global yang merupakan agenda Al-Qaeda.” Hamid Karzai juga mengumumkan paket insentif, dengan menawarkan uang dan pekerjaan untuk mendorong para pejuang Taliban agar meletakkan senjata mereka dan kembali pada kehidupan sipil. Beberapa hari sebelum konferensi London panglima tertinggi NATO di Afghanistan Jenderal Amerika Stanley McChrystal menggaris bawahi arah yang akan dia tempih pada konflik Afghan: “Saya percaya bahwa solusi politik untuk semua konflik adalah hasil yang tak terelakkan. Dan itu merupakan hasil yang tepat.” Ketika ditanya apakah menurutnya para senior Taliban bisa memiliki peran dalam pemerintahan Afganistan di masa depan, ia berkata: “Saya kira setiap orang Afghan dapat memainkan peran jika mereka berfokus pada masa depan, dan bukan pada masa lalu. Sebagai seorang prajurit, perasaan pribadi saya adalah bahwa pertempuran ini sudah cukup. ”
Demikian pula dalam sebuah wawancara dengan New York Times, perwakilan khusus PBB Kai Eide menyerukan agar beberapa pemimpin Taliban senior dihapus dari daftar teroris PBB, sebagai awal untuk diadakannya pembicaraan langsung. “Jika Anda ingin hasil yang relevan, maka Anda harus berbicara dengan orang yang relevan di pemerintahan itu,” kata Eide. “Saya kira sudah tiba saatnya untuk melakukan hal itu.”
Seminggu sebelum Konferensi London kita melihat adanya peningkatan yang mendorong perundingan dengan Taliban oleh hampir semua pihak yang berkepentingan, termasuk Inggris, Amerika, Turki, Afghan dan Pakistan dalam beberapa konferensi di Istanbul, Moskow dan Den Haag. Ini adalah konteks konferensi Afghanistan yang berlangsung di London pada tanggal 28 Januari 2009. Itu terjadi dalam konteks membentuk pola-pola koalisi untuk melakukan rencana baru untuk membawa Taliban kedalam penyelesaian politik yang memungkinkan untuk dilakukannya pengurangan pasukan saat pemberontakan mulai menyurut – pada saat pemilihan umum diadakan di Amerika Serikat tahun 2012. Penduduk sipil terus menjadi korban, saat konferensi dilakukan yang merupakan usaha colonial Barat untuk mengkonsolidasikan hegemoni mereka di Afghanistan ketika mereka telah gagal untuk mengalahkan Taliban. Namun semua rencana itu tidak berguna kecuali Taliban yang mengendalikan lebih dari setengah Afghanistan dapat dibawa kedalam ‘model Irak’ di Asia Selatan.
Kesimpulan
AS telah dipermalukan oleh Taliban setelah hampir satu dekade perang, yang telah berlangsung lebih lama dari dua perang dunia jika digabungkan. Sebagai akibat dari kelemahan yang jelas Amerika yakni tantangan-tantangan yang berasal dari para pesaingnya yang telah tumbuh dalam ukuran dan lingkup yang lebih luas dan saat ini menjadi jauh lebih kuat. Sementara AS bertujuan untuk mendapatkan kehadiran permanen di wilayah itu untuk melawan Cina dan menyelesaikan proyek pasca perang Dingin untuk membawa semua bekas republik Soviet di bawah kendali Amerika Serikat. Namun Rusia, telah berhasil mengambil keuntungan dari kesibukan Amerika dengan Afghanistan dan kelemahannya dalam mencapai tujuan-tujuan AS untuk memperkuat diri di dalam Bekas republik-republik Soviet. Amerika saat ini tidak memiliki masalah dalam negosiasi dengan Taliban yang tampaknya memberikan perlindungan kepada mereka yang melakukan 11/9. Hal ini tidak lain adalah penerimaan kekalahan, AS tidak akan mampu mengalahkan umat seberapa banyak pun dari kalangan umat ini yang mereka tipu melalui suap dan kekayaan. Allah SWT membenarkan hal ini dalam Al Qur’an:
“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan- ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayaNya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai. Dialah yang telah mengutus RasulNya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkanNya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai.” (At-Taubah – 32-33) (Riza Aulia : www.khilafah.com/Kamis, Januari 28, 2010 )