Mengapa dalam beberapa bulan terakhir dinamika politik Indonesia berkembang dengan begitu mencemaskan? Beberapa kasus, seperti kriminalisasi terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah) serta Bank Century, tak terkelola secara layak.
Ada banyak faktor yang terlibat dan ada banyak kemungkinan jawaban atas pertanyaan itu. Namun, salah satu faktor yang berperan besar adalah absennya kepemimpinan kuat yang mampu menyelesaikan segenap urusan dengan tegas dan lekas.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belakangan ini tampil secara kurang meyakinkan. Sekalipun bukan penentu semua hal, Presiden berperan membuat sejumlah kasus berkembang menjadi meriam liar yang mengancam kita.
Sebagai warga negara yang berhak memiliki harapan kepada pejabat publik setingkat Presiden, saya menyaksikan Yudhoyono terancam oleh krisis kepemimpinan dan krisis otentisitas. Keduanya saling sokong membangun postur politik Presiden yang kurang meyakinkan.
Popularitas dan etika
Ada setidaknya sembilan ketidak-otentikan Yudhoyono. Pertama, pada awal masa kerjanya (2004), Yudhoyono menegaskan, ”Saya tak peduli pada soal popularitas.” Nyatanya, ia amat sangat peduli pada popularitas sepanjang kepemimpinannya. Untuk kebijakan tak populer, sekalipun sangat diperlukan secara teknokratis, ia cenderung membiarkan Wakil Presiden M Jusuf Kalla maju pasang badan. Untuk kebijakan populer, ia lekas-lekas memasang badannya sendiri.
Kedua, di tengah ramainya rapat Panitia Khusus DPR tentang Hak Angket Bank Century, Yudhoyono menyatakan, ”Demokrasi memerlukan kesantunan.” Nyatanya, ia biarkan ketidaksantunan dilakukan secara permanen oleh politisi partainya sendiri, Partai Demokrat, seperti diperlihatkan Ruhut Sitompul. Padahal, kendali atas partai itu hampir sepenuhnya ada di tangan Yudhoyono.
Ketiga, menghadapi berbagai tantangan terhadap pemerintahannya, ia kerap menegaskan bahwa ia tak perlu reaktif terhadap para pengkritiknya. Nyatanya, ia sangat reaktif dalam banyak kasus. Presiden Yudhoyono kerap merespons secara kurang matang berbagai persoalan.
Keempat, Yudhoyono kerap mengajak masyarakat untuk bersandar pada etika. Nyatanya, sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan ia kerap melakukan pelanggaran etika yang sangat elementer, terutama dengan membiarkan pejabat di bawah kewenangannya untuk bertanggung jawab atas kebijakan eksekutif yang pembuatannya jelas-jelas melibatkan kewenangan dan tanggung jawab presiden. Dalam kasus Bank Century, pidato Yudhoyono selepas Rapat Paripurna DPR yang menegaskan bahwa dirinya bertanggung jawab adalah sebuah sikap tegas yang kasip.
Mafia peradilan
Kelima, di tengah maraknya kasus Bibit-Chandra, Presiden menyerukan, ”Ganyang mafia peradilan!” Nyatanya, ia tak melakukan langkah sigap dan tegas selepas terungkapnya mafia peradilan melalui penayangan rekaman percakapan pengusaha Anggodo Widjojo dengan sejumlah pejabat dalam sidang Mahkamah Konstitusi. Bahkan, ketika namanya beberapa kali disebut dalam percakapan itu, ia bergeming, seolah-olah memandang itu bukan persoalan.
Keenam, masih segar dalam ingatan kita, Yudhoyono menangis mendengar laporan wakil korban luapan lumpur Sidoardjo. Nyatanya, ia tak membuat langkah yang tegas dan lekas untuk menyelesaikan kasus luapan lumpur ini.
Ketujuh, Yudhoyono kerap menandaskan bahwa langkah-langkah yang diambilnya adalah langkah yang matang, penuh pertimbangan, terukur, dan saksama. Nyatanya, ia senang berputar-putar seperti orang tersesat serta terkesan ragu-ragu dan lamban. Contoh paling krusial dan aktual soal ketidakmatangan langkahnya adalah ketika kantor kepresidenan mempermalukan Presiden secara tandas dalam kasus batalnya pelantikan dua wakil menteri (Anggito Abimanyu dan Fahmi Idris). Sementara penanganan kasus Bibit-Chandra dan Bank Century menggarisbawahi keragu-raguan dan kelambanannya.
Kedelapan, Yudhoyono kerap menyebut perlunya pemerintahan yang bekerja secara profesional berbasiskan kompetensi. Nyatanya, Kabinet Indonesia Bersatu II—sebagaimana dikritik banyak sekali kalangan—gagal mencerminkan itu.
Kesembilan, Susilo Bambang Yudhoyono kerap menyebutkan bahwa reformasi birokrasi adalah salah satu agenda kerja yang hendak ia prioritaskan dan segerakan dalam termin kedua pemerintahannya. Nyatanya, ia menjadi Presiden Indonesia Era Reformasi yang paling ”sukses” menambunkan birokrasi pemerintahan. Bagaimana publik bisa berharap lebih jauh jika agenda reformasi birokrasi yang elementer ini saja gagal diwujudkannya?
Itulah catatan saya. Boleh jadi Anda bertanya mengapa saya seperti tukang keluh berhadapan dengan Presiden; mengapa saya senang benar mengkritik Yudhoyono. Saya mengkritik Yudhoyono bukan lantaran membencinya, melainkan lantaran ia Presiden saya.
Yudhoyono adalah seorang pejabat publik. Sebagai bagian dari publik, saya berhak untuk berharap kepadanya. Adalah tugas saya untuk membantunya dengan mengingatkan hal-hal yang belum tercapai. Sebab, di sekeliling Yudhoyono sudah terlampau banyak orang yang terus-menerus mencatat dan melaporkan (hanya) keberhasilannya.
EEP SAEFULLOH FATAH, CEO Polmark Indonesia, Political Marketing Consulting
Sumber: Kompas.com (9/3/2010)
aku prihatin