Singgih Saptadi (http://singgihs.web.id)
Pengantar
Dengan mengikuti pesta demokrasi daerah-daerah di Indonesia (Pilkada, Pilgub), kita temukan besarnya pemilih golput. Pergulatan meraih tampuk kursi nomor satu di Jawa Barat ternyata hanya diikuti 65% rakyat. Ini berarti golput sebesar 35%, mengalahkan pasangan Hade, pemenang pilgub Jabar yang 26%. Menurut Lembaga Survei Indonesia, jumlah pemilih yang mengambil posisi golput dalam Pilgub Sumatera Utara malah lebih besar lagi, sekitar 41% rakyat tidak ikut memilih.
Dalam pilgub DKI Jakarta, 39,2% golput. Nilai ini setara dengan 2,25 juta orang pemilih, sementara Fauzi Bowo dipilih 2 juta orang pemilih (35,1%). Jika kita pernah mengikuti pemilihan kepala desa, mungkin kita akan tersenyum, bahwa kursi kosonglah yang menjadi pemenang di berbagai pilgub tersebut. Artinya, rakyat tidak menemukan pilihan dari berbagai calon yang maju dalam pilgub. Bahkan, untuk pilgub Jawa Tengah yang berlangsung 22 Juni 2008, angka golput sangat tinggi, mendekati 50%.
Tingginya angka golput berarti rendahnya partisipasi rakyat dalam pemilihan kepala daerahnya. Fenomena ini dikuatirkan berlanjut pada Pemilihan Umum 2009 nanti.
Banyak faktor yang mendorong besarnya angka golput, seperti kurangnya sosialisasi pilgub dan lancar/tidaknya proses pendaftaran pemilih oleh KPUD, namun citra ideologis partai politik juga harus diperhatikan.
Partai Nir-Ideologi
Ketua Komisi Pemilihan Umum, Abdul Hafiz Anshary memperkirakan pada 2009, pemilu akan diikuti oleh parpol dengan jumlah yang lebih banyak daripada 2004. Munculnya parpol-parpol baru tidak bisa kita pungkiri mengingat sejak pemilu 2004 kita melihat perpecahan di tubuh berbagai parpol.
Melihat perpecahan di tubuh berbagai parpol, maka akan kita temukan faktor non-ideologislah yang menyebabkan terpecahnya parpol. Faktor non-ideologis yang dimaksud adalah kepentingan kelompok dan individu.
Faktor non-ideologis ini juga bisa kita lihat dari warna koalisi yang dibangun oleh berbagai parpol ketika menghadapi pilkada. Para pengamat politik sering menyebutnya koalisi multi-platform atau koalisi nir-ideologi atau koalisi “bukan-bukan”. Koalisi bukan berbasis Islam, bukan nasionalis, bukan pula Kristen, bukan platform parpol yang berkoalisi. Di satu daerah, parpol A berplatform Islam berkoalisi dengan parpol B berplatform nasionalis. Di daerah lain, parpol A malah berhadap-hadapan dengan parpol B.
Terkait dengan koalisi “bukan-bukan”, banyak orang berkomentar. Budiman Sujatmiko mempertanyakan ideologi parpol-parpol yang ada. Dilihat dari visi, misi dan gerak parpol, tidak ditemukannya perbedaan antar parpol. Isu yang diusung pun lebih pada mencari popularitas daripada menampilkan karakter parpol yang ideologis.
Pada dasarnya, menurut Direktur Eksekutif Indonesia Barometer Muhamad Qodari, koalisi “bukan-bukan” ini dibentuk bukan karena parpol sangat ideologis, sehingga koalisinya tak berwarna tegas. Namun sebaliknya, parpol-parpol yang berkoalisi tidak ideologis. Akhirnya yang mengemuka kepentingan keuasaan, parpol terkesan inkonsisten dan tidak memuaskan massa pendukung. Lebih gawat lagi, koalisi seperti ini akan melahirkan pemerintahan yang tidak efektif, karena banyaknya kepentingan parpol pengusung dan individunya.
Fenomena Partai Mengambang
Koalisi nir-ideologis ini juga disorot oleh Eep Saefulloh Fatah, sebagai parpol mengambang. Jika masa Orba kita sering mendengar istilah massa mengambang, maka demokratisasi era reformasi ini memunculkan fenomena partai mengambang. Karakter partai mengambang dijelaskan oleh Eep sebagai pertama, partai yang nir-ideologi, dimana partai menganut pragmatisme.
Kedua, partai nir-identitas, dimana kita tidak bisa menemukan perbedaan antara parpol satu dan lainnya, kecuali dari bendera dan nama.
Ketiga, oligarkis, dimana partai sangat terpusat pada figur pimpinan dan elite parpol. Dari berbagai survei beberapa tahun belakangan diperoleh suara bahwa rakyat merasa parpol tidak bekerja untuk mereka, malah sebaliknya mereka hanyalah instrumen parpol.
Keempat, nir-konstituten. Meski ada beberapa parpol dengan massa fanatik, namun suara pemilih tetap dibutuhkan. Uang terjadi parpol mendekat ke rakyat ketika menjelang masa pemilu. Eep mengatakan bahwa hubungan partai dengan pemilih bersifat ad hoc, sementara dan bubar selepas pemilu.
Masalah Kaderisasi
Masalah ketidak-berhasilan kaderisasi parpol bisa dilihat dari kemenangan wajah-wajah baru atas wajah-wajah lama dalam pilkada. Namun, kemenangan wajah-wajah baru di pentas pilgub tetap tidak menunjukkan citra ideologis parpol pengusungnya. Dari visi, misi dan program kerja pasangan calon di berbagai pilgub, sekali lagi kita tidak menemukan perbedaan yang signifikan.Ini menunjukkan bahwa masyarakat kita belum sepenuhnya memilih dengan rasional mereka, tetapi lebih pada citra yang sangat dipengaruhi sisi emosional mereka.
Lebih menyedihkan lagi, ketika parpol “mencomot” public figure khususnya artis. Ini membuktikan dugaan bahwa parpol gagal melakukan kaderisasi.
Kegagalan kaderisasi juga bisa dibaca dari sebuah survei harian nasional yang diturunkan pada pertengahan April 2008. Survei ini menunjukkan kalangan LSM yang mengetahui masalah dan akademisi yang menguasai teknik solusi tidak tertarik masuk ke dalam kancah politik. Bisa jadi, keengganan mereka terlibat dalam parpol dirasakan akan menghambat potensi diri dan memperlemah kontribusi mereka dalam kemajuan Indonesia. Dengan kata lain, partai politik tidak dilihat sebagai tempat yang tepat untuk membangun negeri ini.
Edukasi Parpol untuk Rakyat Pemilih
Ada sebuah pernyataan dari petinggi parpol yang sedang mengalami pertikaian internal, bahwa pertikaian dalam tubuh partainya adalah sebuah pelajaran politik bagi rakyat. Kita tidak tahu apa makna sesungguhnya pernyataan tersebut. Namun, sungguh disayangkan jika paradigma pendidikan politik yang seharusnya berpolitik secara baik dan benar, bergeser dengan tampilan “kekerasan politik”. Padahal, di media massa, sajian pertikaian dan kekerasan dalam acara televisi ditegur oleh Komisi Penyiaran Independen dan tidak dianggap bagian pendidikan.
Edukasi parpol untuk rakyat membutuhkan kejelasan ideologi parpol. Ideologi parpol akan menentukan arah gerak dan kerja parpol di tengah masyarakat. Ketika partai kosong dari ideologi, maka kita tidak bisa berharap banyak dari parpol untuk melakukan edukasi bagi masyarakat.
Banyaknya parpol saat ini juga tidak menjamin edukasi politik bagi masyarakat. Banyaknya parpol, kata Budiman Sujatmiko, lebih menampakkan berseraknya aktivitas politik. Karena ideologinya kosong, parpol lebih pas dilihat sebagai kumpulan orang belaka, bukan kumpulan orang dengan ideologi yang sama. Ketika kosong dari ideologi, parpol hanyalah kendaraan untuk sampai ke kekuasaan.
Dalam isu mutakhir, kenaikan harga BBM, banyak parpol menolaknya. Namun, penolakan mereka tidak mencerminkan dorongan ideologi parpol, sehingga penolakan hanyalah penolakan belaka tanpa solusi ideologis. Masyarakat pun tidak melihat penolakan oleh parpol sebagai keberpihakan kepada rakyat.
Penutup
Reposisi Parpol untuk menghadapi 2009 tak lain adalah reideologisasi parpol. Parpol harus memiliki warna tegas dalam kiprahnya di dunia politik dan masyarakat. Berpegang teguh pada ideologi dalam setiap gerak partai adalah edukasi terbaik yang bisa dilakukan parpol. Komitmen terhadap ideologilah yang akan menjadikan sebuah partai tumbuh besar di tengah masyarakat. Dengan ideologi parpol pula, pemerintahan akan berjalan dengan arah dan program yang jelas, bukan sekedar berkuasa, namun tidak efektif.
Jika parpol sudah ideologis, kita boleh optimis partisipasi rakyat dalam pemilu akan tinggi dan kita tidak malu kepada dunia bahwa the real winner dalam pemilu Indonesia bukan lagi kursi kosong.
Langkah awal reideologi parpol adalah terikat dengan hukum syara’.
…di level anggota…
…terlebih lagi di level elit partai….
Kalau memang demokrasi betul betul ditegakkan, seharusnya yang menang di setiap Pilkada adalah golput….
Telah nyata parpol yang ideologis dan tidak. Allah pasti akan menunjukkan partai poitik yang memang tsiqoh dalam memperjuangkan Islam hingga tertegakkannya kembali sistem islam.amin
Ini memang fenomena yang menarik di dalam politik Indonesia hal ini dalam kontek partisipasi rakyat di dalam politik. Menurut saya hal ini dikarenakan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap parpol maupun politikus sudah menurun. Mungkin disebabkn oleh tidak menepati janji-janji politik yang telah di janjikan sebelum pilkada. Untuk itu, para politikus dan parpol harus segera membenahi permasalahn ini agar rakyat benar-benar dilibatkan di dalam pemerintahan
ujung-ujungnya adalah kekuasaan, semuanya gila kekuasaan.
Berideologi maupun tidak, tetap sama, itu hanya trik untuk memenangkan kekuasaan itu sendiri.
jadi presiden yang benar itu nggak enak. Tapi kenapa sekarang banyak yang ingin jadi presiden? Apalagi sanggup mengorbankan segala-galanya. Ada apa? Mau di bawa kemana bangsa ini?
di tahun ini, sungguh banyak orang yang mau jadi presidan . . .
apa lagi segala-galanya demi bangsa kita ini ??
jadi presiden thu sebenarnya gax enak. .
untuk itu, para politikus dan parpol harus segera membenahi permasalahan ini agarrakyat kita benar2 dilibatkan dalam pemerintahan.
pokoknya:
ujung ujungnya adalah kekuasaan. .
semuanya gilaaaa akannn kekuaasaannnnnnnn. .