Oleh: Imam Sutiyono,
Pemerhati Masalah Sosial & Politik
Sudah bisa dipastikan, Israel tetap akan melangsungkan aneksasi dan invasi sistemik ke jantung Palestina selama tiga bulan berjalan. Sudah lebih dari 400 anak meregang nyawa dari 1600 korban jiwa akibat kebiadaban tentara zionis Israel. Serangan membabi-buta yang meluluh-lantahkan bangunan dan menelan korban jiwa ini merupakan serangkaian upaya Israel untuk membangun 1600 pemukiman baru Yahudi. Meski Sekjen PBB, Ban Ki-moon mengatakan bahwa Israel telah melanggar perjanjian dan perbatasan serta diminta menghormati kedaulatan Palestina, nampaknya negara zionis tersebut tetap tutup telinga.
Sementara itu pekan yang lalu, Menlu AS, Hillary Clinton, menegaskan AS dan Yahudi Israel tetap berkomitmen menjaga hubungan, meski sedikit perang mulut semenghampiri diantara kedua negara tersebut. Sebagaimana karakteristik zionis Israel bersama AS maka semakin teguh dalam langkah-langkah imperilisme mengangkangi Palestina dengan berbagai dalih. Isu situs Kuil Sulaiman menjadi alasan klasik untuk melegalkan kekerasan yang terjadi. Akibatnya terowongan dibawah Masjid Al-Aqsha kian menghawatirkan dan bahkan bisa meruntuhkan tempat Mi’raj Nabi Muhammad tersebut jika tidak ada langkah kongkret untuk menghentikannya.
Dalam sebuah dokumen cukup terkenal yaitu Protocol of Zions atau Protokolat Zionis, Israel didirikan untuk menguasai dunia dengan link Yahudi nya. Maka tidak heran jika kelompok Yahudi selalu serius mengarap kepentingan bisnisnya. Henry Ford dalam karyanya The International Jew (1976) ketika ditanya tentang keotentikan Protokolat Zionis mengatakan tidak mau terjebak kepada perdebatan yang sengit. Henry hanya menekankan bahwa semua yang terjadi dengan perkembangan dunia sekarang selalu sejalan dengan kepentingan zionis.
Seputar nasib Palestina
Semenjak Israel didirikan dengan proses pengusiran rakyat Palestina sekitar tahun 1948, negara Yahudi Israel semakin meluaskan pendudukkannya. Korban rakyat sipil Palestina sebagai warga negara pribumi sudah tidak terhitung jumlahnya. Tanah suci tempat bersejarah Isra’-mi’raj Nabi pun sudah bersimbah darah. Kuburan-kuburan masal warga hampir ditemui di berbagai tempat. Anehnya resolusi PBB tidak pernah dikeluarkan untuk bisa menghentikan arogansi Israel. Selalu saja AS mengunakan hak veto untuk membela kawan dekatnya tersebut. Oleh karena itu berharap untuk menyelesaikan masalah kebiadaban Israel tidak bisa melalui jalur resmi PBB. Mesti ada langkah yang gradual untuk menghentikan dan sekaligus menghukum zionis Israel dan sekutunya, jika mengharapkan perdamaian yang hakiki.
Diakui kebengisan Israel dengan segala cara baik menyerang rakyat sipil, memburu para milisi atau gerakan pejuang bawah tanah Palestina, atau secara terang-terangan dengan invasi militer. Kiranya air mata warga pribumi sudah kering untuk menetes akibat kekejian Israel yang dilakukan selama ini dan mungkin sampai generasi berikutnya. Rapor merah Israel sudah tidak bisa terus dibiarkan begitu saja dengan mencabik-cabik nilai kemanusian dan keadilan. Dibelanya Israel oleh AS menjadikan malapetaka besar terjadi atas nasib warga Palestina. Lembaga Dunia Internasional pun seolah bungkam untuk menyibak semua jejak hitam para negara imperialis ini. Negara Dunia Ketiga atau Organisasi Konferensi Islam (OKI) pun tidak bisa berbuat banyak untuk mengobati atau minimal memberikan solidaritas yang signifikan atas penderitaan rakyat Palestina secara nyata.
Sementara itu aksi-aksi solidaritas yang digalang oleh para pemuda di berbagai negeri termasuk Indonesia menjadi sorotan tersendiri. Ini semata-mata karena para penguasa atau pemimpin negara-negara tersebut tidak lagi mempunyai keberanian meski sedikit. Semestinya kekuatan negara harus dilawan sebanding dengan kekuatan negara, bukan milisi apalagi kelompok kecil warga. Invasi Israel semestinya dilawan dengan pembelaan yaitu mengirimkan pasukan militer atau amunisi ke jantung Palestina. Bukan malah menutup perbatasan sebagaimana Mesir. Justeru akibat pemberlakuan ini, warga Palestina makin terkepung ibarat penjara besar yang siap dihujani dengan artileri berat dari Israel sehingga rakyat Palestina terus dirundung ketakutan.
Terkait dengan dukungan moral para pemuda akan nasib warga Palestina selayaknya menjadi cabuk bagi para penguasa agar berbuat lebih. Maksudnya bukan sekedar menyampaikan rasa simpati atau keprihatinan semata, melainkan menunjukkan pembelaan yang nyata dan memberikan bantuan demi keberlangsungan yang normal bagi warga Palestina. Bantuan harta benda memang sangat dibutuhkan, akan tetapi penguatan militer Palestina pun menjadi sesuatu yang harus dipikirkan. Bagaimana mungkin untuk membela kalau senjata dan pasukan Palestina sangat terbatas dan tidak sebanding dengan tentara Israel?
Disisi lain sering terbetik sebuah ide menyelesaikan masalah ini dengan opsi dua negara, yaitu kemerdekaan Palestina dan pengakuan Israel. Menimbang opsi ini sebenarnya tidaklah tepat kecuali memang harus ada komitmen dan pemahaman awal bahwa Israel adalah penjajah. Maka sebagai sebuah negara penjajah maka harus keluar dari Palestina dan memberikan tanah pendudukkan yang selama ini diklaim menjadi milik Israel. Jika ini tidak dilakukan oleh Israel dan sejauh ini tidak ada kemauan yang mengarah kesana, sudah bisa diprediksi bahwa Israel akan terus melangsungkan imperialisme nya di Palestina hingga semua tujuan terpenuhi. Inilah yang menjadikan Israel ngotot mengangkangi dan medudukki Palestina hingga benar-benar dimenangkannya alias tanah Palestina menjadi milik Israel sepenuhnya!
Mengakhiri problema Palestina
Banyak jalan menuju Roma. Pepatah singkat ini bisa menjadi sebuah renungan. Berbagai upaya dilakukan oleh PBB dan OKI tetapi semuanya berujung pada tidak selesainya masalah secara tuntas. Mandulnya PBB dihadapan kebiadaban Israel yang didukung AS dan lemahnya OKI yang hanya mengecam dan mengkritik sepantasnya menjadi perhatian bahwa mesti ada solusi gradual yang keluar dari mainstream yang ada. Ini bukan berari sesuatu yang utopis dan mengada-ada. Langkah yang berani dengan mendudukan Israel sebagai negara penjajah dan diharuskan keluar dari Palestina adalah opini yang wajib ditularkan kepada publik. Sedangkan warga Palestina dengan tanah tumpah darahnya menjadi hak dan kewajiban untuk membelanya meski Israel terus menginvasi dan menganeksasi.
Disudut yang lain mesti dipikirkan solusi bahwa kekuatan Israel sebagai sebuah negara penjajah mesti dilawan dengan kekuatan negara. Sebagaimana Indonesia dulu dijajah Belanda, Jepang atau Portugis, maka harus dilawan oleh rakyat Indonesia. Meski kemudian bisa jadi dibantu oleh negara lain. Melihat Palestina dengan segala keterbatasan maka harus ada keberanian seorang negarawan untuk membantunya. Ini sebagai upaya menyeimbangkan kekuatan demi kedaulatan. Kalau ternyata Israel dan AS tetap bersekutu maka harus ada juga keberanian dari negara lain untuk menyeimbangkan kekuatan. Bisa jadi ini mengarah kepada dua kutub perperangan antara Barat (representasi negara sekular-zionis) dan Timur (baca: kelompok negara Islam). Bukan tidak mustahil perang peradaban atau clash of civilitation sebagaimana tesis Samuel P. Huntington benar-benar terjadi.
Drama imperialisme Israel dengan dukungan Amerika terhadap negara Palestina sepertinya tetap akan berlangsung hingga benar-benar hegemoni negara imperilis tersebut dibungkam oleh sebuah adidaya baru (baca: negara khilafah). Melihat fenomena ini maka dibutuhkan sebuah penyatuan negara-negara bebasis mayoritas Islam untuk menghentikan kesombongan dan kebengisan Israel. Darah dan air mata yang sudah keluar tidak mungkin bisa tergantikan kecuali benar-benar kedaulatan dan kemerdekaan hakiki atas segala imperialisme tercerabut bukan hanya di Palestina. Ingat negeri-negeri Islam seperti Irak, Afghanistan, dan Pakistan juga masih dalam penindasan tentara AS yang sama-sama imperilisme nya dengan zionis Israel. Adanya adidaya baru negara Khilafah dapat menghentikan segala imperialisme oleh negara manapun dan akan membangun peradaban baru yang jelas berbeda. Sebuah peradaban Islam yang agung dengan menghargai pluralitas atau keberagaman tanpa kebencian atau penindasan. Insya Allah. Wallahua’lam.