Negeri ini masih tercatat sebagai surga bagi koruptor. Para penggasak uang negara leluasa beroperasi lalu hengkang dengan gampangnya. Dan kemudian, dari jazirah tetangga, Singapura, mereka dengan amannya menikmati hasil jarahan itu.
Meski Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa menyadap berbagai informasi tentang transaksi ilegal, meski Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bisa melacak ke mana saja uang korupsi mengalir, meski jaksa dan polisi kian awas membidik, koruptor tetap saja leluasa beraksi dan dengan gampangnya kabur.
Koruptor tahu benar kelemahan aparatur. Mereka paham betul hukum bisa dibeli. Mereka pun mafhum mengatur surat pencekalan.
Aparatur hukum kita mengidap penyakit yang sama, terlambat melakukan antisipasi. Kepolisian, kejaksaan, Kementerian Keuangan, dan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum lebih suka wira-wiri mejeng di televisi daripada mengantisipasi kaburnya tersangka koruptor. Akibatnya, buron dengan mudahnya lari sebelum surat pencekalan terbit. Pencekalan hanya basa-basi bahwa aparatur sudah menjalankan tugas.
Sudah lama publik mencurigai aparatur sengaja membiarkan buron kabur karena rekeningnya telah terisi. Apalagi buron kelas kakap, pengemplang uang negara dalam jumlah miliaran bahkan triliunan rupiah.
Lihat saja kasus Gayus Tambunan. Sudah hampir dua pekan mantan Kabareskrim Komjen Susno Duadji menyebut nama itu dalam kasus dugaan makelar perkara pajak sebesar Rp25 miliar, tetapi tidak satu pun instansi hukum mengantisipasi agar dia tidak kabur.
Polisi lebih sibuk membela diri dan mencari dalih menyeret Susno menjadi tersangka. Jaksa lebih suka mencari alasan kenapa menjatuhkan tuntutan ringan untuk Gayus sebelum divonis bebas. Dan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum lebih senang reality show dan road show ke mana-mana.
Gayus kemudian diketahui pergi ke Singapura pada Rabu (24/3), tetapi polisi baru meminta Imigrasi mencekalnya pada Jumat (26/3).
Mau contoh lain? Simak kasus Joko Tjandra. Terpidana dua tahun itu kabur ke Singapura lewat Port Moresby, Papua Nugini, dengan pesawat khusus, satu hari sebelum Mahkamah Agung menjatuhkan vonis.
Banyak contoh lain bisa dideretkan untuk menunjukkan aparatur yang lemah melakukan antisipasi. Pencekalan muncul setelah si buron pergi.
Aparatur kita masih saja suka basa-basi, tanpa kejujuran. Tidak ada permintaan maaf karena telah mencederai rasa keadilan publik. Yang diumbar malah janji meminta Interpol dengan mengirim red notice untuk menangkap dan membawa kembali sang buron.
Apakah publik percaya? Tidak. Sebab nyaris tidak ada buron korupsi yang dibawa kembali oleh Interpol. Malah di negeri tetangga, para buron leluasa menggelar konferensi pers dan dijaga aparat keamanan setempat.
Para koruptor mudah kabur bukan karena mereka hebat, melainkan terutama karena aparatur kita mempersilakan mereka pergi. Setelah kabur, baru dicekal. Cincai… (mediaindonesia.com, 29/3/2010)
Tatkala hukum buatan manusia yg diterapkan maka kejadiannya seperti di atas. Ceritanya akan lain manakala hukum Alloh SWT yg digunakan di negeri kita tercinta ini. Renungkanlah!!!
Mana nih kok nggak ada bahasan tetang Kedudukan PAJAK..pada negera Indonesia saat ini… kalo bisa di Al Islam.. ditunggu… masyarakat ingin tahu…